"Mungkin cewek pilihannya itu sudah menghadirkan warna baru bagi Fadlan.. Mungkin bersamanya Fadlan bisa lebih bebas mengekspresikan diri, setelah sebelumnya terhimpit dalam ruang sempit dan gelap yang kalian ciptakan saat masih bersama.."
"Hubungan kami tidak se-membosankan itu kok!", Ovi tidak terima.
"Aku tidak pernah mengatakan hubungan kalian membosankan, Vi! Tapi ada satu kenyataan yang nggak bisa kita sangkal, Fadlan lebih comfortable dengan cewek itu dan segala hal menarik di London, mungkin?", balasku.
"Maksudmu, Fadlan jenuh dengan hubungan kami dan memutuskan hubungan begitu saja?"
"Bisa iya, bisa juga tidak. Mungkin menurutnya, dengan cara ini, kamupun harus bisa mengikuti step by step perjalanannya dalam mencari jodoh, Vi.. Cobalah untuk bisa lebih memahami pribadi orang lain. Terimalah mereka sebagaimana kamu juga ingin diterima.."
Ovi merenung. Tatapannya kosong.
"Bukankah kita juga punya kekurangan? Bukankah orang-orang di sekitar kita pun bahkan tidak mempermasalahkan semua itu?", tanyaku.
"Menurutku, sudah saatnya kamu sembuh, Vi. Sembuh dari sakitnya dihimpit trauma masa lalu yang kamu ciptakan sendiri.. Kuncinya cuma satu, toleransi.. Karena pada kenyataaannya, nggak ada yang sama persis di dunia ini, Vi. Apapun itu..", ucapku. Kuputuskan untuk tidak banyak berbicara lagi. Takut Ovi merasa terpojokkan oleh kata-kataku.
Setelahnya, kamipun larut dalam keheningan yang cukup lama.
Ovi mendongak, menatap langit-langit kamar. Kulihat ada senyum samar di wajahnya. "Mungkin kamu benar.. Sudah saatnya aku menemukan hal-hal seru dan unik dibalik segala perbedaan yang kutemui..", katanya, membuatku tersenyum puas.
"Aku balik dulu, yaa.. Thanks udah mau dengerin curhatku.", pamitnya. "Nanti kalo aku punya kenalan baru, kamu pasti jadi orang pertama yang aku kabarin.."