Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Yuk Kita Lihat "Keajaiban" Perpustakaan Masa Kini

14 Januari 2019   10:06 Diperbarui: 14 Januari 2019   12:56 668
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Intellegent Library di East Metro Mall, Taipei (commons.wikimedia.org)

Bayangan kita akan perpustakaan adalah sebuah bangunan dengan rak-rak buku berjajar, buka hanya pada hari dan jam kerja biasa. Dijaga oleh pustakawan berkacamata tebal, dengan wajah memberengut jika ada anggota yang terlambat mengembalikan buku.

Tapi, pernahkah kamu membayangkan ada bangunan perpustakaan tanpa pustakawan, yang buka 24 jam? Atau "perpustakaan" yang tidak memiliki koleksi buku apapun? Atau sistem pinjam-meminjam buku yang dilakukan di tempat fasilitas publik?

Mari kita lihat betapa ajaibnya perpustakaan masa kini:

***

Hari sudah hampir larut malam, ketika sebagian besar orang-orang di Taipei sudah bersiap untuk naik ke peraduan. Toko, kantor dan layanan publik sudah sejak sore hari tadi menutup diri. Mereka menunggu terbitnya matahari untuk membuka daun jendela dan pintu gerbang.

Di sudut kota Taipei, ada satu pintu yang tetap terbuka di tengah keheningan malam. Pintu itu mengarah ke sebuah perpustakaan.

Disana tidak ada petugas yang berjaga. Tidak ada resepsionis atau pustakawan yang meminta kartu anggota. Kamu tinggal masuk melalui pintu setelah kartu perpustakaan kamu dipindai. Setelah itu, pilih buku yang ingin kamu pinjam, dan keluar lagi.

Saat kamu bergerak, sensor perpustakaan mengikuti gerakanmu dengan mata elektroniknya. Ketika kamu keluar, perpustakaan mendeteksi buku mana yang kamu ambil tadi dan secara otomatis memasukkannya ke dalam akun keanggotaan.

itulah gambaran situasi dari Intellegent Library yang ada di Taipei. Hingga Januari 2018, Badan Perpustakaan Umum Taipei sudah membangun enam perpustakaan cerdas yang tersebar di beberapa tempat fasilitas publik, khususnya di jalur-jalur transportasi umum.

Fasilitas ini merupakan bagian dari upaya Perpustakaan Umum Taipei untuk mendorong budaya membaca di antara para penumpang MRT. Selain itu, Intellegent Library juga dibangun sebagai bentuk penghormatan untuk gadis kecil berusia 3 tahun bernama Lin yang dalam kurun waktu satu tahun sudah meminjam dan membaca 737 buku!

Perpustakaan cerdas ini berada di 3 lokasi stasiun MRT, yakni East Metro Hall, MRT Ximen Station dan MRT Songshan Airport Station. Masing-masing perpustakaan menawarkan layanan otomatis yang dilengkapi dengan identifikasi frekuensi radio (RFID) dan sistem self-checkout.

Intellegent Library di MRT Ximen Station, Taipei (librarything.com)
Intellegent Library di MRT Ximen Station, Taipei (librarything.com)
Intelligent Library tidak dimaksudkan untuk menggantikan perpustakaan yang biasa. Sebaliknya, mereka bertindak sebagai suplemen. Mereka memperluas jangkauan perpustakaan ke tempat-tempat di mana perpustakaan yang ditangani manusia secara penuh dan konvensional dianggap tidak terlalu praktis.

Intelligent Library juga bisa buka lebih awal dan tetap buka hingga larut malam. Hal ini penting bagi masyarakat intelektual di perkotaan. Karena dengan jam kerja yang semakin lama, malam hari adalah satu-satunya waktu yang dimiliki orang untuk membaca.

Beberapa perpustakaan konvensional memang ada yang buka hingga larut malam. Tapi hanya sedikit perpustakaan konvensional yang buka 24 jam penuh tanpa pernah menutup diri.

