Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Objektivitas Jurnalisme Itu Ternyata Hanya Mitos dan Ilusi

11 Desember 2018   12:55 Diperbarui: 11 Desember 2018   14:33 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa berita mengambil bingkai "proyek mangkrak" bila itu dilakukan pemerintah SBY, dan "proyek ditunda" jika itu dilakukan pemerintah Jokowi? Karena, sekali lagi si wartawan, editor atau redaksinya mengambil posisi.

Sebagaimana yang dikatakan Erick Thohir, setiap media memiliki kebijakan redaksional masing-masing. Jurnalisme pada media komersial itu membutuhkan serangkaian keputusan. Dan dasar untuk pemilihan peristiwa yang dianggap layak sebagai berita adalah kriteria subjektif dari si pembuat keputusan. Tentu saja, pengambil keputusan menentukannya berdasarkan atribut  atau dunia yang dia miliki. Yakni pengalaman, pandangan, dan keberpihakan /posisi dari dirinya sendiri.

Begitu pula dengan susunan berita yang ditulis oleh wartawan. Berita adalah rangkaian kata-kata yang menggambarkan sebuah peristiwa. Pemilihan kata dan sudut pandang dari sebuah berita adalah keputusan subyektif yang diambil berdasarkan pandangan dunia dari jurnalis itu sendiri.

Misalnya seorang wartawan yang mengambil posisi anti aborsi. Ketika dia melaporkan berita tentang teknologi aborsi, si wartawan itu tanpa sadar akan memilih kata-kata yang mencerminkan dunianya di mana dia berdiri. Dia, misalnya akan memakai frasa "cara lain membunuh bayi" dalam menuliskan laporannya. Pernyataan ini merupakan bentuk bagian tertentu dari pandangan dunia wartawan tersebut bahwa teknologi aborsi adalah cara untuk "membunuh bayi".

Frasa yang berbeda akan ditemui pada laporan berita lain yang dibuat oleh wartawan yang mengambil posisi tidak anti aborsi. Wartawan ini dapat menulis cerita yang sama dan menggunakan frasa "mengakhiri janin". Frasa ini tentunya tidak memiliki bobot emosional yang sama dengan frasa "membunuh bayi".

Begitu pula dengan jurnalisme foto atau televisi. Sepuluh orang atau seribu orang akan tampak sama di depan kamera, tergantung dari sudut mana gambar itu diambil. Sebuah gambar sama subjektifnya dengan rangkaian kata-kata. Karena keputusannya berdasarkan pandangan dunia si pembuat berita: di bagian reporter atau operator kamera memutuskan di mana mengarahkan kamera, pada fokus apa, pada jarak berapa, menggunakan gambar jarak dekat, jarak menengah atau panjang, dan pada sudut apa.

Memilih urutan di mana berita-berita itu muncul juga dapat menjadi indikasi kepentingan relatif dari media. Gambar mana yang bisa muncul, berita mana yang harus diliput, berapa banyak waktu atau ruang khusus untuk sebuah berita, ini semua dapat menentukan penting atau tidaknya sebuah peristiwa. Keputusan ini hanya bisa dimiliki oleh editor, redaksi, atau pemilik media. Merekalah yang menentukan apa yang penting untuk dipublikasikan berdasarkan pandangan dunianya.

Reporter juga bisa membuat keputusan dalam menentukan bagaimana menyajikan informasi dalam berita. Seorang reporter televisi, dengan sedikit tersenyum atau sedikit mengangkat alis atau memiringkan kepala dapat mengubah arti sebuah kata atau seluruh laporan; seorang reporter radio, dengan nada ironis atau sedikit tawa di bawah kata-kata yang dia bacakan bisa membuat kata-kata yang biasanya akan dianggap serius, terdengar menggelikan atau ironis.

Tak salah apabila kemudian dalam buku Paradoks Indonesia, secara sarkas dan satir Prabowo angkat topi untuk wartawan yang jelas-jelas berpihak. Baik pada partai, penguasa, atau kepentingan sekelompok orang. Ini lebih baik daripada wartawan yang berpura-pura netral tapi menjerumuskan. Karena pada dasarnya netralitas dan obyektivitas jurnalisme itu hanya cita-cita dan harapan yang sia-sia.

Obyektivitas, di luar pengertian harfiahnya yang tidak mengambil posisi dan bebas prasangka, dalam konteks jurnalisme bisa dikatakan termasuk dalam moral dan etika yang seharusnya dimiliki seorang jurnalis. Memaksakan obyektivitas secara murni bisa jadi tidak mungkin. Tapi dengan mengambil kaidah moral dan etika, subyektivitas wartawan bisa diminimalkan.

Jika reporter tidak menyadari bahwa reaksinya dan cara menyajikan beritanya dipengaruhi oleh pandangan dunianya sendiri, maka pandangan subjektif reporter dari berita adalah pandangan yang diberikan, bukan pandangan objektif yang merupakan tujuan dan idealisme dari jurnalistik itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun