Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Objektivitas Jurnalisme Itu Ternyata Hanya Mitos dan Ilusi

11 Desember 2018   12:55 Diperbarui: 11 Desember 2018   14:33 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Ada media di sini? Saya khawatir wartawan ke sini hanya menunggu saya salah bicara."

Ucapan Prabowo yang bernada tinggi tersebut menggambarkan kekecewaannya terhadap obyektivitas wartawan/jurnalis pers Indonesia dalam mencari dan melaporkan berita. Prabowo kesal karena banyak wartawan dan media mainstream sekarang ini tidak lagi bisa bertindak obyektiv dalam pekerjaan mereka.

Prabowo memang benar, bahwa wartawan Indonesia sekarang ini sudah tidak obyektiv lagi. Tapi Prabowo juga salah besar. Mengharapkan obyektivitas dalam jurnalisme modern itu pekerjaan yang sia-sia. Seperti menunggu Godot yang tak kunjung datang.

Pada masa awal munculnya jurnalistik, ia tak lebih dari sekedar pembawa pesan. Menjadi megafon bagi mereka yang berkuasa. Raja mendiktekan, dan wartawan menuliskan.

Masa pencerahan, yang diawali oleh Revolusi Prancis dan perkembangan sains modern pada akhirnya mengantarkan gagasan jurnalisme sebagai suatu kekuatan penentang  yang kritis: ia harus bertindak sebagai pengawas, bukan pembawa pesan. Gagasan ini kemudian mengarah pada idealisme baru yang dikenal sebagai "objektivitas", yang terkait dengan tuntutan akan adanya kebebasan pers.

Idealnya memang seperti itu, bahwa pers sebagai pengawas itu harus obyektiv. Namun pada kenyataannya, penerapan obyektivitas pada jurnalisme itu sendiri begitu sulit, kalau boleh dikatakan hanya sekedar mitos dan ilusi yang terus didengungkan.

Obyektivitas, prinsip dasar yang diinginkan ada dalam setiap jurnalis hanyalah ilusi yang disalahpahami, ulet dan berbahaya. Disalahpahami karena jurnalis itu bingung dengan independensi dan ketidakberpihakan mereka. Ulet, karena sepertinya mudah dilakukan, tapi faktanya sulit. Berbahaya, karena obyektivitas jurnalisme itu kebohongan terbesar yang pernah diceritakan pada publik. Dan ilusi, karena memang tidak pernah ada.

Memahami betapa sia-sianya mengharapkan seorang jurnalis bisa bertindak obyektiv dalam setiap pemberitaan yang mereka buat harus diawali dari bagaimana cara mereka menuliskan berita. Di balik setiap laporan, setiap fitur, setiap berita, terletak sebuah pandangan yang berakar pada asumsi ontologis (apa yang nyata?), epistemologis (apa yang benar?), metodologis (bagaimana kita mengetahui?), dan moral (mengapa itu penting?) . Atau, untuk menyederhanakannya, semua berita berasal dari suatu posisi.

Mengapa media memberitakan 200 ribu rakyat miskin mendapat listrik gratis dari Jokowi, padahal yang tepat semestinya "mendapat listrik gratis dari pemerintah?" Karena wartawan, editor atau redaksi mengambil posisi sebagai pendukung Jokowi.

Mengapa media tidak memberitakan atau memberi porsi kecil pada acara Reuni Akbar 212? Karena jurnalis, editor atau redaksi medianya mengambil posisi bahwa acara itu tidak penting.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun