Dalam hati, saya sudah berdebar-debar dan menanti omelan panjang dari beliau. Saya membayangkan dosen pembimbing saya tersebut akan berceramah, "Kamu itu, bla bla bla...."
Tapi dosen saya ternyata hanya diam. Dan sejenak kemudian berkata, "Ya sudah, kamu jadwalkan saja kapan ujiannya. Sesuaikan dengan jadwal dua dosen pengujimu."
Syukurlah, tapi perjalanan belum usai. Saya masih harus duduk di meja ujian, menghadapi rentetan pertanyaan dari dua dosen penguji yang saya tahu setiap kali mengajar tidak memiliki belas kasihan terhadap kesalahan mahasiswanya.
Hari yang dinanti pun tiba. Sembari terus merapal doa penuh harap, saya memantapkan keyakinan bahwa saya memang menguasai materi skripsi.
Dan alhamdulillah, keyakinan saya ternyata terbukti. Dengan lancar saya menjawab setiap pertanyaan dan sanggahan. Saya berhasil mempertahankan interpretasi dan argumen yang saya bangun berdasarkan teori yang saya jadikan sandaran untuk penelitian. Bahkan masalah bahasa naskah skripsi yang menurut dosen pembimbing saya mirip bahasa surat kabar itu juga tidak disinggung sama sekali.
(Jika ada yang penasaran apa topik skripsi saya, jawabannya adalah Model Sikap Fishbein & Ajzen yang saya terapkan untuk meneliti perilaku konsumen pada sebuah produk minuman yang baru. Pada awal tahun 2000-an, teori ini belum banyak digunakan sebagai materi skripsi di Indonesia. Jangan tanya tentang detilnya, karena sungguh, saat ini saya sudah lupa!).
Ketika meminta tanda tangan pada salah satu dosen penguji untuk pengesahan skripsi, saya bertanya pada beliau apakah bahasa skripsi saya tidak menjadi masalah. Saya tanyakan hal ini karena saya menginginkan opini pembanding. Jawaban dari dosen penguji mengejutkan saya:
"Mengapa harus jadi masalah? Bahasa tidak akan mengurangi substansi tulisan. Selama kamu mengikuti kaidah penulisan ilmiah dengan benar, metodologi penelitianmu juga benar, dan kamu bisa mempertahankan argumentasi yang kamu bangun dengan fakta-fakta ilmiah atau sumber literatur yang mendukung, maka kamu berhak lulus."
Poin terakhir yang dikatakan dosen penguji saya inilah yang kemudian saya ambil sebagai pelajaran dalam hal menulis bebas.
Bahasa tidak mengurangi substansi. Bahasa diciptakan untuk mempercantik tulisan.
Saat menulis bebas dan menyuntingnya, saya biasanya bertanya dalam hati; apakah ide atau opini saya ini bisa dipertanggungjawabkan? Mengapa menurut saya ide yang menjadi dasar tulisan itu benar? Argumen apa yang harus saya dukung? Apakah argumen saya konsisten? Argumen mana yang membangun satu sama lain, dan karena itu perlu saling mengikuti?