Apa saja yang harus dipenuhi?
1. Keadilan, terutama dalam penegakan hukum.
Sebagai bagian dari kelompok yang tidak menyukai pemerintahan presiden Jokowi, saya bisa menyampaikan bahwa rasa ketidaksukaan ini salah satunya terbentuk karena merasa ada ketidakadilan, terutama dalam penegakan hukum. Saya tahu, perasaan ini sangat subyektif. Di dunia ini tidak ada keadilan yang mutlak dan sempurna, karena apa yang dirasakan tidak adil bagi satu orang, bisa dinilai adil bagi pihak lain.
Tapi, sebagai pemegang kekuasaan sekaligus untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional, pemerintahan Jokowi bisa meminimalisir rasa ketidakadilan ini dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan kelompok tertentu. Kebijakan, terutama penegakan hukum, yang dikeluarkan haruslah bisa diterima semua kelompok masyarakat.
2. Narasi pers dan media yang seimbang dan mencerdaskan, bukan mencitrakan.
Sebagai pilar keempat demokrasi, pers dan media semestinya bisa menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai sumber informasi, pers dan media seharusnya bisa mencerdaskan masyarakat sekaligus menjadi bagian dari alat pemersatu bangsa.
Tapi, sejak 4,5 tahun pemerintahan Jokowi berkuasa (ditambah 2 tahun masa kepemimpinan sebagai Gubernur DKI Jakarta), sebagian besar pers dan media di Indonesia malah memposisikan diri menjadi corong penguasa. Saya tidak ingin repot mengulas apakah ada misi besar dari konglomerasi media dibalik perubahan fungsi jurnalistik mereka ini.
Yang jelas saya rasakan adalah, pers memberi sumbangsih yang besar dalam terciptanya polarisasi dalam masyarakat kita sendiri. Pers, melalui narasi-narasi yang sumbang dan kerap menyesatkan, dengan bingkai berita yang sering tendensius, dan sering pula memaksakan citra seseorang, membuat kelompok yang tidak menyukai pemerintahan Jokowi menjadi semakin tidak suka!
Rekonsiliasi nasional bisa terwujud dan terlaksana dengan baik apabila pers kembali pada jatidirinya semula. Dengan pemberitaan yang seimbang dan narasi berita yang mencerdaskan. Melalui pers pula, opini yang berkembang dalam masyarakat bisa digiring kembali dalam upaya menciptakan situasi yang lebih kondusif.
3. Netralitas aparat
Baik Panglima TNI maupun Kapolri selalu menegaskan dan menjamin netralitas aparat keamanan, terutama dalam kontestasi pilpres dan pileg 2019. Namun, bukan berarti instruksi itu bisa berjalan dengan mulus. Masih banyak dijumpai kasus-kasus di mana aparat dinilai tidak netral dan memihak kelompok tertentu.
Netralitas aparat kepolisian yang semestinya bisa berperan sebagai wasit dalam kompetisi pilpres dipertanyakan banyak kalangan. Tuduhan bahwa Korps Bhayangkara ikut bermain dan cenderung memihak kubu petahana bukanlah tuduhan tanpa alasan.
Beberapa kejadian terakhir mengindikasikan keterlibatan oknum kepolisian dalam politik praktis. Baik itu mengkampanyekan petahana, maupun menyerang kandidat oposisi. Semua itu dilakukan dengan masif dan nyaris terang-terangan.
Untuk memuluskan jalan rekonsiliasi nasional ini, perlu ada penegasan lagi dari Panglima TNI dan Kapolri. Bahwa semua aparat TNI-Polri dari berbagai tingkat institusi, struktur organisasi atau jenjang kepangkatan akan bersikap netral. Tugas mereka adalah mengayomi, bukan ikut kompetisi.