Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Satu Tips Saja Supaya Kamu Lebih Percaya Diri dengan Karya Tulismu

4 Januari 2019   15:26 Diperbarui: 4 Januari 2019   15:57 348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (unsplash.com/@jromeo)

"Rasanya kok nggak percaya diri kalau harus menulis, apalagi di Kompasiana. Disana banyak penulis-penulis hebat. Sementara tulisanku berantakan, bahasanya buruk."

Ketika mendapat tugas mengarang indah jaman masih sekolah dulu, saya selalu mengumpulkannya paling akhir. Bukan karena malas atau menunda, tapi karena tidak percaya diri dengan hasil karangan saya sendiri.

Setiap selesai menulis, dan kemudian membaca ulang sebelum hendak dikumpulkan, saya cenderung menilai sendiri kalau tulisan saya itu berantakan. Lebih seringnya karena saya menganggap bahasa yang saya gunakan itu buruk sekali.

Perbendaharaan kosa kata saya terbatas. Itu sebabnya saya paling benci kalau harus mengarang puisi. Karena otak saya sepertinya tidak mau diajak berpikir kreatif mencari kata-kata cantik nan indah yang bisa membuat puisi itu berima dan berirama.

Lambat laun, setelah mendapat banyak bekal ilmu menulis (hasil dari banyak membaca), terutama saat aktif di pers mahasiswa dulu, akhirnya saya merasa nyaman dan percaya diri dengan hasil tulisan saya. Satu peristiwa yang membelokkan saya dari rasa minder kepada rasa percaya diri pada karya tulis sendiri terjadi sewaktu saya hendak ujian skripsi.

Sewaktu menyodorkan draft skripsi untuk diujikan, dosen pembimbing saya sempat menegur, "Bahasamu kok kayak wartawan aja. Masak kamu mau maju skripsi dengan gaya bahasa tulisan seperti ini?"

Yah maklum saja, saking semangat dan aktifnya di pers mahasiswa, gaya bahasa jurnalisme itu terbawa saat menyusun naskah skripsi. Ketika masih berbentuk proposal penelitian, dosen saya masih memaklumi. Tapi ketika penelitian sudah selesai dan hasilnya hendak diuji, dosen pembimbing meminta saya untuk menyunting dan merevisi naskah skripsi tersebut.

Dua kali revisi, dua kali ditolak. Pada ketiga kalinya, saya yang sudah desperate banget nekat mengajukan naskah skripsi untuk segera diujikan.

"Kamu yakin dengan bahasa naskah skripsi seperti ini mau ujian?" tanya dosen pembimbing.

Mungkin saking jengkelnya tiap kali mengajukan naskah ditanya perihal bahasa, saya lalu nekat bertanya, "Maaf Bu, selain masalah bahasa, apa ada yang salah dengan substansi skripsi saya tersebut?"

Dalam hati, saya sudah berdebar-debar dan menanti omelan panjang dari beliau. Saya membayangkan dosen pembimbing saya tersebut akan berceramah, "Kamu itu, bla bla bla...."

Tapi dosen saya ternyata hanya diam. Dan sejenak kemudian berkata, "Ya sudah, kamu jadwalkan saja kapan ujiannya. Sesuaikan dengan jadwal dua dosen pengujimu."

Syukurlah, tapi perjalanan belum usai. Saya masih harus duduk di meja ujian, menghadapi rentetan pertanyaan dari dua dosen penguji yang saya tahu setiap kali mengajar tidak memiliki belas kasihan terhadap kesalahan mahasiswanya.

Hari yang dinanti pun tiba. Sembari terus merapal doa penuh harap, saya memantapkan keyakinan bahwa saya memang menguasai materi skripsi.

Dan alhamdulillah, keyakinan saya ternyata terbukti. Dengan lancar saya menjawab setiap pertanyaan dan sanggahan. Saya berhasil mempertahankan interpretasi dan argumen yang saya bangun berdasarkan teori yang saya jadikan sandaran untuk penelitian. Bahkan masalah bahasa naskah skripsi yang menurut dosen pembimbing saya mirip bahasa surat kabar itu juga tidak disinggung sama sekali.

(Jika ada yang penasaran apa topik skripsi saya, jawabannya adalah Model Sikap Fishbein & Ajzen yang saya terapkan untuk meneliti perilaku konsumen pada sebuah produk minuman yang baru. Pada awal tahun 2000-an, teori ini belum banyak digunakan sebagai materi skripsi di Indonesia. Jangan tanya tentang detilnya, karena sungguh, saat ini saya sudah lupa!).

Ketika meminta tanda tangan pada salah satu dosen penguji untuk pengesahan skripsi, saya bertanya pada beliau apakah bahasa skripsi saya tidak menjadi masalah. Saya tanyakan hal ini karena saya menginginkan opini pembanding. Jawaban dari dosen penguji mengejutkan saya:

"Mengapa harus jadi masalah? Bahasa tidak akan mengurangi substansi tulisan. Selama kamu mengikuti kaidah penulisan ilmiah dengan benar, metodologi penelitianmu juga benar, dan kamu bisa mempertahankan argumentasi yang kamu bangun dengan fakta-fakta ilmiah atau sumber literatur yang mendukung, maka kamu berhak lulus."

Poin terakhir yang dikatakan dosen penguji saya inilah yang kemudian saya ambil sebagai pelajaran dalam hal menulis bebas.

Bahasa tidak mengurangi substansi. Bahasa diciptakan untuk mempercantik tulisan.

Saat menulis bebas dan menyuntingnya, saya biasanya bertanya dalam hati; apakah ide atau opini saya ini bisa dipertanggungjawabkan? Mengapa menurut saya ide yang menjadi dasar tulisan itu benar? Argumen apa yang harus saya dukung? Apakah argumen saya konsisten? Argumen mana yang membangun satu sama lain, dan karena itu perlu saling mengikuti?

Bila ada pertanyaan, bagaimana saya menjawabnya? Jika ada sanggahan, bagaimana saya mempertahankannya? Apakah tulisan itu harus disusun secara kronologis, atau membalikkan urutan kronologinya? Atau mungkin ada prinsip pengorganisasian struktur tulisan lain yang bisa saya terapkan?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut satu pun tak ada kaitannya dengan tata bahasa atau pilihan kata. Semuanya terfokus pada substansi tulisan.

Jadi, yang saya maksud satu tips untuk membangun rasa percaya diri pada hasil tulisan sendiri adalah: Menghabiskan lebih banyak waktu pada substansi karya tulis.

Ketika hendak menulis, atau sebelum menayangkannya kita hendak menyunting terlebih dahulu, cobalah bertanya --tanya seputar ide dan substansi tulisan. Jika kita merasa sudah yakin dan nyaman dengan pokok-pokok tulisan, bahasa dan pilihan kata tempat kita menulis konten tersebut selalu dapat ditarik ulur, dipijat, dipotong-potong. Selalu bisa kita sunting sedemikian rupa agar mengalir lebih baik dan dapat dibaca lebih jelas. Terlebih lagi, supaya bisa kita sesuaikan dengan pasar pembaca yang hendak kita tuju.

Namun, jika kita tidak yakin pada ide dan substansi tulisan sendiri, karya tulis kita akan berakhir berantakan tidak peduli berapa banyak kalimat cantik yang bisa kita rangkai di dalamnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun