Mohon tunggu...
Himam Miladi
Himam Miladi Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Penulis Konten | warungwisata.com | Email : himammiladi@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Politik dan Drama di Balik Nama Jalan Kota Malang

6 Mei 2018   19:10 Diperbarui: 6 Mei 2018   19:37 1914
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
nama jalan di Kota Malang (dok. pribadi)

Setiap kota selalu mempunyai simbol. Entah itu berupa patung, monumen, hingga nama jalan. Keberadaan simbol pada kota tidak hanya sekedar hiasan atau aksesori. Lebih dari itu ia mempresentasi sebuah identitas dan pengakuan kekuasaan.

Nama jalan adalah salah satu simbol yang sering terlupakan. Berbeda dengan keberadaan patung atau monumen yang mempunyai bentuk fisik jelas dan besar, nama jalan sering tidak dianggap sebagai simbol hanya karena ia berupa nama, yang kadang dibentuk dalam sebuah tulisan pada papan yang ditempatkan di awal sebuah jalan. Padahal, tidak menutup kemungkinan ada sejarah panjang berupa politik dan drama kemanusiaan dalam setiap proses penamaan sebuah jalan.

Dalam setiap pergantian periode kekuasaan, seringkali nama jalan, dan juga simbol yang lain berubah, atau bahkan lenyap. Perubahan ini seakan mengukuhkan arti nama jalan sebagai sebuah simbol sekaligus usaha penguasa untuk membangun kenangan kolektif terhadap warganya. 

Pergantian nama jalan-jalan tidak hanya sekedar masalah linguistik tetapi juga merupakan wujud perebutan kontrol atas produksi makna simbolik dalam pembangunan lingkungan kota.

Sistem penamaan jalan di Indonesia sendiri ternyata tidak mempunyai aturan yang baku. Setiap Pemerintah Daerah mempunyai aturan tersendiri terkait sistem penamaan jalan di daerahnya masing-masing. Karena tidak ada aturan baku, setiap pemerintah bisa mengubah nama jalan di daerahnya sewaktu-waktu. 

Dalam proses perubahan ini bisa jadi ada sesuatu yang menjadi latar belakangnya. Entah itu karena politik, usulan masyarakat, sampai latar belakang timbulnya budaya baru pada daerah tersebut.

Peraturan Pemerintah Daerah tentang penamaan jalan dan bangunan di daerahnya masing-masing mengadopsi peraturan pemerintah kolonial Belanda. Aturan itu berbunyi "Verordening regelende het geven van namen aan straten, wegen, pleinen en dergelijke voor het publiek toegankelijke plaatsen, andere dan die door den Gementeraad zijn vasgesteld" (Peraturan yang mengatur penamaan jalan, jalan, alun-alun dan tempat-tempat seperti yang dapat diakses publik, ditetapkan oleh Gementeraad/Pemerintah Kota).

Berdasarkan periodenya, hampir setiap daerah/kota yang pernah mengalami penjajahan minimal menjalani 3 kali proses pergantian nama jalan, yakni; Periode kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, dan pasca kemerdekaan. Begitu pula dengan kota Malang.

Karakteristik Nama Jalan era Kolonial

Pada periode kolonial Belanda, prasarana jalan yang telah ada dan dikenal luas oleh masyarakat Malang tetap dipertahankan keberadaannya, misalnya Kajoetangan, Tjelaket, Oro-oro Dowo, Embong Arab, Lowokwaroe dan Embong Petjinan. 

Beberapa nama jalan tradisional lain yang sudah dikenal penduduk sebelumnya juga tetap dipertahankan, tapi diberi warna Belanda dengan penambahan akhiran straat,  weg, plein, park atau boulevard, seperti; Koeto Bedah weg, Kotalamastraat, Kaumanstraat, Sawahanstraat, Temenggoenganstraat, dan sebagainya. 

Selain itu terdapat pula pemakaian nama mata angin sebagai bagian dari penamaan jalan lokal atau nama kampung, seperti; Aloon-aloon Wetan, Kasin Kidoel straat, Wetan Pasar straat, Taloen Lor straat, atau Djodipan Wetan straat. Upaya ini erat kaitannya dengan usaha pemerintah kolonial memperhatikan sejarah dan ciri kota yang bersangkutan.

Meski demikian, arus urbanisasi dan migrasi warga Eropa ke Kota Malang yang kian deras mengharuskan pemerintah Belanda untuk membangun pemukiman-pemukiman baru. Pada saat Malang menjadi kotapraja, pemerintah Kolonial Belanda membangun kota Malang secara besar-besaran dan sejumlah ruas jalan diberi nama sesuai dengan karakter kawasan. 

Ini membentuk citra Malang sebagai kota kawasan kolonial sehingga muncullah kantung-kantung masyarakat Eropa yang identik dengan nama Gunung, Pulau dan Tokoh-tokoh Belanda.

Sebagai contoh kawasan  Aloon-aloon Bunder (Bundaran Tugu) dikenal sebagai Gouverneur-Generaalbuurt (daerah gubernur jendral) dan ruas jalannya diberi nama para gubernur jenderal Hindia Belanda (Daendelsboulevard, Coenplein Jan Pieter, Spelmaanstraat, van Heutszstraat, van Riebeekstraat dan sebagainya). 

Untuk pemukiman di daerah Klodjen yang banyak dihuni pegawai pemerintahan Belanda diberi nama tokoh-tokoh kerajaan Belanda seperti Wilhelminastraat, Willemstraat, Julianastraat, Emmastraat dan lainnya yang kemudian dikenal sebagai Oranjebuurt (daerah orange atau daerah dengan nama anggota keluarga kerajaan Belanda).

Bagi kota Malang, kekuatan utamanya terletak pada pemandangan gunung-gunung disekitarnya seperti; Gunung Kawi disebelah barat, Gunung Semeru disebelah timur, dan Gunung Arjuna disebelah barat daya.

Karena itu, saat membangun kawasan Ijen yang dari posisinya terlihat pemandangan indah Gunung Kawi dan gunung Panderman, pemerintah Belanda memberi nama kawasan ini sebagai Bergenbuurt (rumpun jalan gunung) dengan nama jalan-jalannya adalah nama-nama gunung seperti Idjenboulevard, Smeroestraat, Merapistraat, atau Merbaboepark. 

Sementara untuk kawasan pemukiman masyarakat Indo dan kelas menengah di kawasan Sukun, pemerintah Belanda mengelompokkan jalan-jalan di kawasan ini dalam rumpun jalan nama-nama pulau (Eilandenbuurt) seperti Lombokweg, Soematraweg, Soembaweg dan sebagainya. 

Selain itu ada pula rumpun jalan buah-buahan (Rambutanweg, Nangkaweg, Djambuweg). Beberapa ruas jalan lainnya diberi nama berdasarkan aktivitas atau fasilitas yang ada di kawasan tersebut. Misalnya nama jalan Hospitaallen karena ada rumah sakit, Stationweg karena ada stasiun, Roomsche Kerkstraat karena ada gereja katolik, atau Indoestriweg dan Emplacementweg karena ada aktivitas industri dan perbengkelan di sepanjang jalan itu.

Nama Jalan masa pendudukan Jepang

Pergantian nama jalan yang pertama terjadi ketika Jepang menginjakkan kaki di Indonesia. Segera setelah Jepang masuk kota Malang, semua ruas jalan yang berbau Belanda dinasionalisasi. Ini karena pemerintah Jepang melarang pemakaian bahasa Belanda dan bahasa Inggris untuk menghapus pengaruh Barat di kalangan rakyat. Proses pergantian nama jalan ini menyesuaikan dengan nama jalan sebelumnya. 

Oleh pemerintah yang berkuasa saat itu, jalan dengan nama gubernur jendral diganti dengan nama kerajaan atau tokoh kerajaan. Daendelsboulevard menjadi jalan Kartanegara, van Riebeekstraat menjadi jalan Kahuripan, van Heutszstraat menjadi jalan Pajajaran, van Den Bosch straat menjadi jalan Sultan Agung.

Pergantian identitas ini menjelaskan maksud simbolis pemerintah yang sama dengan makna simbolis dari pemerintah kolonial Belanda saat itu, yakni untuk menunjukkan kebesaran Indonesia melalui berbagai nama kerajaan dan tokoh kerajaan di Indonesia. 

Sementara untuk rumpun jalan anggota kerajaan Belanda diganti dengan nama-nama pahlawan nasional seperti Wilhelminastraat menjadi jalan Dr. Cipto, Julianastraat menjadi jalan Kartini, Willemstraat menjadi jalan Diponegoro dan sebagainya.

Selain dua rumpun jalan ini, rumpun jalan yang lain hanya mengalami alih bahasa saja, dari semula berbahasa Belanda menjadi bahasa Indonesia atau kembali menjadi nama jalan kampung awal. Sebagai contoh Roomsche Kerkstraat menjadi jalan Gereja, Tennesweg menjadi jalan Tenis, Emplacementweg menjadi jalan Bingkil, Djodipanstraat menjadi jalan Jodipan, Smeroestraat menjadi jalan Semeru dan sebagainya.

Pemerintah Jepang sendiri saat itu tidak begitu ambil pusing dengan penamaan jalan. Tidak ada nama jalan yang berubah menjadi nama jalan Jepang. Jika Gemeenteraad (dewan kota era kolonial Belanda) banyak mengagendakan permasalahan yang bersifat teknis maka Malang Syu Sangi Kai (dewan kota era pendudukan Jepang) lebih banyak mengurus cara bekerja para Heiho, cara mendongkrak hasil bumi dan cara mengobarkan semangat rakyat untuk membela tanah air. 

Tidak ada pembahasan tentang perbaikan dan pembangunan sarana kota. Ini membuat kota Malang praktis tidak mengalami perkembangan secara fisik. Dibanding merubah nama jalan, Jepang lebih tertarik untuk memobilisasi massa demi kelangsungan kekuasaannya. Sepertinya Jepang tidak punya banyak waktu untuk mendirikan simbol yang akan dikenang banyak orang. 

Dalam masa pendudukannya yang singkat, Jepang hanya sibuk dengan latihan perang. Hanya satu taman saja yang diberi nama tokoh jepang yakni Beatrixpark menjadi Taman Tanaka, merujuk pada nama Minoru Tanaka, Residen Malang (Syutyokan) saat itu.

Perubahan Nama Jalan Era Orde Baru

Nama-nama jalan yang sudah dinasionalisasi itu bertahan hingga era pemerintahan Presiden Soekarno. Pada era pemerintahan Presiden Soeharto, nama-nama jalan diganti secara besar-besaran. 

Di era Orde Baru inilah nama-nama jalan diubah demi kepentingan politik rejim yang berkuasa. Ada banyak nama jenderal, tokoh politik, atau mereka yang dianggap berjasa bagi rejim Orde Baru diabadikan menjadi nama jalan di Kota Malang. Lebih dari itu, banyak dari nama jalan baru yang menggantikan ini tidak memiliki relevansi lokal dan diterapkan secara serampangan sehingga merusak logika blok atau rumpun jalan yang dulu pernah disusun.

Nama-nama Pahlawan Revolusi diabadikan untuk mengganti sejumlah ruas jalan kota Malang. Bahkan, boleh dibilang Kota Malang mempunyai ruas jalan dengan nama Pahlawan Revolusi terlengkap. Jalan Ahmad Yani, S Parman, Soetoyo, DI Panjaitan, MT. Haryono, Katamso, Soegiono, hingga Pierre Tendean dan Ade Irma Suryani. 

Alih-alih berada dalam satu rumpun kawasan, nama-nama jalan ini menyebar serampangan. Jalan Panjaitan dan MT Haryono ada di daerah Betek dan Dinoyo, sementara jalan Ahmad Yani, S Parman, Soetoyo berada di daerah Lowokwaru.

Selain Pahlawan Revolusi, pemerintah Orde Baru juga mengakomodir nama-nama pahlawan Ampera, atau mereka yang gugur saat berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI. Total ada 7 nama pahlawan Ampera, yakni Julius Usman, Arief Rahman Hakim, Aries Munandar, Arif Margono, Syarif Al Qodri, Ikhwan Ridwan Rais (IR. Rais) serta Zainal Zakse. Pemberian nama jalan menurut nama pahlawan Ampera ini adalah yang terbanyak daripada kota-kota lainnya di Indonesia.

Selain pahlawan Revolusi dan pahlawan Ampera, ada satu nama lagi yang dianggap pemerintah Orde Baru berjasa dalam perlawanan terhadap PKI, hingga kemudian diabadikan jadi nama jalan di Kota Malang, yakni Peltu Sujono. Anggota TNI yang bertugas mengamankan  Perusahaan Perkebunan Karet Negara IX Bandar Betsy, Sumatra ini gugur akibat dikeroyok ratusan massa Barisan Tani Indonesia dengan menggunakan cangkul dan peralatan tani lainnya. 

Peristiwa yang terjadi pada 14 Mei 1965 tersebut, kemudian dikenal dengan "Peristiwa Bandar Betsy". Meski peristiwa itu terjadi di Sumatera, nama Peltu Sudjono diabadikan pada sebuah nama jalan di kota Malang, menggantikan nama Industrieweg di kawasan Ciptomulyo, Sukun.

Banyaknya nama-nama yang gugur saat melawan PKI atau pemerintah Orde Lama semakin menegaskan adanya kepentingan politik terhadap pergantian nama jalan ini. Pemerintah orde baru seakan ingin memutus dan menghilangkan ingatan kolektif masyarakat terhadap pemerintah Orde Lama. Rejim Orde Baru juga ingin menanamkan ingatan kolektif baru bahwa mereka lah yang berhasil menghapus mimpi buruk masyarakat terhadap kerusakan negara akibat pemberontakan PKI.

Nama jalan dari unsur Tokoh Lokal

Selain mengakomodir tokoh-tokoh pahlawan Revolusi dan pahlawan Ampera, pemerintah Orde Baru juga mengakomodir tokoh lokal. Seperti Kyai Tamin yang menggantikan nama jalan Kidul Pasar. Kiai Tamin merupakan putra dari ulama tersohor di daerah Genteng, Pasuruan, yakni KH Ghofur. Saat tinggal di Malang, Kyai Tamin aktif berdakwah dan menyebarkan agama Islam. 

Pada masa pendudukan Jepang, Kyai Tamin ditangkap dan dipenjara. Keberadaannya tidak diketahui ketika dipindahkan ke Lapas Sukamiskin. Barulah pada tahun 1972, menantu Kyai Tamin Moch Sun'an (mantan bupati Malang periode 1964-1969) yang saat itu menjadi anggota DPR berkunjung ke Lapas Sukamiskin. Disana, Moch Sun'an baru mengetahui bahwa ayah mertuanya sudah meninggal dan dimakamkan di Pamulang, Bandung.

Tokoh lokal lain yang diakomodir menjadi nama jalan adalah Mbah Wiro. Nama ini menggantikan nama jalan Embong Petjinan Tjilik. Menurut warga sekitar, jalan itu dulunya dibangun berkat jasa Mbah Wiro. Untuk mengenangnya, jalan Embong Petjinan Tjilik kemudian diubah menjadi jalan Wiro Margo, artinya berkat (margo) jasa Mbah Wiro.

jalan Wiro Margo (jelajahmalangku.blogspot.com)
jalan Wiro Margo (jelajahmalangku.blogspot.com)
Beberapa tokoh lokal lainnya adalah Mgr. Sugiyo Pranoto, Uskup Agung Malang dan Susanto, komandan batalyon 5000 TRIP yang gugur saat pertempuran di jalan Salak.  Ada pula nama Tumenggung Suryo, Mayjen Wiyono dan Sunandar Priyo Sudarmo (ketiganya mantan Gubernur Jawa Timur). 

Serta Hamid Roesdi dan Letda KH. Malik Dalam, dua tokoh pahlawan lokal Malang yang gugur dalam perjuangan mempertahankan Kemerdekaan.

Meskipun nama jalan sudah berubah berpuluh-puluh tahun, masyarakat asli Malang masih mempunyai ingatan kolektif akan asal-usul mereka. Masyarakat masih sering menyebut nama asli kampung daripada nama-nama jalan yang mungkin terdengar asing karena tidak ada relevansi kedaerahan. 

Misalnya nama Tanjung lebih sering disebut daripada nama jalannya, IR Rais. Begitu pula dengan dengan nama Jodipan yang lebih dikenal daripada nama jalan Juanda.

Sebagai sebuah simbol, nama jalan memang sering luput dari perhatian masyarakat. Padahal, ada sejarah panjang, politik dan drama kemanusiaan dibalik penamaan sebuah jalan.

Daftar Pustaka:

1. Van Schaik, A (1996).  Malang, Beeld van Een Stad. Purmerend : Asia Maior

2. Basundoro, Purnawan (2009). Dua Kota Tiga Zaman: Surabaya dan Malang sejak jaman Kolonial sampai Kemerdekaan. Penerbit Ombak

3. Hudiyanto, Reza (2011). Menciptakan masyarakat kota: Malang di bawah tiga penguasa 1914-1950. Penerbit Lilin

4. Husein, Sarkawi B (2010). Negara di tengah Kota: Politik Representasi dan Simbolisme Perkotaan (Surabaya 1930-1960). Yayasan Obor

5. Soeara Asia, 2 Oktober 1943

6. Tjamboek Berdoeri (2004), Epilog. Indonesia Dalem Api dan Bara. Penerbit Elkasa

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun