Rena terpekur memandangi perutnya yang kian membuncit. Dengan perasaan trenyuh dielusnya perut itu.
“Kurang dua bulan lagi sayang, sabar ya. Ayahmu pasti senang dan kamu akan membantu ibu untuk membantunya melupakan kebiasaannya.”
Tapi, kejadian pagi ini terulang kembali esok harinya. Kali ini tampaknya lebih parah. Kecemburuan Rena meledak saat ia mencium wangi parfum wanita lain menempel di seragam kerja Koko.
“Ko, apa ini, bau parfum ya. Heh pasti kamu mulai main perempuan. Bagus ya, nambah lagi daftar hitam kelakuan burukmu.”
Koko tampak tak peduli, ia melewati Rena dan menuju ke dapur.
“Ko...Koko dengar dulu, kamu mau kemana, jawab dulu pertanyaanku. Benar kan kamu main perempuan? Dasar Bajingan”, serang Rena sambil melempar suaminya dengan sprei kotor.
Koko tetap diam. Diambilnya termos dan dengan santai ia menyeduh kopi instan sendiri. Biasanya Rena lah yang selalu menyeduhkan kopi untuk Koko usai menghidangkan sarapan. Rena semakin panas melihat ketidakpedulian Koko. Diambilnya panci yang ada di dekatnya. Tapi sebelum benda itu sempat melayang, Koko mendekatinya.
“Nggak baik orang hamil marah-marah melulu. Kasihan anak kita. Nanti bisa nular lho. Jadinya waktu dia lahir sudah ngomel-ngomel, ha...ha...ha...” kelakar Koko.
Rena cemberut mendengar lelucon suaminya. Tapi ia tak tahan juga untuk tersenyum meskipun disembunyikannya. Rena berusaha memamerkan tampang marahnya kembali.
“Jangan bercanda, nggak lucu tahu. Kalau nggak pingin anaknya lahir cerewet, ya jangan bikin gara-gara. Lagi pula kamu belum jawab pertanyaanku”.
“Pertanyaan yang mana sih?” tanya Koko sambil tetap tersenyum.