Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Belajar Menulis Lebih Baik Lagi Sebelum Menerbitkan Buku

6 Januari 2019   09:00 Diperbarui: 6 Januari 2019   09:28 292
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@jonasjacobsson)

Banyak teman yang mendorong saya untuk menerbitkan sebuah buku. Alasannya,

"Kamu kan suka menulis. Sudah ribuan artikel yang kamu buat. Mengapa tidak segera menerbitkan satu buku?"

Setiap orang yang suka menulis ingin menerbitkan buku. Siapa sih yang tidak ingin namanya dikenang banyak orang, tercetak dalam sebuah buku yang bisa terjual jutaan eksemplar? Penulis mana yang tidak ingin mencapai prestasi puncak seperti yang sudah dilakukan banyak penulis dunia layaknya J.K Rowling (Fiksi) atau Michael.H. Hart (non fiksi) yang bukunya diterjemahkan dalam berbagai bahasa?

Tidak terkecuali saya. Mimpi dan harapan seperti itu bersemayam dalam periuk asa yang setiap hari saya beri api kehidupan.

Tapi, untuk urusan menerbitkan buku, saya cenderung perfeksionis. Saya tidak ingin buku saya isinya hanya republishing, atau menerbitkan ulang tulisan-tulisan yang pernah saya muat di berbagai blog.

Saya tidak ingin buku saya kelak hanya beredar di lingkungan teman sendiri, yang karena rasa tidak enak hati saja mereka mau menerima atau membelinya. Saya juga tidak ingin motivasi menerbitkan buku ini cuma karena gengsi semata, supaya dipandang orang masuk dalam daftar elit blogger/penulis yang pernah menerbitkan buku, meski cuma satu.

Mimpi saya tentang menerbitkan sebuah buku itu adalah; tidak harus terjual jutaan eksemplar, tapi setidaknya buku (yang masuk genre non fiksi) ini bisa tercantum di halaman belakang sebuah jurnal, karya tulis ilmiah atau buku lain yang bertema sejenis. Dalam arti, saya ingin buku ini kelak tercantum dalam sebuah daftar pustaka.

Sebenarnya, saya sudah memiliki draft buku yang siap cetak. Temanya tak jauh dari minat saya, tentang kopi. Komposisinya 70 persen republishing yang berasal dari berbagai tulisan yang pernah saya tayangkan di blog pribadi (termasuk Kompasiana). Sisanya adalah tulisan yang belum pernah saya publikasikan, karena saya memang sengaja menulisnya untuk keperluan buku ini.

Isi buku ini tentang mitos, sejarah dan budaya seputar kopi. Khusus untuk bagian sejarah, saya cukup yakin apa yang saya tuliskan disitu nantinya bisa dijadikan rujukan/referensi ilmiah.

Gambar pendukungnya sudah saya siapkan, hasil kreasi sendiri dan beberapa diantaranya mengambil di situs lain yang lisensinya common creative. Bahkan cover bukunya pun sudah saya buat juga. Sederhana saja seperti yang saya tampilkan di bawah ini.

desain Himam Miladi
desain Himam Miladi
(Lalu mengapa tidak juga diterbitkan? Sekarang kan lagi tren tuh penerbitan mandiri, biayanya juga tidak mahal)

Ya, memang sekarang lagi tren penerbitan mandiri (self-publishing). Banyak pula penerbit-penerbit indie yang memfasilitasi penerbitan mandiri dengan biaya yang murah.

Hanya saja, gara-gara saya membaca sebuah cerita inspirasi dari kisah hidup seorang pebisnis dunia, rencana untuk menerbitkan buku itu saya tunda dulu. Cerita itu memberi pelajaran pada saya, bahwa saya harus belajar menulis lebih baik dulu, sebelum bermimpi mencetak kesuksesan dalam hal menerbitkan buku.

