"Kenapa harus sebel Rin?" jawab Nisa kalem.
"Ya kan dia gak sopan banget Nis. Mbok iya ngomongnya itu dilembutin dikit."
"Ya itu masalah dia sendiri. Mau bad mood, kek, gak sopan kek, pelayanannya buruk atau apalah, itu gak ada kaitannya dengan aku."
"Gak ada kaitannya gimana maksudmu?" tanya Rina heran.
Dengan sabar, Nisa menjelaskan pada temannya yang tengah sewot.
"Gini loh Rin. Apa yang dilakukan si penjual tadi tidak ada pengaruhnya dengan diriku. Jika aku ikut merasa sebal atau jengkel, itu artinya aku membiarkan orang tadi mengatur dan mempengaruhi hidupku. Mengapa aku harus mengijinkan dia menentukan caraku dalam bertindak? Mau dia marah-marah kek, itu urusannya. Apa yang aku lakukan setelahnya, ya aku sendiri yang menentukan."
Rina terdiam mendengarkan. Dalam hati, dia membenarkan apa yang sudah dijelaskan oleh Nisa. Di satu sisi, dia juga heran sekaligus salut pada sahabatnya ini. Selama bergaul akrab dengan Nisa, Rina merasa tingkah laku sahabatnya ini seolah berbeda dengan orang-orang lainnya.
"Aku juga tidak menyalahkan sikapmu tadi kok Rin. Merasa sebal dan jengkel dengan perlakuan yang tidak sopan. Itu wajar. Dulu aku juga sering begitu."
Diminumnya es teh yang dari tadi cuma diaduk-aduk saja. Nisa kemudian menjelaskan lagi,
"Rin, seringkali tindakan kita kerap dipengaruhi oleh tindakan orang lain kepada kita. Kalau mereka melakukan hal yang buruk, kita akan membalasnya dengan hal yang lebih buruk lagi. Kalau mereka tidak sopan, kita akan lebih tidak sopan lagi. Kalau orang lain pelit terhadap kita, kita yang semula pemurah tiba-tiba jadi sedemikian pelit kalau harus berurusan dengan orang itu. Benar gak?"
"Iya sih. Tapi kamu kok bisa sabar dan gak mudah terpengaruh gitu Nis? Kalau aku...huh udah aku omelin habis si penjual tadi, hihihi."