Penerapan Keuangan Berkelanjutan:
Bukan Sekedar Kepatuhan Pada Regulasi
Saat ini, keuangan berkelanjutan telah menjadi sebuah sistem keuangan yang menjadi standar bagi perusahaan di berbagai negara di seluruh dunia. Komisi Eropa mendefinisikan keuangan berkelanjutan sebagai sebuah sistem yang mengacu pada proses mempertimbangkan faktor-faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam membuat keputusan investasi di sektor keuangan, yang mengarah pada investasi jangka panjang dalam kegiatan ekonomi dan proyek-proyek yang berkelanjutan (EU, 2022).
Faktor-faktor seperti lingkungan, sosial, dan tata kelola menjadi sesuatu yang sangat penting dan harus diperhitungkan oleh perusahaan akibat munculnya berbagai dampak negatif aktivitas ekonomi terhadap lingkungan dan masyarakat. Isu-isu seperti perubahan iklim, pemanasan global, hilangnya keanekaragaman hayati, ketimpangan sosial dan lain-lain telah mendorong berbagai organisasi dunia, pemerintah, masyarakat, dan pelaku pasar mencari solusi yang dapat mengatasi isu-isu tersebut.
Misalnya, pemerintah di berbagai negara, kemudian mendorong dan sebagian lagi mengharuskan perusahaan terbuka dan lembaga jasa keuangan untuk menerapkan keuangan berkelanjutan. Masyarakat juga makin menyadari pentingnya semua pihak dan terutama perusahaan, dalam memastikan penerapan ESG dalam kegiatan perusahaan.Â
Demikian juga konsumen dan investor yang mulai memilih perusahaan-perusahaan yang ramah lingkungan dan produk serta layanan yang berkelanjutan. Kondisi ini mau tidak mau membuat perusahaan jadi harus lebih serius dalam menjalankan operasional bisnisnya agar sesuai dengan regulasi, dan tuntutan dari para pemangku kepentingannya.
Regulasi dan Panduan Keuangan Berkelanjutan
Indonesia adalah negara first mover di Asia Tenggara dalam mengadopsi keuangan berkelanjutan secara formal. Melalui peraturan 51/POJK.03/2017, lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik wajib menerapkan keuangan berkelanjutan dan menerbitkan laporan keberlanjutan sebagai bagian dari laporan tahunan. Regulator di Malaysia dan Singapura mengeluarkan beberapa panduan terkait keuangan berkelanjutan dan penerapan prinsip ESG, namun sifatnya masih belum wajib.Â
Sementara negara lainnya seperti Thailand, Philipina, dan Vietnam dan negara ASEAN lainnya, penerapan keuangan berkelanjutan masih di tahap awal (ASEAN Taxonomy Board, 2024). Penerapan keuangan berkelanjutan sangat bervariasi, dan terutama dilakuka oleh perusahaan besar dan yang berafiliasi secara internasional, dan karena dorongan dari pemerintah.
Meski tingkat adopsi dan regulasi mengenai keuangan berkelanjutan di masing-masing negara ASEAN berbeda-beda, namun sudah terdapat apa yang disebut dengan Taksonomi ASEAN versi 3. Menurut ASEAN Taxonomy Board (2024), Taksonomi ASEAN adalah sebuah kerangka klasifikasi yang dikembangkan oleh negara-negara anggota ASEAN untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasikan aktivitas ekonomi yang mendukung tujuan keberlanjutan.Â
Kerangka ini dirancang untuk menyediakan pedoman yang seragam di seluruh anggota ASEAN dalam mengadopsi keuangan berkelanjutan, dengan mempertimbangkan perbedaan kebutuhan dan kondisi ekonomi masing-masing negara. Dengan adanya taksonomi yang dirumuskan pada November 2021 ini, negara anggota ASEAN dapat menyelaraskan taksonomi nasional mereka sesuai dengan standar regional.
Di Indonesia, gambaran sebagai first mover dalam keuangan keberlanjutan dapat ditelusuri misalnya ketika pada Januari 2022 OJK meluncurkan Taksonomi Hijau Indonesia. Ini merupakan bagian dari inisiatif Indonesia untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.Â
Tujuannya untuk membantu lembaga keuangan dan perusahaan untuk mengidentifikasi proyek dan aktivitas yang memenuhi kriteria hijau, sehingga layak untuk mendapatkan pembiayaan hijau. Selanjutnya pada Februari 2024, OJK meluncurkan perluasan dari taksonomi hijau, yang disebut dengan Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI).
TKBI bertujuan untuk memberikan panduan bagi lembaga jasa keuangan, emiten, dan perusahaan publik dalam mengintegrasikan ESG (Environmental, Social, and Governance) dalam aktivitas mereka. Tujuannya adalah untuk menciptakan nilai jangka panjang yang berkelanjutan baik dari sisi ekonomi maupun non-ekonomi.
Selain itu, OJK telah menerbitkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap I (2015-2019) pada 2014. Roadmap ini menjadi acuan bagi OJK dan pelaku industri jasa keuangan serta pihak-pihak lain yang memiliki kepentingan untuk mendukung pembangunan berkelanjutan terutama pemerintah, pelaku industri maupun lembaga internasional. Roadmap I dirancang sebagai langkah awal dalam memperkenalkan keuangan berkelanjutan bagi industri jasa keuangan (OJK, 2015).Â
Sedangkan dalam Roadmap Tahap II (2021-2025) dimaksudkan untuk meningkatkan implementasi keuangan berkelanjutan, dan mempercepat kontribusi sektor jasa keuangan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals/SDGs. Fokusnya pada penguatan regulasi dan memastikan bahwa keuangan berkelanjutan menjadi bagian integral dari sistem keuangan nasional (OJK, 2021).
Hingga saat ini, Indonesia telah memiliki regulasi tentang keuangan berkelanjutan (POJK 51/2017), Roadmap Keuangan Berkelanjutan, dan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia yang menjadi panduan bagi perusahaan dalam menerapkan keuangan berkelanjutan. Tantangan yang dihadapi oleh OJK saat ini misalnya adalah pengawasan terhadap implementasi peraturan yang ada, termasuk pemberian sanksi untuk yang melanggar.Â
OJK perlu mengedukasi perusahaan yang masih melihat pelaporan keberlanjutan sebagai beban administratif daripada peluang bisnis. OJK juga perlu meningkatkan kesadaran konsumen tentang pentingnya memilih produk keuangan yang berkelanjutan. Ini termasuk kampanye untuk mendorong masyarakat memilih bank dan produk investasi yang mendukung keberlanjutan.
Dorongan Menerapkan Keuangan Berkelanjutan
Menumbuhkan kesadaran konsumen agar memilih produk yang ramah lingkungan, atau produk yang berkelanjutan adalah salah satu strategi dalam mendorong perusahaan yang tidak terbuka dan usaha kecil menengah (UKM) untuk mengintegrasikan aspek ESG dalam keputusan bisnis mereka.Â
Apabila kesadaran tersebut sudah cukup tinggi, maka mau tidak mau pelaku usaha akan berusaha memenuhi apa yang dianggap penting oleh konsumen, sekalipun regulasi yang ada tidak atau belum mengharuskan. Hal ini mereka lakukan untuk menjaga keberlangsungan bisnis mereka, di samping karena peningkatan kesadaran tanggungjawab sosial perusahaan.
Hal ini sangat penting dilakukan mengingat jumlah perusahaan yang wajib menerapkan keuangan berkelanjutan di Indonesia jumlahnya masih sangat terbatas dibanding dengan perusahaan yang tidak wajib menerapkan. Sebagai gambaran, perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada 2024 ada 934 perusahaan, jumlah perusahaan asuransi dan reasuransi ada 150 perusahaan (OJK, 2024), dan jumlah bank umum ada 105 bank (BPS, 2024). Dari sekitar 1.200 perusahaan yang wajib menerapkan keuangan berkelanjutan, ternyata tidak semuanya telah membuat laporan keberlanjutan. Jumlahnya memang terus meningkat seiring dengan tekanan dari regulator, investor, dan masyarakat.
Sementara itu menurut data BPS (2024) jumlah seluruh perusahaan di Indonesia mencapai lebih dari 2,5 juta. Dengan demikian sangat terlihat bahwa jumlah perusahaan yang tidak wajib mengintegrasikan aspek ESG dalam strategi dan keputusan bisnis mereka masih jauh lebih banyak.Â
Hal positif yang terjadi pada perusahan tersebut misalnya adalah mulai munculnya kesadaran terhadap pentingnya menjaga kelestarian lingkungan dalam operasional bisnisnya. Inisiatif seperti ini banyak dilakukan oleh perusahaan-perusahaan besar non-publik baik di luar negeri maupun di Indonesia.
Dalam kancah internasional, terdapat perusahaan makanan dan permen Mars Inc. dari Amerika Serikat yang berkomitmen pada keberlanjutan dalam rantai pasok kakao dan sumber daya lainnya. Ikea dari Swedia, telah sejak lama menerapkan ESG dalam pengelolaan bahan baku dan operasional globalnya.Â
Perusahaan mainan anak Lego dari Denmark menggunakan bahan baku ramah lingkungan dan enegri terbarukan dalam produksinya. Satu lagi, perusahaan agribisnis Cargill dari Amerika Serikat yang memiliki komitmen kuat terhadap keberlanjutan, terutama dalam rantai pasokan pertanian, pengelolaan air, dan pengurangan emisi karbon. Beberapa perusahaan tersebut bukan perusahaan publik namun menerapkan keuangan berkelanjutan dan menerbitkan laporan keberlanjutan.
Di Indonesia juga ada beberapa perusahaan besar yang bukan merupakah perusahaan publik namun berkomitmen menerapkan keuangan berkelanjutan dan menerbitkan laporan keberlanjutan (meskipun tidak sangat mendalam seperti perusahaan publik). Misalnya, PT. Danone Indonesia; PT. Indofood CBP Sukses Makmur; PT. Sinar Mas Group melalui anak perusahaannya PT. APP; PT Wilmar Nabati Indonesia; PT. Djarum Group, dan sebagainya. Hal ini dapat diketahui dari laporan keberlanjutan yang mereka terbitkan.
Menurut World Economic Forum (2023), terdapat sejumlah manfaat menerapkan ESG (Environmental, Social, Governance) bagi perusahaan. Pertama adalah untuk mitigasi risiko. Mengurangi risiko yang terkait dengan lingkungan, sosial, dan tata kelola yang dapat mempengaruhi kelangsungan bisnis.Â
Kedua, akses ke modal. Bagi sebagian purusahaan non-publik, modal diperoleh dari internal. Namun bagi yang lain, tidak. Penerapan ESG akan meningkatkan daya tarik bagi investor yang mengutamakan keberlanjutan. Ketiga, inovasi dan Pertumbuhan. Penerapan ESG akan mendorong inovasi dalam produk dan layanan yang berkelanjutan. Terakhir, terkait dengan reputasi dan kepercayaan. Penerapan ESG akan meningkatkan reputasi perusahaan di mata konsumen dan mitra bisnis.
Penutup
Keuangan berkelanjutan diyakini adalah sistem keuangan yang paling tepat diterapkan oleh perusahaan dalam merespon perubahan iklim, dan berbagai masalah sosial lainnya. Terdapat tantangan yang tidak mudah di seluruh dunia dalam menerapkan keuangan berkelanjutan pada sebanyak mungkin perusahaan. Â Kesepakatan internasional dan regulasi pemerintah di berbagai negara saat ini baru dapat menjangkau dan mewajibkan sebagian kecil perusahaan untuk menerapkan keuangan berkelanjutan.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan strategi lain yang lebih didasari pada kesadaran dan tanggungjawab sosial perusahaan dalam ikut mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Peningkatan kesadaran dan dukungan konsumen pada produk barang dan jasa yang ramah lingkungan dan berorientasi pada keberlanjutan, merupakan alternatif yang penting dilakukan. Hal ini pada tingkat tertentu dapat menjadi tekanan tersendiri yang mau tidak mau harus diperhatian oleh perusahaan.
DAFTAR REFERNSI
ASEAN Taxonomy Board. (2024). ASEAN Taxonomy for Sustainable Finance. https://www.theacmf.org/images/downloads/pdf/ASEAN-Taxonomy-Version-3.pdf
BPS. (2024). Jumlah Bank dan Kantor Bank (Unit), 2023. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/OTM3IzI=/jumlah-bank-dan-kantor-bank--unit-.html
European Union. (2022). Overview of sustainable finance. https://finance.ec.europa.eu/sustainable-finance/overview-sustainable-finance_en
OJK (2014). Roadmap Keuangan Berkelanjutan  di Indonesia 2015-2019. https://www.ojk.go.id/keuanganberkelanjutan/Uploads/ArticleRiset/ArticleRiset_24021809475752.pdf
OJK (2021). Roadmap Keuangan Berkelanjutan  Tahap II (2021-2025). https://ojk.go.id/id/berita-dan-kegiatan/publikasi/Pages/Roadmap-Keuangan-Berkelanjutan-Tahap-II-(2021-2025).aspx
WEF. (2023). Here’s why we must not lose sight of the Comportance of ESG, despite the recent backlash. https://www.weforum.org/agenda/2023/01/the-importance-of-esg-sustainable-future-davos-2023/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H