***

Perpustakaan Bath University, Inggris, adalah yang pertama di negara tersebut  yang mencoba perpustakaan 24 jam. Mereka melakukannya pada tahun 1996. Tapi baru pada dekade terakhir ini beberapa perpustakaan universitas lain mengikuti jejaknya.

Meski buka sepanjang waktu, perpustakaan ini memang tidak selalu digunakan. Tetapi setidaknya masih berguna bagi mahasiswa yang bekerja larut malam untuk mengerjakan tugas, atau bangun pagi untuk mempersiapkan ujian yang akan datang.

Selain digunakan untuk mencari referensi, perpustakaan 24 jam juga bermanfaat bagi para pelajar asing yang menggunakan ruang komputernya untuk melakukan panggilan Skype dengan kerabat di zona waktu yang berbeda.

Namun, karena pada waktu-waktu tertentu perpustakaan semacam ini tidak banyak digunakan, banyak yang beranggapan perpustakaan 24 jam hanya dimanfaatkan untuk memakai ruangannya saja, alih-alih untuk belajar atau membaca.

Mungkin itu sebabnya beberapa perpustakaan memutuskan untuk menghapus semua koleksi bukunya, dan hanya menyediakan ruangan baca.

Tapi, apakah dengan begitu masih patut disebut sebagai perpustakaan?

***

Jika pertanyaan itu diajukan kepada pengguna Perpustakaan Vision IAS, New Delhi, mereka akan mengangguk mantap, Ya! "Perpustakaan" tanpa buku adalah perpustakaan juga.

Vision IAS Library adalah salah satu dari beberapa ruang "Perpustakaan" seperti itu yang bermunculan di ibukota India. 'Perpustakaan' ini memiliki kamar-kamar ber-AC yang dibagi dalam sekat-sekat untuk membaca.  

Mereka memiliki akses WiFi, ruang diskusi terbuka, suasana hening yang biasa ada di perpustakaan konvensional. Pokoknya segala sesuatu yang bisa kamu harapkan ada pada sebuah perpustakaan. Kecuali satu, mereka tidak punya buku!

Yang mereka miliki dan tawarkan pada masyarakat adalah adalah deretan meja dengan kursi yang empuk, tempat kamu bisa duduk dan belajar tanpa ada gangguan. Kamu dapat memesan meja pada tiga shift waktu yang disediakan, - pagi, sore, dan malam - atau membayar biaya ekstra untuk akses sepanjang waktu.

Proyek perpustakaan tanpa buku di New Delhi ini dimulai pada 2011, setelah pasangan Shalini Rathod dan suaminya Sanjeev Rathod berulangkali gagal lulus ujian IAS untuk menjadi pegawai pemerintah (semacam tes PNS).

Mereka lalu memutuskan untuk memanfaatkan pengalaman mereka saat mengikuti ujian tersebut dengan memberi pelatihan. Ketika membuka kelas pelatihan itulah mereka sadar banyak siswa yang kehilangan satu hal: ruang yang nyaman dan bebas gangguan untuk belajar.

Vision IAS Library tidak menyimpan buku, karena buku teks ujian berubah setiap tahun. Sebagai gantinya, mereka menyediakan loker bagi pengguna untuk menyimpan barang-barang mereka sendiri.

'Perpustakaan' ini banyak diminati masyarakat New Delhi sepanjang tahun. Bahkan pada waktu-waktu tertentu, kamu harus antri mendaftar online hanya untuk mendapatkan tempat membaca yang nyaman dan bebas gangguan.

 Jika Vision IAS Library adalah perpustakaan tanpa buku, maka Safari Books Online adalah buku tanpa perpustakaan.

***

Safari Books Online didirikan pada tahun 2001 sebagai perusahaan patungan antara O'Reilly Media dan Pearson Technology Group.  Perpustakaan digital ini seolah menjadi Netflix dari buku teks digital.

Kamu membayar biaya bulanan atau tahunan, dan mendapatkan akses tak terbatas ke seluruh koleksi yang mereka punya. Kamu dapat membaca buku apa pun yang kamu sukai dalam format ebook, di berbagai perangkat yang kamu punya.

Pada awalnya, Safari Books Online fokus pada buku-buku digital tentang ilmu komputer dan pemrograman dan mencirikan dirinya sebagai "platform untuk teknologi dan pembelajaran bisnis". Lambat laun, mereka akhirnya berkembang ke disiplin ilmu yang lain.

Produk utama Safari adalah perpustakaan digital berbasis langganan yang meliputi buku, video, konten bentuk pendek dan naskah yang berkembang dari O'Reilly Media dan dari penerbit lain. Termasuk diantaranya adalah Addison-Wesley, Prentice Hall, Springer Nature, Peachpit, John Wiley & Sons, Microsoft Press, Adobe Press, Cisco Press, Manning Publications, Packt, SAS Publishing, IBM Press, FT Press dan Focal Press.

Safari Books Online memang dikhususkan untuk buku-buku teks versi digital terkini dari para penerbit besar. Bagaimana bila kamu ingin mencari buku digital lain yang layak untuk dibaca? Buku-buku untuk kesenangan belaka?

Bila kamu ingin mendapatkannya secara resmi, dalam arti tidak melalui situs-situs bajakan yang ilegal, Project Gutenberg dan Worldcat adalah tempat yang layak untuk dikunjungi.

***

Gagasan di balik Project Gutenberg sederhana saja. Ambil semua buku yang hak ciptanya (di wilayah Amerika Serikat) telah kedaluwarsa. Pindai, digitalkan, dan pasang untuk dibaca semua orang.

Project Gutenberg adalah upaya sukarela untuk mendigitalkan dan mengarsipkan karya budaya, untuk "mendorong pembuatan dan distribusi eBook". Project Gutenberg dimulai oleh Michael S. Hart pada tahun 1971 dengan digitalisasi Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat.

Hart, seorang mahasiswa di University of Illinois, saat itu memperoleh akses ke komputer mainframe Xerox Sigma V di Materials Research Lab milik universitas. Melalui seorang operator yang ramah, ia menerima "hadiah" berupa akun dengan jumlah waktu akses ke komputer yang hampir tidak terbatas; nilainya pada saat itu diperkirakan bervariasi pada $ 100.000 atau $ 100.000.000.

Hart lalu ingin "memberikan kembali" hadiah ini dengan melakukan sesuatu yang bisa dianggap sangat berharga. Tujuan awalnya adalah membuat 10.000 buku bisa tersedia untuk umum dengan sedikit atau tanpa biaya sama sekali.

Semua teks pada buku dimasukkan secara manual ke dalam komputer untuk proses digitalisasinya. Pada tahun 1989, mesin pemindai gambar dan perangkat lunak pengenalan optik mulai banyak tersedia. Hal ini memungkinkan buku-buku bisa dipindai secara cepat dan lebih layak.

Pada pertengahan 1990-an, Hart lalu meluncurkan Project Gutenberg dari Illinois Benedectine College. Banyak sukarelawan yang bergabung dalam proyek Hart tersebut, sehingga buku teks yang didigitalisasi pun semakin banyak pula.

Hingga tahun 2015, Project Gutenberg sudah memilikii 58 ribu koleksi ebook yang bisa menjadi sumber literatur berharga bagi kamu. Semua bisa didapatkan secara gratis, tanpa harus membayar biaya.

Saya pernah mendapatkan beberapa koleksi literatur dari penerbit di masa penjajahan Belanda. Seperti buku tentang varietas kopi di Indonesia versi ebook yang ditulis ahli botani Hindia Belanda, D.r. P. J. S. Cramer. Penerbitnya G. Kolff & Co, Batavia dengan tahun penerbitan 1913.

Masalahnya, hak cipta itu membutuhkan waktu untuk kedaluwarsa. Saat ini, perusahaan penerbitan bisa memperbaruinya meskipun penulis aslinya telah lama hilang.

Project Gutenberg memang tempat yang bagus bila kamu ingin mencari koleksi literatur jaman dulu seperti Alice in Wonderland. Tapi jika kamu ingin tahu dimana bisa mendapatkan koleksi buku-buku best seller versi New York Times yang terbaru, Worldcat adalah tempatnya.

***

WorldCat adalah katalog gabungan yang merinci koleksi 72.000 perpustakaan di 170 negara dan wilayah yang berpartisipasi dalam kerjasama global dengan the Online Computer Library Center. Telusuri buku, dan WorldCat akan memberi tahu kamu perpustakaan mana yang memiliki salinan (dari perpustakaan yang telah terdaftar dengan WorldCat).

Kemudian kamu dapat pergi ke perpustakaan tersebut dan membaca buku itu. Atau kamu juga bisa meminjam dan membawanya pulang.

Terkadang, kamu mungkin malas untuk pergi ke perpustakaan karena jaraknya yang jauh. Internet akhirnya datang untuk menghapus jarak ruang dan waktu. Jika internet bisa mempermudah semua urusan, mengapa tidak untuk urusan meminjam buku di perpustakaan?

Karena itu, banyak perpustakaan yang kini melengkapi fasilitas mereka dengan peminjaman secara digital. Perpustakaan tidak hanya meminjamkan buku fisik, namun mereka juga dapat meminjamkan ebooks.

Prosedur peminjaman bekerja dengan cara yang sama: kamu mendapatkan buku untuk sementara waktu, dan kemudian, setelah selesai masa waktu peminjaman, kamu "mengembalikan" buku itu atau jika kamu lupa dan bandel pihak perpustakaanlah yang menghapusnya dari perangkat dgitalmu.

Seperti yang dilakukan Perpustakaan Umum Nasional Indonesia melalui aplikasi iPusnas. Tapi saya kurang tahu apakah perpustakaan ini sudah bekerja sama dengan Worldcat atau belum.

Buku digital (ebooks) memang dianggap lebih praktis. Selain karena harganya lebih murah, tidak memerlukan ruang fisik, juga lebih ramah lingkungan.

Tapi jika kamu tidak suka ebook, ada beberapa cara ajaib lainnya untuk menularkan minat baca dengan meminjamkan buku fisik. Tanpa perlu mendirikan taman baca atau perpustakaan mini.

***

If you love your books, let them go.

Stasiun Metro New Delhi adalah tempat yang sangat sibuk. Lebih dari dua juta orang memadati stasiun di tengah kota ini setiap harinya untuk bepergian.

Di salah satu tempat, entah dimana di tengah keramaian manusia itu, jika kamu melihat dengan hati-hati, mungkin kamu bisa menemukan sebuah buku yang menarik untuk dibaca.  

'Books on the Delhi Metro' merupakan inisiatif dari penulis Shruti Sharma dan suaminya Tarun Chauhan. Dengan tagline "Ambil, Baca, Kembalikan", idenya adalah meninggalkan buku di tempat-tempat acak terutama di fasilitas publik untuk ditemukan orang.

pasangan Shruti Sharma dan Tarun Chauhan (indianexpress.com)
pasangan Shruti Sharma dan Tarun Chauhan (indianexpress.com)
Jika kamu menemukan buku disana, kamu dapat membawanya pulang dan membacanya. Setelah selesai, tinggalkan di suatu tempat - di mana saja -- selama terhubung dalam jaringan transportasi metro, agar orang lain dapat menemukannya. Peminjam buku juga diminta untuk meninggalkan pesan di twitter (dengan hashtag khusus) supaya bukunya dapat dilacak dimana terakhir kalinya ditinggalkan.

Proyek "Books on the Delhi Metro" sendiri terinspirasi dari Emma Watson, pemeran Hermione dalam film Harry Potter.

***

Pada tahun 2012, Emma Watson memulai sebuah proyek "Book on the Underground". Ia meninggalkan 250 buku dari koleksi klub bukunya, Our Self Shared, di jaringan transportasi bawah tanah kota London.

"Idenya adalah membuat orang suka membaca lagi dan menyebarkan cinta, seperti berbuat kebaikan secara acak," kata Emma Watson.

Setelah sukses di London, Emma Watson kemudian mengajak para penggemarnya di seluruh dunia melakukan hal yang sama dan menamakan proyek itu sebagai "Book Fairies". Hingga saat ini, Book Fairies sudah menyebar ke berbagai kota di 26 negara, mulai dari Bratislava hingga ke Dubai.

tiga buku ditinggalkan di dinding berhias mural di Singapura (bbc.com)
tiga buku ditinggalkan di dinding berhias mural di Singapura (bbc.com)
Jika kamu ingin menjadi peri buku seperti Emma Watson, kamu bisa mempertimbangkan ikut keanggotaan BookCrossing.

***

BookCrossing (juga disebut BC, Bcing atau Bxing) adalah "praktik meninggalkan buku di tempat umum untuk diambil dan dibaca oleh orang lain, yang kemudian melakukan hal yang sama."

Gerakan untuk melepaskan buku-buku koleksi pribadi "ke alam liar" ini diawali oleh ide dari Ron Hornbaker. Pada bulan April 2001, Ron meminta dua temannya Bruce dan Heather Pedersen untuk membuat situs BookCrossing.com sebagai fasilitas pinjam-meminjam buku antar anggotanya.

Dua tahun berikutnya, anggota BookCrossing sudah mencapai 113 ribu pecinta buku. Pada Juli 2007, Singapura menjadi negara pertama yang memberikan status resmi praktik tersebut. Pemerintah Singapura menetapkan 2.000 lokasi di negara itu sebagai 'BookCrossing hotspot'.

buku yang ditinggalkan dari koleksi BookCrossing (en.wikipedia.org)
buku yang ditinggalkan dari koleksi BookCrossing (en.wikipedia.org)
Pada 2017, keanggotaan BookCrossing melonjak hingga mencapai lebih dari 1,7 juta anggota dan lebih dari 11,7 juta buku bepergian melalui 132 negara.

Dengan slogan Label. Share. Follow, anggota BookCrossing yang hendak melepas bukunya terlebih dahulu harus melabeli buku mereka dengan sebuah label khusus. Dengan begitu, buku mereka akan bisa terlacak kemana perginya melalui sebuah entri jurnal dari seluruh dunia.

***

Menularkan minat baca pada masyarakat umum tidak harus dengan cara yang konvensional. Mendirikan taman baca atau kampanye membaca buku di perpustakaan.

Di kota Malang beberapa waktu yang lalu ada beberapa mahasiswa yang mengawali praktik Angkot Baca, menaruh buku-buku di beberapa kendaraan angkutan umum. Sayangnya, pertumbuhan angkutan online membuat angkot menjadi terpinggirkan sehingga kini proyek Angkot Baca menjadi terbengkalai.

Angkot Baca di Malang (surya.co.id)
Angkot Baca di Malang (surya.co.id)
Kita sering mengkhawatirkan budaya membaca yang terus turun, tergantikan oleh budaya menonton yang lebih menarik. Kita sering mengkhawatirkan bagaimana nantinya masa depan perpustakaan jika generasi sekarang enggan membaca buku.

Tapi, jika Ide-ide yang out of the box seperti Book on the Delhi Metro, Book Fairies hingga BookCrossing serta inisiatif yang serupa bisa terus berlanjut, kita tidak perlu khawatir bagaimana nasib perpustakaan kedepan. Karena seluruh dunia nanti akan menjadi perpustakaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun