Tak banyak iklan yang bisa memantik kontroversi dan perdebatan dalam skala nasional. Dari yang sangat sedikit itu, salah satu iklan yang sukses memancing reaksi masyarakat luas dan menjadi perbincangan banyak kalangan adalah iklan Gillette.
Pertengahan Januari lalu, Gillette, brand ternama dari produk alat cukur meluncurkan iklan kampanye mereka yang terbaru. Dalam iklan yang bertajuk We Believe: The Best a Man Can Be itu, Gillette membuat sebuah film pendek berisi adegan-adegan anak laki-laki yang bergulat di sebuah acara masak-memasak, pelaku intimidasi mengejar seorang anak lelaki di jalan, para pria menyuiti wanita dan membuat lelucon cabul serta beberapa tindakan kasar lainnya.
Iklan ini kemudian diakhiri dengan adegan beberapa lelaki  menghentikan perkelahian, menghentikan pelecehan seksual yang membuat wanita tidak nyaman, serta menunjukkan perilaku yang sopan. Para lelaki yang melakukannya tersebut digambarkan sebagai orang hebat.
Pesan yang tersirat dalam iklan ini sangat jelas; memohon para pria untuk "menjadi lebih baik". Bahwa di zaman modern tindakan para lelaki yang terakhir itulah (yang wajahnya licin tanpa ada cambang atau kumis) yang harus menjadi model baru dari rasa percaya diri akan maskulinitas seorang pria.
Sejak ditayangkan pertama kali pada pertengahan Januari, iklan ini langsung menjadi topik panas yang diperdebatkan banyak orang Amerika.Â
Beragam opini ditulis di media, membahas masalah substansi konten iklan hingga tentang strategi branding dari Gillette yang dinilai berhasil memancing engagement paling besar.Â
Di saluran YouTube, iklan Gillette sudah dilihat sebanyak 25 juta kali, dikomentari 360 ribu pengguna, dan meraih 1,2 juta dislike, lebih banyak dua kali lipat daripada yang menekan tombol suka.
Perdebatan itu terletak pada pokok materi iklan, yakni tema Racun Maskulinitas yang digambarkan pada adegan-adegan kasar yang dilakukan para lelaki.Â
Pesan tentang racun maskulinitas ini terlihat jelas dari adegan sekelompok pria yang berdiri berjajar di atas panggangan mereka, mengulangi secara robotis "anak laki-laki akan menjadi anak laki-laki." Pesannya adalah bahwa semua pria sama saja.
Para pria Amerika (yang merasa jantan) marah. Mereka tidak terima Gillette memukul rata makna dari perilaku maskulin sebagai sebuah tindakan kasar dan tak sopan. Mereka menganggap apa yang disebut sebagai racun maskulinitas itu tidak nyata.
Bahwa tindakan kasar dan beberapa perilaku tidak sopan yang digambarkan dalam iklan tersebut bukanlah manifestasi dari perilaku maskulin yang sebenarnya.Â
Bahwa perilaku kasar dan tidak sopan yang tertanam pada sebagian pria harus diakui memang nyata. Namun itu tidak terkait dengan makna maskulin sebagaimana yang digeneralisasikan dalam iklan Gillette.
Beragam cuitan yang mengekspresikan respon negatif terhadap isi pesan iklan tersebut berlalulalang di media sosial.
"Mengapa kamu menempel hidungmu di tempat yang bukan miliknya? Katakan saja kamu membuat pisau cukur terbaik. Saya tidak tertarik dengan pendapatmu tentang arti maskulinitas"
"Cukup dengan mempermalukan gender, Gillette."
"Biarkan anak laki-laki menjadi anak laki-laki, sialan. Biarlah laki-laki menjadi laki-laki sial."
Sementara kamu pria bersikap reaksioner terhadap iklan Gillette, para feminist justru bertepuk tangan dan mengapresiasi iklan tersebut. Sebagian besar wanita yang setuju dengan iklan itu mengatakan, reaksi para pria terhadap iklan Gillette justru menunjukkan watak asli mereka. Mereka mengatakan, pihak yang kontra dan kecewa dengan iklan Gillette harusnya bertanya dan berkaca pada diri sendiri, "Mengapa tersinggung?".
Kaum wanita menganggap implikasi dari kekecewaan dan penolakan yang ditunjukkan banyak pria Amerika tersebut adalah bahwa, jika mereka tidak suka diajar oleh perusahaan yang mencoba menjual pisau cukurnya kepada mereka, itu berarti mereka kemungkinan masuk dalam kelompok pengganggu dan pelecehan seksual yang ada dalam pikiran pembuat iklan ketika mereka membuat iklannya.
Di luar perdebatan tersebut, banyak pihak, khususnya yang bergerak dalam bidang advertising mengatakan iklan Gillette benar-benar fenomenal dan kontroversial. Gillette dianggap membobol bendungan tebal yang selama ini menahan ego dan mitos kejantatan seorang pria.
Banyak iklan yang mengangkat budaya maskulin. Tetapi, mereka hanya memperlihatkan sisi "mitos"nya saja, bukan sebagian realita yang tertanam dalam budaya tersebut.
Seperti iklan dari produk rokok. Lihatlah bagaimana produsen dan pembuat iklan menggambarkan stereotipe dari arti maskulin dan kejantanan. Tampan, gagah, parlente, mewah, berkuasa. Pokoknya seperti apa yang ada dalam diri seorang dewa Apollo.
Padahal para perokok aslinya nyaris tidak ada yang menyerupai gambaran dari iklan tersebut.
Karena itulah, ketika Gillette membuka tabir mitos kejantanan pria dan menyiratkan bagaimana racun maskulinitas itu mempengaruhi perilaku pria dalam kehidupan sehari-hari, sensor kejantanan para pria yang sensitif langsung bereaksi keras.
Sama halnya dengan penggambaran sosok wanita dalam berbagai iklan. Banyak iklan yang ditargetkan pada wanita mengatakan kepada mereka untuk menjadi wanita sempurna: cantik, selalu melayani suami, rajin bekerja di dapur, sabar terhadap anak-anak dan lain-lain. Semuanya dibuat-buat tanpa cela.
"Bukankah sudah waktunya kita berhenti memaafkan perilaku buruk?" Tanya Gillette dalam tweet  mereka saat memperkenalkan iklan tersebut. Ya. memang benar bahwa sudah menjadi keharusan bagi kita - terutama kaum pria - semua untuk berhenti memaafkan perilaku buruk.
"Boys will be boys"? Isn't it time we stopped excusing bad behavior? Re-think and take action by joining us at https://t.co/giHuGDEvlT. #TheBestMenCanBe pic.twitter.com/hhBL1XjFVo--- Gillette (@Gillette) January 14, 2019
Jika dilihat dengan lebih sabar, iklan Gillette tidak "menghilangkan maskulinitas". Iklan Itu hanya mengatakan bahwa pria dapat memilih untuk melawan tekanan teman sebaya yang memberitahu mereka untuk bertindak seperti "pria sejati" melalui perkelahian atau melecehkan orang. Iklan Gillette memberi tahu target audiens untuk bertindak seperti "pria sejati" dengan cara menghormati rekan-rekan mereka dan memperlakukan wanita sebagaimana mestinya.
Gillette membuat iklan ini mungkin karena mereka berpikir di luar sana ada lebih banyak pria yang ingin menjadi baik, daripada pria yang berperilaku kasar dan tidak sopan hanya karena mereka ingin membuktikan: kejantanan.
Dari sisi dunia advertising, iklan Gillette bukanlah hal yang baru. Dalam budaya konsumen post modern saat ini, mayoritas konsumen setuju bahwa merek harus mengambil sikap terhadap masalah sosial. Hanya melulu berjualan saja bukanlah strategi marketing yang baik.
Sembari ikut berbicara tentang isu-isu yang tengah hangat dibicarakan, iklan bertema masalah sosial juga bisa menghasilkan keterlibatan yang luas. Gillette membuktikannya lewat iklan We Believe: The Best a man can be mereka dan berhasil memperluas audiens mereka.
Iklan Gillette menghasilkan volume besar percakapan dan keterlibatan dengan audiens baru pada saat yang bersamaan. Mereka melakukan semua ini sambil mempertahankan branding asli dan pesan utama untuk audiens tradisional mereka.
Secara historis, Gillette selalu menargetkan pemirsa laki-laki, yang diperlihatkan secara eksplisit melalui tagline "The Best a man can get." Iklan itu dibintangi pria dan berfokus pada perilaku maskulin.
Tindakan mencukur memang selalu dikaitkan dengan gender tertentu, yakni kaum pria. Meskipun begitu, kaum wanita toh juga melakukannya, walau tidak sesering lawan jenisnya.
Melibatkan wanita secara positif dalam industri cukur merupakan peluang yang diabaikan. Wanita seolah merasa jijik dengan topik cukur. Pamali, kata orang Jawa.
Gillette-lah yang akhirnya berhasil membuang pamali tersebut. Iklan terbaru mereka justru meraih tanggapan paling besar dari kaum wanita. Menurut data Crimson Hexagon, iklan tradisional Gillette sebelumnya didominasi percakapan dari pemirsa laki-laki, sebanyak 56 persen. Sementara dari iklan terbaru mereka, jumlah audiens wanita melonjak tajam menjadi 62 persen.
Dari para wanita yang terlibat dalam pembicaraan tentang iklan Gillette, 51 persen menyatakan kegembiraan, yang merupakan penyimpangan yang signifikan dari sentimen wanita tentang bercukur secara umum.Â
Sementara 28 persen wanita menunjukkan rasa jijik tentang iklan tersebut. Hanya saja sebagian besar dari rasa jijik itu ditargetkan pada racun maskulinitas yang diperlihatkan pada iklan, dan bukan tentang iklan itu sendiri. Respons wanita terhadap iklan itu sangat positif, dan beberapa opini serta postingan di Twitter paling banyak di-retweet oleh wanita.
Iklan Gillette juga membawa sebuah pelajaran, bahwa brand yang sukses seharusnya mewujudkan lebih dari barang nyata (atau layanan tidak berwujud) yang menyandang logonya. Arsitektur sebuah merek dibangun di sekitar makna, nilai, dan pernyataan sosiopolitik.
THIS is how you use your brand. THIS is how you engage with your audience. Gillette being aware of mostly having a male audience and using their influence as a global brand to make a change for the better. other companies take notes pic.twitter.com/KCdxKDLji0--- laq (@loonavesres) January 15, 2019
"We don't buy products because of what they do. We buy them because of what they mean."
 Inilah yang disebut lifestyle marketing, pemasaran gaya hidup. Setiap produk membutuhkan proposisi nilai, dan jika konsumen memilihnya, proposisi itu pada dasarnya adalah cerita yang selaras dengan mereka. Item yang diiklankan atau dijual hanyalah ekspresi fisik dari narasi yang mendasari merek tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H