Hanya saja, penyedia layanan melindungi "kepemilikan" atas nama domain tersebut dengan cara "menguncinya" supaya tidak ada nama yang identik sama persis. Kalau mirip itu jelas tidak bisa dihindari.
Perlindungan atas kepemilikan konten ini lah yang membuat beberapa penyedia layanan media sosial mempersilahkan pengguna untuk mengunduh data-data mereka sebelum layanan mereka ditutup.
Seperti yang dilakukan Google Plus. Mulai 2 April 2019, platform media sosial dari Google ini akan ditutup untuk selamanya. Jauh hari sebelum hari-H, Google mempersilahkan pengguna untuk mengunduh data-data yang sudah diunggah. Selain berbentuk pemberitahuan langsung di platform, Google Plus juga mengirim pemberitahuan ke alamat email pengguna.
Kebijakan ini tentu saja tidak dilakukan apabila akun kita melanggar ketentuan layanan, yang mengakibatkan akun kita ditutup/dihapus secara sepihak.
Belajar dari kasus gugatan Abu Janda tersebut, kita semestinya bisa memahami, seperti apa konsep kepemilikan dari properti digital. Apa yang sudah terlanjur kita anggap sebagai hak milik di dunia digital, ternyata bukan benar-benar menjadi hak milik kita. Kita hanya sekedar diberi kesempatan untuk menggunakan lisensi atau fitur dari penyedia layanan dengan perjanjian yang mengikat, baik itu dalam pemanfaatannya atau jangka waktunya.
Pada titik ini, istilah "Kepemilikan properti digital" sepertinya kurang tepat. Mungkin frasa "rental digital" bisa menjadi istilah yang lebih tepat untuk menggambarkannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI