Mohon tunggu...
Ticklas Babua Hodja
Ticklas Babua Hodja Mohon Tunggu... Konsultan - Petani/Buruh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Life is choise

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sains, Agama, Filsafat, Essai, Translasi, dan Antinomi

4 Juni 2021   20:51 Diperbarui: 5 Juni 2021   08:34 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dampak sosial-ekonomi yang sangat dahsyat dari ledakan kecil tersebut adalah perkembangan teknologi kita (perjalanan udara): seabad yang lalu, letusan seperti itu akan berlalu tanpa terasa. Perkembangan teknologi membuat kita lebih mandiri dari alam dan pada saat yang sama, pada tingkat yang berbeda, lebih bergantung pada kehendak alam. Dan hal yang sama berlaku untuk penyebaran virus corona: jika itu terjadi sebelum reformasi Deng Hsiao Ping, kita mungkin tidak akan pernah mendengarnya.

Jadi bagaimana kita melawan virus jika virus itu berkembang biak sebagai bentuk kehidupan parasit yang aneh dan tak terlihat, sebuah entitas spektral yang tidak mati  (living dead) yang mekanisme dasarnya tetap tidak diketahui? Kurangnya pengetahuan inilah yang menyebabkan kepanikan: bagaimana jika virus akan bermutasi dengan cara yang tak terduga dan memicu bencana global yang sebenarnya?

Inilah paranoia pribadi saya: apakah alasan kepanikan yang diperlihatkan oleh pihak berwenang meskipun efek sebenarnya sampai sekarang relatif sederhana terletak pada kenyataan bahwa mereka tahu (atau, setidaknya, menduga) sesuatu tentang kemungkinan mutasi yang tidak ingin mereka beritahukan pada publik untuk menghindari kebingungan dan keresahan?

Satu hal yang pasti: isolasi, tembok baru, dan karantina lebih lanjut itu akan sia-sia. Dibutuhkan solidaritas penuh tanpa syarat dan respons global yang terkoordinasi, bentuk baru dari apa yang dulu disebut Komunisme. Jika kita tidak mengarahkan upaya kita ke arah ini, maka Wuhan hari ini mungkin adalah citra kota masa depan kita.

Banyak distopian telah membayangkan masa depan serupa: kita lebih banyak tinggal di rumah, bekerja di komputer, berkomunikasi melalui konferensi video, melakukan oleh raga kebugaran dengan menggunakan mesin di sudut kantor rumah, sesekali bermasturbasi di depan layar yang menampilkan seks hardcore, dan memesan makanan dengan jasa pengiriman.

Namun, ada prospek emansipatoris takterduga yang tersembunyi dalam visi yang seperti mimpi buruk ini. Saya harus mengakui bahwa selama beberapa hari terakhir saya bermimpi mengunjungi Wuhan. Apakah jalanan yang setengah-ditinggalkan di sebuah megalopolis--pusat kota yang biasanya ramai tapi terlihat seperti kota hantu, toko-toko dengan pintu terbuka dan tidak ada pelanggan, hanya pejalan kaki atau mobil di sana-sini, orang-orang dengan masker putih-sama sekali tidak mencerminkan citra dunia non-konsumeris yang nyaman dengan dirinya sendiri?

Keindahan melankolis dari jalan-jalan yang kosong di Shanghai atau Hong Kong mengingatkan saya pada beberapa film pasca-apokaliptik lama seperti On the Beach, yang menunjukkan sebuah kota dengan sebagian besar penduduknya dihancurkan-tidak ada penghancuran besar yang spektakuler, hanya dunia di luar sana yang tidak lagi siap sedia, menunggu kita, menatap pada kita dan hanya pada  kita. Bahkan masker putih yang dikenakan oleh beberapa orang yang berjalan di sekitarnya memberikan anonimitas yang ramah dan pembebasan dari tekanan sosial demi pengakuan.

Banyak dari kita yang ingat kesimpulan terkenal dari manifes situasionis mahasiswa dari tahun 1966: Vivre sans temps mort, jouir sans entraves -to live without dead time, to enjoy without obstacles. Jika Freud dan Lacan telah mengajarkan kita sesuatu, maka itu adalah bahwa formula ini-yaitu perkara tertinggi dari perintah superego karena, seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh Lacan, superego pada dasarnya merupakan perintah positif untuk dinikmati, bukan tindakan negatif untuk melarang sesuatu-merupakan resep untuk menghadapi bencana: keinginan untuk mengisi setiap momen waktu yang diberikan pada kita dengan keterlibatan yang intens berakhir dengan kebosanan mencekik yang tak terhindarkan.

Waktu tak produktif-yaitu saat terjadi penarikan diri, saat terjadi apa yang oleh mistikus lama disebut Gelassenheit, pelepasan-sangat penting untuk revitalisasi pengalaman hidup kita. Mungkin orang dapat berharap bahwa salah satu konsekuensi yang tidak diinginkan dari karantina virus corona di kota-kota Cina adalah bahwa beberapa orang setidaknya akan menggunakan waktu tak produktif mereka untuk terbebas dari aktivitas yang padat dan memikirkan ke(tidak)masuk-akalan kesulitan mereka.

Saya sepenuhnya sadar akan bahaya yang saya hadapi dalam mempublikasikan pemikiran saya ini-apakah saya terlihat tidak turut memikirkan cara baru menghubungkan para korban dengan beberapa wawasan otentik yang lebih dalam dari posisi eksternal saya yang aman dan dengan demikian secara sinis melegitimasi penderitaan mereka? Ketika seorang warga mengenakan masker di Wuhan berkeliling mencari obat-obatan atau makanan, pasti tidak ada pemikiran anti-konsumeris di benaknya, hanya panik, marah, dan takut. Harapan saya hanyalah bahwa peristiwa mengerikan dapat memiliki konsekuensi positif yang tidak terduga.

Carlo Ginzburg mengusulkan gagasan bahwa merasa malu dengan negara sendiri, bukan malah mencintainya, mungkin merupakan tanda sebenarnya dari rasa memiliki terhadap negara tersebut. Beberapa orang Israel mungkin akan mengumpulkan keberanian untuk merasa malu atas tindakan Netanyahu dan politik Trump yang dilakukan atas nama mereka-tentu saja, bukan dalam arti rasa malu menjadi Yahudi, tetapi sebaliknya, merasa malu atas apa yang politik Israel lakukan di West Bank pada warisan Yahudi yang paling berharga. Beberapa orang Inggris mungkin harus mengumpulkan keberanian untuk merasa malu dengan mimpi ideologis yang membawa mereka pada Brexit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun