(Dalam hal ini kata 'dapat langsung' dalam Pasal 121 PP 40/2014 yang beberapa hari lalu ramai diperdebatkan dalam persoalan jual beli tanah RSSW di blog keroyokan ini, dapat menjadi contoh terang benderang sifat diskresi jenis ini).  Dalam konteks pasal itu, pemerintah mempunyai pilihan untuk membebaskan tanah (dibawah 5 Hektar) melalui prosedur ganti rugi, atau secara langsung melalui jual beli atau tukar menukar. Silakan pilih, peraturan perundang-undangan memberi kebebasan (diskresi).
4. Karena tidak diatur, diatur tidak rinci atau tidak jelas, ada peluang stagnasi (pemerintahan) dalam pelayanan publik.Â
Pemerintah tidak dapat melepaskan diri dari kewajiban konstitusional untuk mensejahterakan warga dengan alasan kondisi di atas. Tak seorang pejabat pun berhak menyatakan '... maaf saya tidak dapat melayani anda, karena peraturannya tidak ada, tidak rinci, atau tidak jelas. Pemerintah wajib melayani kepentingan publik sebagai kewajiban konstitusional dan menuntut untuk tetap mengambil keputusan atau tindakan. Keputusan atau tindakan semacam ini dalam administrasi pemerintahan mewujud dalam bentuk kebijakan (diskresi). Â
Penilaian Penggunaan Kewenangan Diskresi
Di luar asas legalitas, satu elemen penting lain dari asas negara hukum (rechsstaat) adalah pemisahaan kekuasaan. Pembagian kekuasaan sebagai penuangan prinsip trias politika terbagi dalam fungsi membuat UU (legislatif), Â mengadili (yudisiil), dan melaksanakan (eksekutif). Â Kenyataannya, seperti dijelaskan, fungsi eksekutif tidak sepenuhnya hanya melaksanakan UU (materiil) saja. Â Fakta bahwa banyak urusan publik yang tidak tercakup dalam UU materiil menjadikan banyak diskresi harus dilakukan.Â
Jika demikian, apakah pengadilan (lembaga yudisiil) dapat menguji perbuatan diskresi? Â Jawaban atas pertanyaan itu dapat dikembalikan kepada pertanyaan berikut: Â jika aturan hukum sebagai dasar tindakan itu tidak ada, tidak jelas atau tidak rinci, apa yang menjadi dasar uji (toetsinggronden) dan parameter bagi hakim untuk menguji keabsahan keputusan/tindakan pemerintah itu?Â
Prinsip dasar pembagian kekuasaan membatasi kewenangan pengadilan sebatas menguji penerapan hukum (rechtmatigheid) Â yang dilakukan pemerintah. Â Ini tidak berlaku jika pengujian (pembatalan) dilakukan oleh pejabat atasannya, terkait penilaian pencapaian tujuan kesejahteraan (doelmatigheid) dan masih dalam satu lingkup kekuasaan eksekutif.Â
Namun demikian, hakim masih bisa melakukan penilaian penggunaan wewenang diskresi sebatas ada pelanggaran Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB). Beberapa elemen penting dari asas ini adalah asas kemanfaatan dan pemenuhan tujuan kepentingan umum dalam melaksanakan diskresi (lihat Pasal 10 ayat (1) huruf b dan g UU AP). Lebih dari itu, penggunaan diskresi harus dilakukan berdasarkan alasan obyektif dan harus dilakukan dengan itikad baik (lihat Pasal 24 huruf d dan f UU AP).
Tentang itikad baik dalam optik persoalan reklamasi  pantura Jakarta, adalah sama dengan sinyalemen yang dinyatakan KPK sebagai 'niat jahat',  atau penyalahgunaan wewenang dalam hukum administrasi pemerintahan. Sifat dasarnya adalah penggunaan wewenang untuk tujuan lain dari diberikannya wewenang itu. Â
Dalam banyak kasus, niat jahat sulit dilakukan pengukuran. Elemen niat jahat berelasi kuat dengan apa yang dipikirkan si pelaku. Sesuatu yang sangat sulit dibuktikan, kecuali ada tindakan nyata yang diwujudkan dalam perbuatan materiil pelaku. Â Dalam hal ini, penerimaan uang oleh M Sanusi sebagai 'uang beli' penghilangan atau pengurangan pasal kontribusi tambahan 15% dalam raperda zonasi pulau yang dibahas, menjadi bukti nyata 'niat jahat' atau tidak adanya 'itikad baik' dalam penggunaan diskresi.
Jangan sekali2 terjebak pada pemikiran 'the man in the street' jika kebijakan (diskresi) Â tanpa payung hukum adalah perbuatan melanggar hukum (wederrechtelijke). Perbuatan melanggar hukum harus diartikan sebagai perbuatan melanggar peraturan perundang-undangan. Â Mahkamah Kostitusi dalam putusannya jelas menggariskan sifat melanggar hukum dalam tindak pidana harus dimaknakan sebagai pelanggaran hukum formal (hukum tertulis), tidak diartikan sebagai melanggar hukum materiil (pelanggaran etis kesusilaan dan kesopanan). Penafsiran semacam ini berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan pelanggaran asas legalitas. Â