Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Pilihan

Rekonsiliasi Nasional? Penuhi Dulu 5 Hal Berikut

23 April 2019   22:16 Diperbarui: 23 April 2019   22:21 360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo dan Jokowi saat penyerahan medali emas pencak silat Asian Games 2018 (sumber foto: CNN Indonesia/Hesti Rika)

Apakah kita sedang mengalami konflik dan ketegangan antar kelompok masyarakat hingga wakil presiden Jusuf Kalla dan beberapa pimpinan ormas keagamaan menyerukan rekonsiliasi nasional?

Jika itu ditanyakan pada rakyat awam yang dalam kehidupan sehari-hari mereka jauh dari hiruk pikuk politik nasional, jawabannya tidak. Tak ada konflik atau ketegangan apapun dalam dinamika kehidupan sosial kemasyarakatan mereka. Pasca pemilu, denyut nadi kehidupan mereka berjalan biasa saja.

Apa yang dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla bahwa masyarakat kita sedang terbelah dan terpolarisasi dan karena itu butuh rekonsiliasi, sesungguhnya hanya dirasakan oleh rakyat yang melek politik. Kondisi seperti ini hanya dirasakan oleh masyarakat yang terpapar oleh hiruk pikuk politik nasional, terutama dalam kontestasi pemilihan presiden 2019.

Saya agak sependapat dengan apa yang dikatakan juru bicara Badan Pemenangan Pemilu (BPN) Prabowo-Sandi, Dahnil Azhar bahwa yang terjadi saat ini hanya perdebatan-perdebatan biasa terkait hasil perhitungan suara yang berbeda.

Sementara terkait situasi "panas" (yang sesungguhnya lebih banyak terjadi di dunia maya) antara dua pendukung capres, Dahnil menilai hal itu akibat adanya kecurangan yang terstruktur, sistematik dan massif (TSM).

"Panas karena ada TSM itu. Kecurangan yang TSM. Panas karena ada ketidakadilan. Kalau semuanya baik-baik saja, ya tidak masalah. Kuncinya penegakan hukum yang adil," kata Dahnil.

Tapi, kita juga tidak bisa menafikan begitu saja dari apa yang dirasakan para elit politik tanah air, bahwa masyarakat kita sedang terbelah dan terpolarisasi. Lebih sempit lagi, masyarakat kita sedang terbelah menjadi dua kubu: Kubu yang memuja presiden Jokowi dan Kubu yang tidak menyukai presiden Jokowi!

Itu adalah gambaran yang jujur, dan saya bisa mengatakannya tanpa ada rasa sungkan atau harus menutupinya dengan segala macam metafora atau kosakata lain. Saya juga bisa mengatakan tanpa tedeng aling-aling pula, bahwa kondisi ini tercipta semenjak kemeja kotak-kotak digunakan sebagai identitas kelompok tertentu yang merasa paling "lebih" dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di tanah air ini!

Karena itu, apabila gagasan rekonsiliasi nasional itu dimaksudkan untuk menghilangkan kotak-kotak yang sudah membuat kita terbelah, saya sangat setuju. Dengan catatan, ada 5 hal yang harus dipenuhi dahulu.

Oleh siapa? Tentu saja oleh pemerintah saat ini. Mereka lah yang memegang kunci kekuasaan. Mereka lah yang bisa membuka kunci segala macam peraturan, dan mereka pula yang bisa memberi contoh pada masyarakat lapisan bawah.

Apa saja yang harus dipenuhi?

1. Keadilan, terutama dalam penegakan hukum.

Sebagai bagian dari kelompok yang tidak menyukai pemerintahan presiden Jokowi, saya bisa menyampaikan bahwa rasa ketidaksukaan ini salah satunya terbentuk karena merasa ada ketidakadilan, terutama dalam penegakan hukum. Saya tahu, perasaan ini sangat subyektif. Di dunia ini tidak ada keadilan yang mutlak dan sempurna, karena apa yang dirasakan tidak adil bagi satu orang, bisa dinilai adil bagi pihak lain.

Tapi, sebagai pemegang kekuasaan sekaligus untuk mewujudkan rekonsiliasi nasional, pemerintahan Jokowi bisa meminimalisir rasa ketidakadilan ini dengan kebijakan-kebijakan yang tidak menguntungkan kelompok tertentu. Kebijakan, terutama penegakan hukum, yang dikeluarkan haruslah bisa diterima semua kelompok masyarakat.

2. Narasi pers dan media yang seimbang dan mencerdaskan, bukan mencitrakan.

Sebagai pilar keempat demokrasi, pers dan media semestinya bisa menjalankan fungsi kontrol terhadap kebijakan pemerintah. Sebagai sumber informasi, pers dan media seharusnya bisa mencerdaskan masyarakat sekaligus menjadi bagian dari alat pemersatu bangsa.

Tapi, sejak 4,5 tahun pemerintahan Jokowi berkuasa (ditambah 2 tahun masa kepemimpinan sebagai Gubernur DKI Jakarta), sebagian besar pers dan media di Indonesia malah memposisikan diri menjadi corong penguasa. Saya tidak ingin repot mengulas apakah ada misi besar dari konglomerasi media dibalik perubahan fungsi jurnalistik mereka ini.

Yang jelas saya rasakan adalah, pers memberi sumbangsih yang besar dalam terciptanya polarisasi dalam masyarakat kita sendiri. Pers, melalui narasi-narasi yang sumbang dan kerap menyesatkan, dengan bingkai berita yang sering tendensius, dan sering pula memaksakan citra seseorang, membuat kelompok yang tidak menyukai pemerintahan Jokowi menjadi semakin tidak suka!