***

Cerita ini dimulai di kota Almhult, sebuah kota kecil di Swedia selatan, pada awal tahun 1940-an. Seorang anak lelaki yang tumbuh berkembang di kota itu tengah asyik dengan proyek sederhananya. Dia tengah mengembangkan sebuah rencana, apabila dia membeli kotak korek api dalam jumlah besar dari Stockholm, yang berjarak beberapa jam dari kota kecilnya, dia bisa mendapatkan harga yang murah. Jika dia menjualnya kembali di Almhult dengan harga yang wajar, tentu dia akan mendapat keuntungan yang bagus.

Tak lama kemudian, anak itu menjalankan rencananya. Dia mengendarai sepeda berkeliling kota dan menjual korek api satu per satu kepada siapa pun yang membutuhkannya.

Begitu korek api mulai laku, anak itu lalu memperluas operasi pemasarannya yang mungil. Tidak lama kemudian, dia menambahkan hiasan natal, ikan, biji-bijian, pulpen dan pensil. Beberapa tahun kemudian, anak tersebut mulai menjual furnitur.

Nama bocah lelaki itu adalah Ingvar Kamprad, dan ketika berusia tujuh belas tahun, dia memberi nama bisnisnya itu IKEA. Pada 2013, IKEA menghasilkan lebih dari $ 37 miliar dolar.

***

Pelajaran yang saya dapat dari kisah hidup ini adalah; Ingvar Kamprad fokus pada mendapatkan bisnis yang baik sebelum dia mencoba menjadi besar di bisnisnya tersebut.

Kita hidup dalam masyarakat yang menghargai keterampilan, tetapi semua orang terobsesi dengan hasil. Memang mudah untuk fokus pada impian membangun bisnis yang sukses. Pengusaha mana yang tidak punya keinginan untuk memiliki bisnis yang bisa menghasilkan $37 miliar dolar setiap tahunnya?

Tapi jarang sekali ada yang fokus pada bagimana mengembangkan keterampilan yang berharga dari diri kita. Cerita perjalanan bisnis Ingvar Kamprad mengajari saya tentang hal ini.

Dia mulai dengan membangun keahliannya. Dia mulai dengan menjual satu buku korek api sekaligus. Dia fokus pada masalah kecil dan kemudian mengembangkan keterampilan penjualan yang dia miliki dan untuk memecahkan masalah yang lebih besar.

Semua orang tentunya memiliki obsesi IKEA masing-masing; menjadi lebih besar dari yang mereka alami saat ini. Hanya saja, banyak orang yang tidak memperhitungkan bagaimana proses dan perjuangan menjadi besar itu.

Fotografer pemula ingin hasil jepretannya bisa segera dipublikasikan di majalah National Geographic atau memenangkan kontes foto besar, bukan belajar memotret dalam ketidakjelasan relatif saat berusaha menguasai keahliannya. Pemain basket muda ingin berada di lineup awal, bukan berusaha menjadi dribbler terbaik di tim. Penulis baru ingin segera menerbitkan buku yang bisa terjual jutaan kopi dan masuk daftar best seller, bukan berusaha menjadi ahli prosa terlebih dahulu.

Saat menelusuri toko buku atau perpustakaan digital, saya banyak menjumpai buku-buku hasil karya penulis-penulis muda. Terutama yang bergenre fiksi. Anak perempuan saya sendiri juga suka membaca cerita-cerita dari anak-anak seusianya dalam buku Kecil-Kecil Punya Karya.

Terus terang, saya merasa salut dan memberi apresiasi yang besar pada penulis-penulis muda itu. Sepertinya sayalah yang harus banyak belajar pada mereka. Tentang keberanian, tekad yang kuat, dan terlebih lagi keterampilan mengolah kata.

Karena itulah, meskipun banyak teman yang mendorong untuk menerbitkan buku, banyak teman yang mengatakan sudah ribuan artikel yang saya terbitkan, hingga saat ini rencana untuk menerbitkan buku itu belum juga saya realisasikan.

Mimpi saya sudah berubah. Saya tak lagi bermimpi ingin menerbitkan buku yang best seller atau judulnya masuk dalam daftar pustaka.

Sekarang saya bermimpi bagaimana bisa mengikuti jejak Ingvar Kamprad; Fokus untuk belajar menulis lebih baik lagi sebelum mengkhawatirkan bagaimana mimpi berikutnya, yakni menerbitkan buku terbaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun