Mohon tunggu...
Ticklas Babua Hodja
Ticklas Babua Hodja Mohon Tunggu... Konsultan - Petani/Buruh
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Life is choise

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Sains, Agama, Filsafat, Essai, Translasi, dan Antinomi

4 Juni 2021   20:51 Diperbarui: 5 Juni 2021   08:34 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sains, Agama, Filsafat, Essai, Translasi,
dan Antinomi.

Slavoj sizek: Komunisme global atau hukum rimba, virus korona memaksa kita untuk memilih.

ESSAI, FILSAFAT, TRANSLASI.

Seiring kepanikan atas penyebaran virus corona, kita harus membuat pilihan ultim-antara  memainkan logika paling brutal dari survival of the fittest atau semacam penciptaan kembali komunisme dengan koordinasi dan kolaborasi global.

Media kita tanpa henti mengulangi formula "Jangan panik!" Dan kemudian kita mendapatkan semua laporan yang tak bisa tidak tetap memicu kepanikan. Situasinya mirip dengan yang saya ingat dari masa muda saya di sebuah negara komunis: ketika pejabat pemerintah meyakinkan publik bahwa tak ada alasan untuk panik, kami semua menganggap jaminan ini sebagai tanda yang jelas bahwa mereka sendiri dalam kepanikan.

Terlalu mengkhawatirkan jika menghabiskan waktu dengan panik

Panik memiliki logikanya sendiri. Fakta bahwa di Inggris, karena kepanikan terhadap virus corona, bahkan tisu toilet ludes dari toko-toko itu mengingatkan saya pada insiden aneh terkait tisu toilet di masa muda saya di negara sosialis Yugoslavia. Tiba-tiba, desas-desus mulai beredar bahwa tak ada cukup tisu toilet di toko-toko. Pihak berwenang segera mengisukan kepastian bahwa di sana telah tersedia cukup tisu toilet untuk konsumsi normal, dan, yang mengejutkan, ini tak hanya benar tapi orang-orang kebanyakan bahkan percaya itu benar.

Namun, konsumen rata-rata beralasan dengan cara berikut: Saya tahu ada cukup tisu toilet dan rumor itu salah, tapi bagaimana jika beberapa orang menganggap serius rumor ini dan, dengan panik, akan mulai membeli cadangan tisu toilet secara berlebihan, bukankah situasi ini menyebabkan kondisi kekurangan tisu toilet yang sebenarnya? Jadi lebih baik saya bergegas dan memborong cadangan tisu itu untuk saya sendiri.

Bahkan tak perlu percaya bahwa beberapa orang menganggap serius desas-desus itu-cukup untuk mengandaikan bahwa ada yang percaya bahwa ada orang yang menganggap desas-desus itu serius-efeknya sama, yaitu kekurangan nyata tisu toilet di toko. Apakah hal serupa tak terjadi di Inggris (dan juga di California) hari ini?

Sisi lain yang aneh dari kepanikan berlebihan yang terus-menerus seperti ini adalah tiadanya kepanikan sama sekali di saat kepanikan itu sepenuhnya dibenarkan.  Dalam beberapa tahun terakhir, setelah epidemi SARS dan ebola, kita diberitahu berulang kali bahwa epidemi baru yang jauh lebih kuat hanya menunggu waktu, bahwa pertanyaannya bukan JIKA tetapi KAPAN akan terjadi. Meskipun secara rasional kita yakin akan kebenaran ramalan-ramalan mengerikan ini, kita entah bagaimana tidak menganggapnya serius dan enggan bertindak dan melakukan persiapan serius-satu-satunya wadah yang kita pikirkan adalah bayangan film apokaliptik seperti Contagion.

Apa yang dikatakan oleh perbandingan ini kepada kita adalah bahwa kepanikan bukanlah cara yang tepat untuk menghadapi ancaman nyata. Ketika kita bereaksi dengan panik, kita tak menganggap ancaman itu secara serius. Sebaliknya, kita meremehkannya. Pikirkan betapa konyolnya pembelian berlebihan gulungan tisu toilet: seolah-olah memiliki cukup tisu toilet akan berguna di tengah-tengah epidemi yang mematikan. Jadi apa yang akan menjadi reaksi yang sesuai untuk epidemi virus corona? Apa yang harus kita pelajari dan apa yang harus kita lakukan untuk menghadapinya dengan serius?

Yang saya maksud dengan komunisme

Ketika saya menyarankan bahwa epidemi virus corona dapat memberikan dorongan baru kehidupan menuju komunisme, klaim saya, seperti yang sudah saya duga, ditertawakan. Meskipun terlihat bahwa pendekatan kuat terhadap krisis oleh negara Tiongkok berhasil-setidaknya pendekatan itu bekerja jauh lebih baik daripada apa yang sekarang terjadi di Italia, logika otoriter komunis lama yang sedang berkuasa juga jelas menunjukkan keterbatasannya. Salah satunya adalah bahwa ketakutan membawa berita buruk kepada mereka yang berkuasa (dan kepada publik) melebihi hasil aktual-inilah rupanya alasan mengapa mereka yang pertama kali membagikan informasi tentang virus baru menurut laporan ia ditangkap, dan ada laporan lain bahwa hal serupa sedang terjadi sekarang ini.

"Tekanan untuk membuat Tiongkok kembali bekerja setelah penutupan virus corona membangkitkan kembali godaan lama: memalsukan data sehingga pejabat senior melihat apa yang ingin mereka lihat," kata laporan Bloomberg. "Fenomena ini terjadi di provinsi Zhejiang, pusat industri di pantai timur, dalam bentuk penggunaan listrik. Setidaknya tiga kota di sana telah memberikan pabrik lokal target untuk memenuhi konsumsi daya karena mereka menggunakan data untuk menunjukkan kebangkitan dalam produksi, menurut orang yang akrab dengan masalah ini. Target itu mendorong beberapa bisnis untuk menjalankan mesin bahkan ketika pabrik mereka kosong, kata orang-orang."

Kita juga bisa menebak apa yang akan terjadi ketika orang-orang yang berkuasa mencatat kecurangan ini: manajer lokal akan dituduh melakukan sabotase dan dihukum berat, sehingga mereproduksi lingkaran setan ketidakpercayaan. Seorang Julian Assange versi Cina akan dibutuhkan di sini untuk membeberkan kepada publik sisi tersembunyi bagaimana Cina mengatasi epidemi. Jadi jika bukan komunisme semacam ini yang ada dalam pikiran saya, lalu apa yang saya maksud dengan komunisme? Untuk memahaminya, cukup membaca deklarasi publik dari WHO-berikut ini adalah yang terbaru:

Kepala WHO Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan pekan lalu bahwa meskipun otoritas kesehatan masyarakat di seluruh dunia memiliki kemampuan untuk berhasil memerangi penyebaran virus, organisasi tersebut khawatir bahwa di beberapa negara tingkat komitmen politik tidak sesuai dengan tingkat ancaman. "Ini bukan latihan. Ini bukan waktunya untuk menyerah. Ini bukan waktunya untuk mencari-cari alasan. Ini adalah waktunya untuk minggir sebentar ke semua perhentian. Negara-negara telah merencanakan skenario seperti ini selama beberapa dekade. Sekarang saatnya untuk bertindak atas rencana itu," kata Tedros. "Epidemi ini dapat dipukul mundur, tetapi hanya dengan pendekatan kolektif, terkoordinasi dan komprehensif yang melibatkan seluruh mesin pemerintahan."

Orang mungkin menambahkan bahwa pendekatan komprehensif semacam itu harus menjangkau jauh melampaui mesin pemerintahan tunggal: harus mencakup mobilisasi lokal orang-orang di luar kendali negara serta koordinasi dan kolaborasi internasional yang kuat dan efisien.

Jika ribuan orang akan dirawat di rumah sakit karena masalah pernafasan, mesin pernafasan dalam jumlah yang sangat besar akan dibutuhkan, dan untuk mendapatkannya, negara harus secara langsung melakukan intervensi dengan cara yang sama seperti campur tangan dalam kondisi perang ketika ribuan senjata dibutuhkan, dan harus mengandalkan kerja sama negara lain. 

Seperti dalam kampanye militer, informasi harus dibagikan dan rencana dikoordinasikan sepenuhnya-inilah yang saya maksudkan dengan 'komunisme' yang dibutuhkan saat ini, atau, seperti yang dikatakan Will Hutton: "Saat ini, satu bentuk globalisasi pasar bebas yang tak diatur dengan kecenderungannya untuk menghadapi krisis dan pandemi tentu sedang sekarat. Namun bentuk lain yang sadar akan saling ketergantungan dan keunggulan tindakan kolektif berbasis bukti sedang lahir."

Diperlukan koordinasi & kolaborasi global

Apa yang sekarang masih mendominasi adalah sikap "setiap negara untuk dirinya sendiri": "Ada larangan nasional untuk ekspor produk-produk utama seperti pasokan medis, dibarengi dengan negara-negara mundur pada analisis mereka sendiri tentang krisis di tengah kekurangan lokal dan kondisi tak menentu, pendekatan primitif untuk pencegahan," tulis Will Hutton dalam Guardian.

Epidemi virus corona tak hanya menandakan batas globalisasi pasar, ia juga menandakan batas yang lebih fatal dari populisme nasionalis yang menekankan kedaulatan negara penuh: biasanya berujung dengan klaim 'Amerika lah (atau siapa pun) yang pertama!' Karena Amerika dapat diselamatkan hanya melalui koordinasi dan kolaborasi global.

Saya bukan utopian di sini, saya tak mengimbau solidaritas yang di idealkan di antara orang-orang-sebaliknya, krisis saat ini menunjukkan dengan jelas bagaimana solidaritas dan kerja sama global demi kepentingan bertahan untuk semua dan kita masing-masing, adalah langkah rasional egois untuk dilakukan. Dan bukan hanya virus corona: China sendiri menderita flu babi raksasa beberapa bulan lalu, dan sekarang terancam oleh kemungkinan adanya wabah belalang. Plus, seperti yang dicatat Owen Jones, krisis iklim membunuh lebih banyak orang di seluruh dunia daripada virus corona, tetapi tak ada kepanikan mengenai hal ini.

Dari sudut pandang vitalis sinis, orang akan tergoda untuk melihat virus corona sebagai infeksi menguntungkan yang memungkinkan manusia untuk menyingkirkan mereka yang lapuk, lemah dan sakit, seperti mencabut ganja setengah busuk, dan dengan demikian berkontribusi terhadap kesehatan global.

Pendekatan komunis global yang saya anjurkan adalah satu-satunya cara bagi kita untuk benar-benar meninggalkan sudut pandang vitalis primitif. Tanda-tanda mengurangi solidaritas tanpa syarat sudah terlihat dalam perdebatan yang sedang berlangsung, seperti dalam catatan berikut tentang peran "tiga orang bijak" jika epidemi mengambil giliran yang lebih dahsyat di Inggris: "Pasien NHS dapat ditolak perawatan penyelamatan nyawa selama wabah virus corona parah di Inggris jika unit perawatan intensif berjuang mati-matian untuk mengatasinya, dokter senior telah memperingatkan. 

Di bawah apa yang disebut protokol 'tiga orang bijak', tiga konsultan senior di setiap rumah sakit akan dipaksa untuk membuat keputusan mengenai penjatahan perawatan seperti ventilator dan tempat tidur, jika rumah sakit dipenuhi pasien. " Kriteria apa yang akan diandalkan oleh "tiga orang bijak"? Mengorbankan yang terlemah dan tertua? Dan apakah situasi ini tidak hanya membuka ruang untuk korupsi besar-besaran? Apakah prosedur seperti itu tidak mengindikasikan bahwa kita sedang bersiap untuk memberlakukan logika paling brutal tentang survival of the fittest? Jadi, sekali lagi, pilihan terakhir adalah: memilih logika brutal ini atau memilih semacam penciptaan kembali komunisme.

Wejangan Lanjutan :

Slavoj sizek: Mimpi Saya tentang Wuhan

Sudah banyak yang menulis tentang epidemi virus corona-apa yang bisa saya tambahkan sebagai seorang pengamat non-spesialis dengan akses data yang sangat terbatas? Tapi, kita mungkin harus mengajukan beberapa pertanyaan di sini: kapan data berakhir dan kapan ideologi dimulai?

Teka-teki pertama sangat  jelas: ada banyak epidemi yang jauh lebih buruk terjadi, tapi mengapa muncul obsesi seperti ini ketika ribuan orang meninggal setiap hari karena penyakit menular lainnya? Tidak perlu mengingat pandemi influenza yang terjadi pada 1918-1920, yang dikenal sebagai flu Spanyol dengan jumlah korban meninggal yang diperkirakan setidaknya 50 juta orang. Sekarang, influenza telah menginfeksi 15 juta orang Amerika: setidaknya 140.000 orang telah dirawat di rumah sakit dan lebih dari 8.200 orang tewas hanya pada musim ini.

Paranoia rasis jelas bermain di sini--ingat semua fantasi tentang wanita tua Cina yang dekil di Wuhan yang sedang menguliti ular hidup dan menyesap sup kelelawar. Waktu itu, sebuah kota besar di Tiongkok mungkin termasuk salah satu tempat paling aman di dunia.

Tetapi ada paradoks yang lebih dalam sedang berjalan: semakin banyak dunia terhubung, semakin banyak bencana lokal dapat memicu ketakutan global dan akhirnya berujung bencana. Pada Musim Semi 2010, awan letusan gunung berapi kecil di Islandia-sebuah gangguan kecil dalam mekanisme kompleks kehidupan di Bumi-menghentikan lalu lintas udara di sebagian besar Eropa-menjadi sebuah pengingat, bahwa dari semua aktivitas perubahan alam yang maha besar, manusia tetap hanya salah satu spesies yang hidup di planet Bumi.

Dampak sosial-ekonomi yang sangat dahsyat dari ledakan kecil tersebut adalah perkembangan teknologi kita (perjalanan udara): seabad yang lalu, letusan seperti itu akan berlalu tanpa terasa. Perkembangan teknologi membuat kita lebih mandiri dari alam dan pada saat yang sama, pada tingkat yang berbeda, lebih bergantung pada kehendak alam. Dan hal yang sama berlaku untuk penyebaran virus corona: jika itu terjadi sebelum reformasi Deng Hsiao Ping, kita mungkin tidak akan pernah mendengarnya.

Jadi bagaimana kita melawan virus jika virus itu berkembang biak sebagai bentuk kehidupan parasit yang aneh dan tak terlihat, sebuah entitas spektral yang tidak mati  (living dead) yang mekanisme dasarnya tetap tidak diketahui? Kurangnya pengetahuan inilah yang menyebabkan kepanikan: bagaimana jika virus akan bermutasi dengan cara yang tak terduga dan memicu bencana global yang sebenarnya?

Inilah paranoia pribadi saya: apakah alasan kepanikan yang diperlihatkan oleh pihak berwenang meskipun efek sebenarnya sampai sekarang relatif sederhana terletak pada kenyataan bahwa mereka tahu (atau, setidaknya, menduga) sesuatu tentang kemungkinan mutasi yang tidak ingin mereka beritahukan pada publik untuk menghindari kebingungan dan keresahan?

Satu hal yang pasti: isolasi, tembok baru, dan karantina lebih lanjut itu akan sia-sia. Dibutuhkan solidaritas penuh tanpa syarat dan respons global yang terkoordinasi, bentuk baru dari apa yang dulu disebut Komunisme. Jika kita tidak mengarahkan upaya kita ke arah ini, maka Wuhan hari ini mungkin adalah citra kota masa depan kita.

Banyak distopian telah membayangkan masa depan serupa: kita lebih banyak tinggal di rumah, bekerja di komputer, berkomunikasi melalui konferensi video, melakukan oleh raga kebugaran dengan menggunakan mesin di sudut kantor rumah, sesekali bermasturbasi di depan layar yang menampilkan seks hardcore, dan memesan makanan dengan jasa pengiriman.

Namun, ada prospek emansipatoris takterduga yang tersembunyi dalam visi yang seperti mimpi buruk ini. Saya harus mengakui bahwa selama beberapa hari terakhir saya bermimpi mengunjungi Wuhan. Apakah jalanan yang setengah-ditinggalkan di sebuah megalopolis--pusat kota yang biasanya ramai tapi terlihat seperti kota hantu, toko-toko dengan pintu terbuka dan tidak ada pelanggan, hanya pejalan kaki atau mobil di sana-sini, orang-orang dengan masker putih-sama sekali tidak mencerminkan citra dunia non-konsumeris yang nyaman dengan dirinya sendiri?

Keindahan melankolis dari jalan-jalan yang kosong di Shanghai atau Hong Kong mengingatkan saya pada beberapa film pasca-apokaliptik lama seperti On the Beach, yang menunjukkan sebuah kota dengan sebagian besar penduduknya dihancurkan-tidak ada penghancuran besar yang spektakuler, hanya dunia di luar sana yang tidak lagi siap sedia, menunggu kita, menatap pada kita dan hanya pada  kita. Bahkan masker putih yang dikenakan oleh beberapa orang yang berjalan di sekitarnya memberikan anonimitas yang ramah dan pembebasan dari tekanan sosial demi pengakuan.

Banyak dari kita yang ingat kesimpulan terkenal dari manifes situasionis mahasiswa dari tahun 1966: Vivre sans temps mort, jouir sans entraves -to live without dead time, to enjoy without obstacles. Jika Freud dan Lacan telah mengajarkan kita sesuatu, maka itu adalah bahwa formula ini-yaitu perkara tertinggi dari perintah superego karena, seperti yang ditunjukkan dengan tepat oleh Lacan, superego pada dasarnya merupakan perintah positif untuk dinikmati, bukan tindakan negatif untuk melarang sesuatu-merupakan resep untuk menghadapi bencana: keinginan untuk mengisi setiap momen waktu yang diberikan pada kita dengan keterlibatan yang intens berakhir dengan kebosanan mencekik yang tak terhindarkan.

Waktu tak produktif-yaitu saat terjadi penarikan diri, saat terjadi apa yang oleh mistikus lama disebut Gelassenheit, pelepasan-sangat penting untuk revitalisasi pengalaman hidup kita. Mungkin orang dapat berharap bahwa salah satu konsekuensi yang tidak diinginkan dari karantina virus corona di kota-kota Cina adalah bahwa beberapa orang setidaknya akan menggunakan waktu tak produktif mereka untuk terbebas dari aktivitas yang padat dan memikirkan ke(tidak)masuk-akalan kesulitan mereka.

Saya sepenuhnya sadar akan bahaya yang saya hadapi dalam mempublikasikan pemikiran saya ini-apakah saya terlihat tidak turut memikirkan cara baru menghubungkan para korban dengan beberapa wawasan otentik yang lebih dalam dari posisi eksternal saya yang aman dan dengan demikian secara sinis melegitimasi penderitaan mereka? Ketika seorang warga mengenakan masker di Wuhan berkeliling mencari obat-obatan atau makanan, pasti tidak ada pemikiran anti-konsumeris di benaknya, hanya panik, marah, dan takut. Harapan saya hanyalah bahwa peristiwa mengerikan dapat memiliki konsekuensi positif yang tidak terduga.

Carlo Ginzburg mengusulkan gagasan bahwa merasa malu dengan negara sendiri, bukan malah mencintainya, mungkin merupakan tanda sebenarnya dari rasa memiliki terhadap negara tersebut. Beberapa orang Israel mungkin akan mengumpulkan keberanian untuk merasa malu atas tindakan Netanyahu dan politik Trump yang dilakukan atas nama mereka-tentu saja, bukan dalam arti rasa malu menjadi Yahudi, tetapi sebaliknya, merasa malu atas apa yang politik Israel lakukan di West Bank pada warisan Yahudi yang paling berharga. Beberapa orang Inggris mungkin harus mengumpulkan keberanian untuk merasa malu dengan mimpi ideologis yang membawa mereka pada Brexit.

Tetapi bagi orang-orang Wuhan, ini bukan saatnya untuk merasa malu dan terstigmatisasi, tetapi ini waktu untuk mengumpulkan keberanian dan sabar bertahan dalam perjuangan mereka. Satu-satunya yang benar-benar malu di Tiongkok adalah mereka yang secara terbuka meremehkan epidemi sambil melindungi diri mereka sendiri, bertindak seperti para pejabat Soviet di sekitar Chernobyl yang secara terbuka menyatakan tidak ada bahaya saat mengevakuasi keluarga mereka sendiri, atau para manajer papan atas yang secara terbuka menyangkal pemanasan global tetapi sudah membeli rumah di Selandia Baru atau membangun bungker untuk bertahan hidup di Pegunungan Rocky.

Kemarahan publik terhadap perilaku ganda seperti itu (yang sudah memaksa pihak berwenang untuk menjanjikan transparansi) mungkin akan melahirkan perkembangan politik positif lain yang tidak diinginkan di Tiongkok.

Tetapi orang yang seharusnya benar-benar malu adalah kita semua di seluruh dunia yang berpikir tentang bagaimana cara mengkarantina orang Cina. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun