“Jeng, saya heran lho. Tadi saya melihat mas Koko di supermarket depan pasar menggandeng seorang wanita. Mesra lagi”.
“Masak sih bu, apa Bu Bambang nggak salah lihat?” tanya Rena dengan hati berdebar cemburu.
“Saya ini meski sudah tua, mata masih awas lho. Tapi sudahlah, saya nggak berniat membuat jeng Rena cemburu. Ya mungkin saja saya salah lihat. Permisi dulu ya jeng”, pamit Bu Bambang.
Rena ingin sekali menyangkal perkataan tetangganya itu. Tapi reputasi Bu Bambang yang terkenal jujur dan tidak suka bergosip membuatnya sedikit banyak mempercayai perkataan tetangganya itu.
“Aku harus membuktikannya”, tekad Rena dalam hati.
Keesokan harinya seperti biasa Koko berangkat kerja. Sebagai sopir taksi, ia sudah terbiasa bekerja keras untuk menghidupi rumah tangganya. Dan ia cukup bersyukur mendapatkan istri seperti Rena yang tidak banyak menuntut.
Sepeninggal suaminya, Rena tengah bersiap-siap. Diambilnya kerudung yang cukup besar untuk menutupi wajahnya. Melihat penampilannya di kaca, ia merasa geli sendiri. Rena merasa sudah seperti detektif wanita berperut buncit.
Di pasar, Rena bersembunyi di pojok toko yang persis menghadap ke supermarket itu. Ia berharap dapat membuka kedok Koko hari ini.
Ternyata, apa yang ditunggunya tidak datang juga. Karena matahari siang itu cukup terik, keringat Rena mengucur deras. Tiba-tiba ia merasa perutnya mual dan kepalanya pening. Sangat pening, dan bruk....semuanya menjadi gelap.
“Dimana saya.....” ucap Rena begitu tersadar. Rupanya Rena pingsan cukup lama. Untung di pasar tadi ada Bu Bambang yang menolongnya dan membawanya pulang.
Bu Bambang yang sedari tadi menungguinya akhirnya pamit pulang usai melihat Koko bergegas masuk rumah.