Pada dindingnya terdapat lukisan batu menggambarkan wajah seorang Tionghoa dengan replika kapal mengapung diatasnya. Itulah wajah Muhammad He, atau Laksamana Cheng Hoo.
Di bulan Ramadan misalnya, menjelang waktu berbuka puasa suasana masjid sudah ramai. Lapangannya ditutup dengan terpal plastik yang bersih. Diberi kain pembatas untuk membedakan tempat bagi jamaah putri. Banyaknya orang yang hendak berbuka puasa di masjid ini kadang membuat lapangan masjid tidak mampu menampungnya.
Orang-orang yang datang untuk berbuka puasa di sini sebagian besar bukan dari daerah sekitar komplek perumahan di mana masjid ini berada. Menu berbuka puasa di masjid bisa dibilang "wah" jika dibandingkan masjid-masjid yang lain.Â
Setiap hari selama bulan puasa menu berbukanya adalah nasi kotak, atau minimal nasi padang. Dan jumlahnya pun ratusan, kadang sampai tersisa banyak. Tak hanya di bulan Ramadan saja, di bulan lainnya setiap pagi usai shalat dan kuliah subuh, jamaah sholat akan mendapatkan kupon sarapan pagi.
Keberadaan dua masjid Cheng Hoo yang bernuansa oriental tersebut menjadi bukti nyata adanya asimilasi budaya Islam dan masyarakat Tionghoa yang sudah terjalin sejak dulu kala. Perpaduan budaya seperti inilah yang menambah kekayaan khazanah Islam di Indonesia, yang semestinya harus tetap kita jaga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H