Rayhan melirik jam tangannya, sudah hampir pukul 1 siang. Dirinya lalu melangkah menuju ruang kerjanya. Di ruang IT, dilihatnya Tessa tengah asyik membaca sesuatu di layar laptopnya. Sebuah kotak bekal makan siang dan tumbler minuman terlihat sudah hampir habis. Tessa memang jarang makan siang bersama di pantry. Terlalu ramai, katanya dulu saat minta ijin membawa bekal makanannya ke ruang kerja. Dihampirinya meja kerja Tessa.
"Udah makan siang, Tess?" tanya Rayhan.
Sedikit kaget, Tessa menoleh ke Rayhan.
"Ups. Mas Rayhan bikin kaget aja. Udah Mas," kata Tessa sambil menyibakkan baju kerjanya yang terkena tetasan air. Sebaris senyum tersungging di bibirnya.
"Maaf Mas, ketumpahan dikit. Mas Rayhan udah makan?"
"Lagi puasa Tess," jawab Rayhan.
Dirogohnya saku celana. Tangan Rayhan menjumput kertas puisi yang tadi dikantonginya. Mendadak, diturunkannya kembali. Dalam hati, Rayhan bingung bagaimana seharusnya dia bertanya.
"Tess, apa benar kamu yang mengirim kertas puisi ini?"
Bahkan di dalam kepalanya pun pertanyaan itu terdengar konyol.
Kalau memang iya terus bagaimana? Kalau tidak, dia sendiri yang malu. Tidak ada bukti apapun yang mendukung dugaannya itu. Kalau memang benar Tessa yang menyelipkan kertas puisi itu, Rayhan mestinya bisa melihat kesan gugup di wajah Tessa.
"Ada apa Mas? Kok bengong gitu?" tanya Tessa.