Penggiat media sosial Permadi Arya meradang. Laman Facebooknya yang diberi nama Abu Janda dihapus oleh Facebook dan namanya dikaitkan dengan jaringan penyebar hoaks Saracen. Merasa dirugikan karena kehilangan data serta sumber penghasilan, Permadi Arya mensomasi Facebook untuk mengembalikan akun Facebooknya tersebut.
Selain itu, Permadi Arya juga mengatakan Facebook sudah mencemarkan nama baiknya karena mengaitkan akun Facebooknya dengan jaringan Saracen. Jika tidak ditanggapi, Permadi Arya mengancam akan menggugat Facebook senilai 1 triliun rupiah.
Melalui laman Newsroom-nya, Facebook sebelumnya mengumumkan pihaknya sudah menghapus sejumlah laman (page), grup dan akun di Facebook serta Instagram yang dianggap terkait dengan jaringan penyebar hoaks Saracen.
Akun maupun grup yang dihapus itu juga dianggap menyesatkan orang lain, tentang siapa mereka dan apa yang dilakukan. Facebook memang menyebut, semua page, akun, dan grup ini tertaut dengan sindikat online Saracen.
"Kami menghapus page, grup, dan akun berdasarkan tindakan dan aktivitas mereka di Facebook, bukan karena konten yang diunggah," kata Head of Cybersecurity Policy Facebook Nathaniel Gleicher seperti dikutip dari Newsroom Facebook.
Menurut Gleicher, dalam hal penghapusan akun ini, orang-orang di balik aktivitas saling terkait satu sama lain dan menggunakan akun palsu untuk mempresentasikan diri mereka sendiri.
"Itu adalah dasar dari tindakan kami (menghapus page, akun, dan grup)," kata Gleicher.
Menanggapi berita gugatan Permadi Arya pada Facebook, banyak netizen yang menyindir dan menertawakan somasi dan gugatan tersebut. Menurut netizen, gugatan itu adalah sebuah "kedunguan" yang dipertontonkan Permadi Arya secara terang-terangan kepada publik, terlebih kepada para pengikutnya sendiri.
Netizen mengibaratkan, Permadi Arya sudah diberi fasilitas gratis oleh Facebook, diberi rumah sebagai tempat berteduh dan beraktivitas. Ketika si tuan rumah merasa aktivitasnya mengganggu (apalagi memakai nama alias) lalu mengusirnya, eh malah tuan rumahnya yang digugat. Ini namanya sudah dikasih hati, tidak tahu terima kasih.
Diluar penilaian "bodoh" dan "tidak tahu diri" dari netizen, saya menilai ada satu pelajaran yang bisa kita ambil. Entah dia memang memahami atau tidak, somasi dan gugatan yang dilakukannya bisa memberi kita sebuah pelajaran tentang arti dari sebuah kepemilikan properti digital.
Mari kita tepikan dulu unsur pencemaran nama baik dari gugatan tersebut lantaran si Permadi Arya tidak terima namanya (Abu Janda) dikaitkan dengan jaringan Saracen. Dalam salah satu poin somasinya, Permadi Arya merasa dirugikan karena akun "Miliknya" dihapus. Nah, kata "milik" atau kepemilikan inilah yang akan saya ulas sedikit.
Salah paham tentang "Hak Milik" pada properti digital
Selama ini, kita selalu merasa mempunyai "Hak Milik" atas sebuah akun di media sosial. Entah itu di Facebook, Instagram, Whatsapp atau website pribadi. Benarkah semua itu adalah "Hak Milik" kita? Dan karena "kepemilikan" itu kita bisa menggugat apabila ada pihak-pihak tertentu yang di kemudian hari menghapus atau menutupnya?
Berbeda dengan di dunia nyata, dimana fisik dari sebuah properti atau benda itu bisa dirasakan panca indra manusia (bisa dilihat atau dirasakan bentuk nyatanya), konsep kepemilikan di dunia digital adalah hal yang kompleks. Hanya lantaran kita membuat sendiri sebuah akun media sosial, atau kita merasa sudah membayar atas layanan digital seperti nama domain dan hosting dari website kita, bukan berarti kita sudah "memiliki" properti digital tersebut.
Contoh pertama, coba bayangkan ilustrasi berikut: Seandainya Facebook ditutup oleh Mark Zuckerberg, apakah kita merasa kehilangan properti kita? Apakah kita dirugikan oleh tindakan penutupan tersebut?
Merasa kehilangan mungkin iya, tapi kita tidak bisa mengklaim sudah dirugikan. Seandainya Facebook menutup layanan mereka, atau menutup akun kita secara sepihak, kita tidak bisa mengklaim sudah dirugikan. Sebab utamanya adalah lantaran kita tidak memberi kompensasi apapun pada Facebook.
Bagaimana bila kita sudah memberi kompensasi, dengan membayar misalnya?
Sama saja. Meskipun kita sudah membayar, pada dasarnya kita tidak membeli apapun. Saya ambil contoh layanan digital berbayar yang sebentar lagi menutup platform mereka.
Ultraviolet adalah penyedia layanan film atau video dimana kita harus membayar untuk bisa melihatnya. Pengguna yang sudah membayar bisa menonton secara streaming/langsung, atau mengunduhnya untuk bisa ditonton di lain waktu, yang tentu saja hanya bisa ditonton melalui platform Ultraviolet.
Dalam pengertian pengguna awam, mereka merasa sudah "membeli" film/video di Ultraviolet. Padahal tidak seperti itu. Film/video yang sudah mereka "beli" tidak bisa diputar di platform lain. Berbeda jika kita membeli kaset/kepingan DVD yang berbentuk fisik. Kita bisa menyetelnya di berbagai merek pemutar kaset/DVD.
Karena itu, ketika Ultraviolet mengumumkan akan menutup layanan mereka per 31 Juli 2019, perusahaan menyarankan menyarankan pengguna yang sudah "membeli" film untuk mentransfer lisensi dari film tersebut ke layanan pesaing, seperti Movies Anywhere.
Pada kasus seperti Ultraviolet tersebut, yang dimaksud sebagai Kepemilikan Properti Digital sebenarnya adalah pengguna diberi kesempatan menggunakan lisensi dari apa yang sudah mereka bayar di platform tersebut. Konsep penggunaan lisensi ini merupakan implikasi dari terbitnya Digital Rights Management (DRM).
DRM adalah tindakan anti-pembajakan yang mencegah kita memproduksi atau menggunakan salinan ilegal materi digital yang diunduh. Ini adalah bentuk digital dari sistem anti-pembajakan seperti pada kaset VHS atau keping digital (CD/DVD).
Biasanya, file yang dikunci dengan DRM hanya dapat dibuka oleh pengguna tertentu (yang sudah membayar) pada platform perangkat lunak tertentu. Tujuan DRM adalah untuk mencegah redistribusi media digital yang tidak sah dan membatasi cara konsumen menyalin konten yang telah mereka "beli".
Layanan streaming seperti Ultraviolet dan Movies Anywhere atau Amazon Video secara teknis menggunakan bentuk DRM untuk mencegah pembajakan. Saat kita "membeli" film di layanan ini, kita benar-benar membeli lisensi streaming yang terhubung ke akun kita, bukan salinan film yang sebenarnya.
Beberapa layanan media sosial (seperti layanan "kencan digital") juga memiliki bentuk DRM untuk tujuan keamanan yang jelas. Kita tidak dapat mengunduh data pengguna lain, dan kita tidak dapat mengunduh data kita sendiri kecuali kita tahu kata sandinya.
Karena itu, dalam klausul di beberapa penyedia konten digital (terutama film, lagu atau gim), mereka mencantumkan bahwa konten "dilisensikan, tidak dijual". Dan oleh sebab itu penyedia konten "berhak untuk memodifikasi, menangguhkan, atau menghentikan" layanan mereka "kapan saja" dan tanpa " memberi imbalan kewajiban" apapun.
Contoh berikutnya ada dalam website pribadi yang kita buat. Langkah pertama saat membuat website adalah kita diharuskan "membeli" nama domain dan hosting.
Faktanya, meskipun kita sudah membeli nama domain, sesungguhnya kita tidak bisa mengklaim hak miliknya. Kejutan bukan?
Istilah membeli nama domain sebenarnya kurang tepat. Yang benar adalah kita hanya menyewa nama domain dalam durasi waktu tertentu, biasanya minimal 1 tahun.
Bahasa sederhananya menurut Wikipedia,Â
"...pendaftaran nama domain dengan registrar tidak memberikan kepemilikan sah atas nama domain, hanya hak penggunaan eksklusif."Â
Lebih jelasnya, kita hanya memiliki kontrak dengan pencatat domain/registrar yang memberi kita "kepemilikan" dari domain seperti sebuah kontrak dengan perusahaan telepon untuk nomor telepon.
Begitu pula dengan web hosting. Kita hanya sekedar menyewa ruang, atau mengontrak rumah untuk ditempati berbagai database dari konten-konten yang ada pada website kita.
Dalam kasus akun di media sosial atau website, yang sebenar-benarnya merupakan hak milik kita hanyalah konten yang berbentuk tulisan atau konten visual (gambar atau video). Sedangkan nama domain atau nama akun bukan menjadi hak milik kita.Â
Hanya saja, penyedia layanan melindungi "kepemilikan" atas nama domain tersebut dengan cara "menguncinya" supaya tidak ada nama yang identik sama persis. Kalau mirip itu jelas tidak bisa dihindari.
Perlindungan atas kepemilikan konten ini lah yang membuat beberapa penyedia layanan media sosial mempersilahkan pengguna untuk mengunduh data-data mereka sebelum layanan mereka ditutup.
Seperti yang dilakukan Google Plus. Mulai 2 April 2019, platform media sosial dari Google ini akan ditutup untuk selamanya. Jauh hari sebelum hari-H, Google mempersilahkan pengguna untuk mengunduh data-data yang sudah diunggah. Selain berbentuk pemberitahuan langsung di platform, Google Plus juga mengirim pemberitahuan ke alamat email pengguna.
Kebijakan ini tentu saja tidak dilakukan apabila akun kita melanggar ketentuan layanan, yang mengakibatkan akun kita ditutup/dihapus secara sepihak.
Belajar dari kasus gugatan Abu Janda tersebut, kita semestinya bisa memahami, seperti apa konsep kepemilikan dari properti digital. Apa yang sudah terlanjur kita anggap sebagai hak milik di dunia digital, ternyata bukan benar-benar menjadi hak milik kita. Kita hanya sekedar diberi kesempatan untuk menggunakan lisensi atau fitur dari penyedia layanan dengan perjanjian yang mengikat, baik itu dalam pemanfaatannya atau jangka waktunya.
Pada titik ini, istilah "Kepemilikan properti digital" sepertinya kurang tepat. Mungkin frasa "rental digital" bisa menjadi istilah yang lebih tepat untuk menggambarkannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H