"Nggak akan ada yang sama persis dengan Fadlan, dengan dirimu..", ucapanku ini seketika membuat Ovi menoleh ke arahku, kaget. "Bahkan Fadlan pun sebenarnya memiliki banyak sekali hal yang membuat kalian berdua berbeda, hanya kamu saja yang terlalu terlena dengan kesamaan-kesamaan yang kalian punya."
Ovi tertunduk. Lemas.
"Vi.. Coba hitung, sudah berapa banyak waktu yang kamu sia-siakan untuk menunggu seseorang yang sebenarnya nggak pernah ada?"
"Coba buka mata kamu, Vi.. Buka hati kamu.. Liat sekeliling kamu.. Apakah semua pasangan di dunia ini terlihat sama?"
Ovi menggeleng. "Kupikir, jika kami sama, kami akan mudah untuk membuat keputusan. Nggak perlu ada pertengkaran dan perdebatan panjang."
"Kalau begitu, coba pikir.. Apa kira-kira alasan Fadlan lebih memilih cewek itu?", aku memberanikan diri menanyakan hal sensitif ini pada Ovi.
"Aku nggak tau.."
"Coba pikir lagi.. Kalau memang Fadlan nyaman dengan segala macam persamaan yang ada pada diri kalian, ngapain dia mesti jauh-jauh nyari bule untuk dijadikan istri? Padahal jelas-jelas ada cewek yang sama-sama pribumi lagi nungguin dia di sini dengan setianya.."
Ovi terisak, kedua tangannya ditangkupkan menutupi wajahnya. Ia nampak gusar. "Aku nggak pernah ngerti tentang itu!"
"Kamu mau tau jawabannya?", Ovi tidak menjawab. Tapi saat ia menengok ke arahku, kerutan di keningnya menyiratkan bahwa ia butuh jawaban.
"Itu karena Fadlan sudah lebih dulu membuka mata dan hatinya, Vi..", ujarku. "Fadlan mungkin sebelumnya melihat hubungan kalian terlalu monoton, layaknya TV hitam-putih, tidak ada celah bagi warna lain untuk membuat dunia kalian lebih berbeda, lebih ceria.."