Persoalan diskresi bukan hal baru dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sejauh pemerintahan Indonesia berdiri, diskresi banyak dipraktekkan oleh banyak pejabat pemerintahan, bahkan pejabat paling rendah sekalipun. Â Contoh yang paling banyak digunakan adalah diskresi dalam memutuskan atau tindakan untuk melakukan rekayasa lalu lintas dalam mengatasi kemacetan. Bahkan di Jakarta, diskresi semacam ini mungkin dilakukan setiap hari demi lancarnya lalu lintas.
Istilah diskresi  mulai banyak digunakan dalam beberapa hari terakhir berkait persoalan kontribusi tambahan pengembang reklamasi pantura Jakarta. Istilah ini marak karena tak lepas dari berlakunya UU Administrasi Pemerintahan (UU 30/2014 - UU AP) yang menjadikan kata diskresi sebagai kata baku hukum. Sekalipun demikian, padanan katanya sudah pernah digunakan beberapa tahun lalu, saat penyelamatan Bank Century dan dianggap merugikan keuangan negara. Keramaian saat itu sangat relevan, karena ada uang negara sebanyak 6,76 Trilyun yang diambil dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang digelontorkan.Â
Saat itu di media massa banyak dipilih kata 'keputusan kebijakan', sebagai alasan bagi beberapa nama yang tersangkut untuk mempertanyakan kewenangan hakim pidana memeriksa dan mengadili kebijakan yang diambil. Â Â Â Â
Mengapa diskresi?
Kebutuhan untuk memberi wewenang diskresi (keputusan kebijakan, discretionary power, vrij bevoegd) Â kepada pejabat dalam penyelenggaraan pemerintahan tak lepas dari prinsip negara hukum yang dianut Indonesia (lihat Pasal 1 angka 3 UUD NRI 1945). Salah satu prinsip utama negara hukum menghendaki keabsahan perbuatan pemerintah untuk bertindak berdasar peraturan perundang-undangan yang sudah ada sebelumnya (wetmatigheid van bestuur), atau sering dikenal dengan asas legalitas. Asas yang menghendaki perlunya pemositifan hukum (pembentukan hukum tertulis) dalam pemerintahan.
Pada saat yang sama, negara Indonesia juga menganut diri sebagai negara kesejahteraan (welfare state, verzoorging staat). Formulasi alinea IV UUD NRI 1945 bahwa, "kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi... dan untuk memajukan kesejahteraan umum... dst" , mendesak pemerintah untuk lebih banyak campur tangan dalam usaha mengurus dan mewujudkan kesejahteraan warga negara. Tugas konstitusional.Â
Realitasnya, kebutuhan untuk menciptakan peraturan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai landasan bertindak pemerintahan, Â tidak pernah dan tidak akan pernah mampu mengatur semua urusan pemerintahan dalam usaha mensejahterakan warga negara sampai ke detil urusan konkrit, individual dalam situasi dinamika masyarakat yang begitu tinggi. Keramaian taksi berbasis online (GrabCar dan Uber Taxi) beberapa waktu lalu adalah contoh aktual betapa peraturan perundang-undangan begitu statis dan cepat tertinggal oleh dinamika masyarakat. Â
Pada posisi seperti di atas mungkin terjadi beberapa kondisi:
1. Undang-undang materiil tidak (belum) mengatur persoalan konkrit yang terjadi di masyarakat;
2. Undang-undang materiil (sudah) mengaturnya, tetapi tidak jelas atau tidak rinci pengaturannya;
3. Undang-undang materiil (sudah) mengatur, tetapi hanya prinsip hukumnya saja, sedangkan pada kondisi konkrit diberikan opsi kepada pemerintah untuk mengambil keputusan sesuai kondisi riilnya.Â