Rekonsiliasi nasional bisa terwujud dan terlaksana dengan baik apabila pers kembali pada jatidirinya semula. Dengan pemberitaan yang seimbang dan narasi berita yang mencerdaskan. Melalui pers pula, opini yang berkembang dalam masyarakat bisa digiring kembali dalam upaya menciptakan situasi yang lebih kondusif.

3. Netralitas aparat

Baik Panglima TNI maupun Kapolri selalu menegaskan dan menjamin netralitas aparat keamanan, terutama dalam kontestasi pilpres dan pileg 2019. Namun, bukan berarti instruksi itu bisa berjalan dengan mulus. Masih banyak dijumpai kasus-kasus di mana aparat dinilai tidak netral dan memihak kelompok tertentu.

Netralitas aparat kepolisian yang semestinya bisa berperan sebagai wasit dalam kompetisi pilpres dipertanyakan banyak kalangan. Tuduhan bahwa Korps Bhayangkara ikut bermain dan cenderung memihak kubu petahana bukanlah tuduhan tanpa alasan.

Beberapa kejadian terakhir mengindikasikan keterlibatan oknum kepolisian dalam politik praktis. Baik itu mengkampanyekan petahana, maupun menyerang kandidat oposisi. Semua itu dilakukan dengan masif dan nyaris terang-terangan.

Untuk memuluskan jalan rekonsiliasi nasional ini, perlu ada penegasan lagi dari Panglima TNI dan Kapolri. Bahwa semua aparat TNI-Polri dari berbagai tingkat institusi, struktur organisasi atau jenjang kepangkatan akan bersikap netral. Tugas mereka adalah mengayomi, bukan ikut kompetisi.

4. Menyingkirkan ego dan kesombongan politik

Tidak ada asap tanpa api, tidak ada perbuatan tanpa ada yang dicontohkan. Apa yang terjadi pada masyarakat saat ini merupakan buah dari perilaku elit-elit politik dan pemerintah.

Polarisasi niscaya tidak akan terjadi, minimal tidak akan membesar bila elit politik, tokoh masyarakat dan pejabat pemerintahan bisa memberi contoh yang baik. Rasa tidak suka pada pemerintahan Jokowi tercipta karena narasi pembangunan mereka yang lebih mengedepankan ego dan kesombongan. 

Sejak Jokowi terpilih menjadi presiden, mulai bermunculan kelompok-kelompok yang mengaku paling "lebih" memiliki Indonesia ini. Mulai bermunculan kelompok yang mengaku "lebih berhak" tinggal di Indonesia ini. Ini menunjukkan pemerintahan Jokowi tidak memiliki kemampuan untuk merangkul semua elemen bangsa. Mereka lebih memilih untuk menganakemaskan pendukungnya, dan meminggirkan mereka yang tidak sependapat.

Saya yakin, seandainya sejak awal terpilih pada pilpres 2014 lalu Jokowi langsung mengajak semua pihak untuk ikut mendukung pemerintahannya, dan membuat struktur organisasi pemerintah yang diisi oleh semua kelompok (tanpa harus melupakan pihak-pihak yang sudah membantu), pemerintahan Jokowi bisa lebih diterima oleh semua masyarakat.

Saya juga yakin, seandainya narasi pembangunan yang dibuat oleh pemerintah itu dibahasakan dengan rasa rendah hati, tidak menyombongkan prestasi yang telah dibuat seolah-olah pembangunan Indonesia baru dimulai di era mereka, sekaligus menjatuhkan dan menihilkan apa yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, niscaya pemerintah Jokowi akan lebih diterima dengan rasa ikhlas dan rekonsiliasi nasional akan lebih mudah terwujud.

5. Integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Diatas semua yang sudah disebutkan, integritas dalam penyelenggaraan pemerintahan bisa memegang peran penting dalam proses rekonsiliasi nasional. Dalam integritas ini, ada nilai kejujuran yang sudah seharusnya menjadi dasar dalam setiap pelaksanaan proses kerja pemerintah.

Terlebih dalam kontestasi pemilu kali ini, masyarakat menginginkan KPU sebagai penyelenggara pemilu bersikap adil dan jujur dalam mengawal pesta demokrasi ini. Karena itu, apa yang disampaikan Dahnil Azhar menjadi tepat dalam konteks ini. Bahwa situasi "panas" yang tercipta tak lain adalah implikasi dari merosotnya kepercayaan pihak yang berseberangan dengan pemerintah terhadap kinerja KPU dalam menyelenggarakan pemilu.

Tuduhan adanya kecurangan yang terstruktur, sistematis dan massif harus dijawab oleh KPU dengan kinerja yang berintegritas, menjunjung tinggi kejujuran dan keadilan. Kita semua tentu menginginkan, siapapun pemenang dari kompetisi ini, siapapun yang nanti akan terpilih menjadi presiden dan wakil-wakil rakyat, adalah murni berasal dari suara rakyat itu sendiri.

***

Apabila kelima hal itu bisa dipenuhi, rekonsiliasi nasional akan menjadi lebih mudah dilakukan. Pihak-pihak yang sebelumnya merasa tidak puas dan tidak suka, akan bisa lebih menerima kekalahan. Dan seandainya mereka jadi pemenang, apa yang sudah mereka alami sebelumnya bisa menjadi pelajaran berharga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun