"Ada media di sini? Saya khawatir wartawan ke sini hanya menunggu saya salah bicara."
Ucapan Prabowo yang bernada tinggi tersebut menggambarkan kekecewaannya terhadap obyektivitas wartawan/jurnalis pers Indonesia dalam mencari dan melaporkan berita. Prabowo kesal karena banyak wartawan dan media mainstream sekarang ini tidak lagi bisa bertindak obyektiv dalam pekerjaan mereka.
Prabowo memang benar, bahwa wartawan Indonesia sekarang ini sudah tidak obyektiv lagi. Tapi Prabowo juga salah besar. Mengharapkan obyektivitas dalam jurnalisme modern itu pekerjaan yang sia-sia. Seperti menunggu Godot yang tak kunjung datang.
Pada masa awal munculnya jurnalistik, ia tak lebih dari sekedar pembawa pesan. Menjadi megafon bagi mereka yang berkuasa. Raja mendiktekan, dan wartawan menuliskan.
Masa pencerahan, yang diawali oleh Revolusi Prancis dan perkembangan sains modern pada akhirnya mengantarkan gagasan jurnalisme sebagai suatu kekuatan penentang  yang kritis: ia harus bertindak sebagai pengawas, bukan pembawa pesan. Gagasan ini kemudian mengarah pada idealisme baru yang dikenal sebagai "objektivitas", yang terkait dengan tuntutan akan adanya kebebasan pers.
Idealnya memang seperti itu, bahwa pers sebagai pengawas itu harus obyektiv. Namun pada kenyataannya, penerapan obyektivitas pada jurnalisme itu sendiri begitu sulit, kalau boleh dikatakan hanya sekedar mitos dan ilusi yang terus didengungkan.
Obyektivitas, prinsip dasar yang diinginkan ada dalam setiap jurnalis hanyalah ilusi yang disalahpahami, ulet dan berbahaya. Disalahpahami karena jurnalis itu bingung dengan independensi dan ketidakberpihakan mereka. Ulet, karena sepertinya mudah dilakukan, tapi faktanya sulit. Berbahaya, karena obyektivitas jurnalisme itu kebohongan terbesar yang pernah diceritakan pada publik. Dan ilusi, karena memang tidak pernah ada.
Memahami betapa sia-sianya mengharapkan seorang jurnalis bisa bertindak obyektiv dalam setiap pemberitaan yang mereka buat harus diawali dari bagaimana cara mereka menuliskan berita. Di balik setiap laporan, setiap fitur, setiap berita, terletak sebuah pandangan yang berakar pada asumsi ontologis (apa yang nyata?), epistemologis (apa yang benar?), metodologis (bagaimana kita mengetahui?), dan moral (mengapa itu penting?) . Atau, untuk menyederhanakannya, semua berita berasal dari suatu posisi.
Mengapa media memberitakan 200 ribu rakyat miskin mendapat listrik gratis dari Jokowi, padahal yang tepat semestinya "mendapat listrik gratis dari pemerintah?" Karena wartawan, editor atau redaksi mengambil posisi sebagai pendukung Jokowi.
Mengapa media tidak memberitakan atau memberi porsi kecil pada acara Reuni Akbar 212? Karena jurnalis, editor atau redaksi medianya mengambil posisi bahwa acara itu tidak penting.
Mengapa berita mengambil bingkai "proyek mangkrak" bila itu dilakukan pemerintah SBY, dan "proyek ditunda" jika itu dilakukan pemerintah Jokowi? Karena, sekali lagi si wartawan, editor atau redaksinya mengambil posisi.
Sebagaimana yang dikatakan Erick Thohir, setiap media memiliki kebijakan redaksional masing-masing. Jurnalisme pada media komersial itu membutuhkan serangkaian keputusan. Dan dasar untuk pemilihan peristiwa yang dianggap layak sebagai berita adalah kriteria subjektif dari si pembuat keputusan. Tentu saja, pengambil keputusan menentukannya berdasarkan atribut  atau dunia yang dia miliki. Yakni pengalaman, pandangan, dan keberpihakan /posisi dari dirinya sendiri.
Begitu pula dengan susunan berita yang ditulis oleh wartawan. Berita adalah rangkaian kata-kata yang menggambarkan sebuah peristiwa. Pemilihan kata dan sudut pandang dari sebuah berita adalah keputusan subyektif yang diambil berdasarkan pandangan dunia dari jurnalis itu sendiri.
Misalnya seorang wartawan yang mengambil posisi anti aborsi. Ketika dia melaporkan berita tentang teknologi aborsi, si wartawan itu tanpa sadar akan memilih kata-kata yang mencerminkan dunianya di mana dia berdiri. Dia, misalnya akan memakai frasa "cara lain membunuh bayi" dalam menuliskan laporannya. Pernyataan ini merupakan bentuk bagian tertentu dari pandangan dunia wartawan tersebut bahwa teknologi aborsi adalah cara untuk "membunuh bayi".
Frasa yang berbeda akan ditemui pada laporan berita lain yang dibuat oleh wartawan yang mengambil posisi tidak anti aborsi. Wartawan ini dapat menulis cerita yang sama dan menggunakan frasa "mengakhiri janin". Frasa ini tentunya tidak memiliki bobot emosional yang sama dengan frasa "membunuh bayi".
Begitu pula dengan jurnalisme foto atau televisi. Sepuluh orang atau seribu orang akan tampak sama di depan kamera, tergantung dari sudut mana gambar itu diambil. Sebuah gambar sama subjektifnya dengan rangkaian kata-kata. Karena keputusannya berdasarkan pandangan dunia si pembuat berita: di bagian reporter atau operator kamera memutuskan di mana mengarahkan kamera, pada fokus apa, pada jarak berapa, menggunakan gambar jarak dekat, jarak menengah atau panjang, dan pada sudut apa.
Memilih urutan di mana berita-berita itu muncul juga dapat menjadi indikasi kepentingan relatif dari media. Gambar mana yang bisa muncul, berita mana yang harus diliput, berapa banyak waktu atau ruang khusus untuk sebuah berita, ini semua dapat menentukan penting atau tidaknya sebuah peristiwa. Keputusan ini hanya bisa dimiliki oleh editor, redaksi, atau pemilik media. Merekalah yang menentukan apa yang penting untuk dipublikasikan berdasarkan pandangan dunianya.
Reporter juga bisa membuat keputusan dalam menentukan bagaimana menyajikan informasi dalam berita. Seorang reporter televisi, dengan sedikit tersenyum atau sedikit mengangkat alis atau memiringkan kepala dapat mengubah arti sebuah kata atau seluruh laporan; seorang reporter radio, dengan nada ironis atau sedikit tawa di bawah kata-kata yang dia bacakan bisa membuat kata-kata yang biasanya akan dianggap serius, terdengar menggelikan atau ironis.
Tak salah apabila kemudian dalam buku Paradoks Indonesia, secara sarkas dan satir Prabowo angkat topi untuk wartawan yang jelas-jelas berpihak. Baik pada partai, penguasa, atau kepentingan sekelompok orang. Ini lebih baik daripada wartawan yang berpura-pura netral tapi menjerumuskan. Karena pada dasarnya netralitas dan obyektivitas jurnalisme itu hanya cita-cita dan harapan yang sia-sia.
Obyektivitas, di luar pengertian harfiahnya yang tidak mengambil posisi dan bebas prasangka, dalam konteks jurnalisme bisa dikatakan termasuk dalam moral dan etika yang seharusnya dimiliki seorang jurnalis. Memaksakan obyektivitas secara murni bisa jadi tidak mungkin. Tapi dengan mengambil kaidah moral dan etika, subyektivitas wartawan bisa diminimalkan.
Jika reporter tidak menyadari bahwa reaksinya dan cara menyajikan beritanya dipengaruhi oleh pandangan dunianya sendiri, maka pandangan subjektif reporter dari berita adalah pandangan yang diberikan, bukan pandangan objektif yang merupakan tujuan dan idealisme dari jurnalistik itu sendiri.
Namun, jika wartawan menyadari bahwa pandangan dunia mereka termasuk dalam komponen dari berita yang mereka sebarkan, maka wartawan, jika mereka etis, secara sadar akan meminimalkan dampak subjektivitas. Mereka akan memeriksa pekerjaan mereka untuk memastikan bahwa prasangka, bias dan pandangan dunia pribadi bukanlah yang mendominasi dalam mengumpulkan, menyiapkan, dan menyebarkan berita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H