"Mbak kalau nawar jangan keterlaluan dong!"
Dua orang mahasiswi yang tengah menawar sebuah buku diktat kuliah di sebuah kios pasar buku bekas ditegur oleh pemuda yang menjaga kios buku. Mahasiswi pertama terlihat menahan cemberut. Sementara temannya dengan masih tetap tersenyum ramah meminta maaf.
"Iya Mas, mohon maaf. Kami tadi cuma pingin menawar harga buku ini."
"Iya saya tahu. Mbaknya mahasiswi. Mungkin uang belanja bukunya terbatas. Tapi kalau nawar ya jangan keterlaluan. Saya jualan kan juga ingin untung Mbak. Nawarnya jangan terlalu anjlok gitu dong. Gak malu apa Mbak nawar semurah itu?" si penjual berkomentar panjang lebar dengan nada ketus dan jengkel.
"Iya Mas, mohon maaf sekali lagi. Kalau memang tidak boleh ya kami coba cari ke tempat lain saja. Permisi Mas."
Kedua mahasiswi itu pun berlalu dan melangkah ke luar pasar.
***
"Huh, sebel aku sama penjual yang di kios tadi. Mestinya kan bisa ngomong lebih halus lagi. Gak pake nada ketus dan mata mendelik gitu," ujar Rina saat ia bersama Nisa sedang istirahat di sebuah warung makan. Raut kejengkelan masih membayang di wajahnya.
Nisa tidak menanggapi kekesalan Rina. Dia hanya tersenyum dan mengelengkan kepala melihat tingkah sahabatnya itu.
"Nis, kamu kok malah tersenyum terus sih. Memangnya kamu gak sebel ya diperlakukan kayak gitu?"
"Kenapa harus sebel Rin?" jawab Nisa kalem.
"Ya kan dia gak sopan banget Nis. Mbok iya ngomongnya itu dilembutin dikit."
"Ya itu masalah dia sendiri. Mau bad mood, kek, gak sopan kek, pelayanannya buruk atau apalah, itu gak ada kaitannya dengan aku."
"Gak ada kaitannya gimana maksudmu?" tanya Rina heran.
Dengan sabar, Nisa menjelaskan pada temannya yang tengah sewot.
"Gini loh Rin. Apa yang dilakukan si penjual tadi tidak ada pengaruhnya dengan diriku. Jika aku ikut merasa sebal atau jengkel, itu artinya aku membiarkan orang tadi mengatur dan mempengaruhi hidupku. Mengapa aku harus mengijinkan dia menentukan caraku dalam bertindak? Mau dia marah-marah kek, itu urusannya. Apa yang aku lakukan setelahnya, ya aku sendiri yang menentukan."
Rina terdiam mendengarkan. Dalam hati, dia membenarkan apa yang sudah dijelaskan oleh Nisa. Di satu sisi, dia juga heran sekaligus salut pada sahabatnya ini. Selama bergaul akrab dengan Nisa, Rina merasa tingkah laku sahabatnya ini seolah berbeda dengan orang-orang lainnya.
"Aku juga tidak menyalahkan sikapmu tadi kok Rin. Merasa sebal dan jengkel dengan perlakuan yang tidak sopan. Itu wajar. Dulu aku juga sering begitu."
Diminumnya es teh yang dari tadi cuma diaduk-aduk saja. Nisa kemudian menjelaskan lagi,
"Rin, seringkali tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang itu. Benar gak?"
"Iya sih. Tapi kamu kok bisa sabar dan gak mudah terpengaruh gitu Nis? Kalau aku...huh udah aku omelin habis si penjual tadi, hihihi."
Tawa Rina akhirnya lepas juga. Selubung awan gelap yang tadi hinggap di wajahnya perlahan memudar.
Mau tak mau Nisa ikut tertawa juga. Sahabatnya ini pada dasarnya periang. Entah kenapa hari ini moodnya mendadak berubah.
"Aku gak selalu bisa sesabar itu Rin. Tadi udah sempat mangkel juga sih. Cuma lantas aku mikir, mengapa aku harus terpengaruh sama orang ini? Toh dia gak mengganggu atau menghina kita. Jangan biarkan sikap buruk orang lain kepada kita menentukan cara kita bertindak. Misalnya kita tadi menanggapi omelannya dengan emosi yang sama, apa yang kita dapat? Malu Rin, dilihat orang satu pasar. Mau kayak gitu?"
"Ya nggak lah Nis. Nanti kalau ada yang merekam, terus viral, apa kata Emak di kampung?" keduanya lalu tertawa bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H