Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Iklan Gillette dan Racun Maskulinitas yang Menjadi Perdebatan Nasional

23 Januari 2019   13:56 Diperbarui: 23 Januari 2019   14:04 950
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Tindakan mencukur memang selalu dikaitkan dengan gender tertentu, yakni kaum pria. Meskipun begitu, kaum wanita toh juga melakukannya, walau tidak sesering lawan jenisnya.

Melibatkan wanita secara positif dalam industri cukur merupakan peluang yang diabaikan. Wanita seolah merasa jijik dengan topik cukur. Pamali, kata orang Jawa.

Gillette-lah yang akhirnya berhasil membuang pamali tersebut. Iklan terbaru mereka justru meraih tanggapan paling besar dari kaum wanita. Menurut data Crimson Hexagon, iklan tradisional Gillette sebelumnya didominasi percakapan dari pemirsa laki-laki, sebanyak 56 persen. Sementara dari iklan terbaru mereka, jumlah audiens wanita melonjak tajam menjadi 62 persen.

Dari para wanita yang terlibat dalam pembicaraan tentang iklan Gillette, 51 persen menyatakan kegembiraan, yang merupakan penyimpangan yang signifikan dari sentimen wanita tentang bercukur secara umum. 

Sementara 28 persen wanita menunjukkan rasa jijik tentang iklan tersebut. Hanya saja sebagian besar dari rasa jijik itu ditargetkan pada racun maskulinitas yang diperlihatkan pada iklan, dan bukan tentang iklan itu sendiri. Respons wanita terhadap iklan itu sangat positif, dan beberapa opini serta postingan di Twitter paling banyak di-retweet oleh wanita.

Iklan Gillette juga membawa sebuah pelajaran, bahwa brand yang sukses seharusnya mewujudkan lebih dari barang nyata (atau layanan tidak berwujud) yang menyandang logonya. Arsitektur sebuah merek dibangun di sekitar makna, nilai, dan pernyataan sosiopolitik.

"We don't buy products because of what they do. We buy them because of what they mean."

 Inilah yang disebut lifestyle marketing, pemasaran gaya hidup. Setiap produk membutuhkan proposisi nilai, dan jika konsumen memilihnya, proposisi itu pada dasarnya adalah cerita yang selaras dengan mereka. Item yang diiklankan atau dijual hanyalah ekspresi fisik dari narasi yang mendasari merek tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun