Mohon tunggu...
Novada Purwadi
Novada Purwadi Mohon Tunggu... -

Seorang borjuis kecil yang berusaha membantu kaum proletar

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Masyarakat Pascamodern dan Low Cost Campaign

5 Januari 2014   21:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:07 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaikan Niccolo Machiavelli yang memberikan "sang pangeran/sang penguasa/the prince/il principe" kepada Lorenzo di Piero de Medici, atau Ibnu Khaldun yang memberikan "Muqqadimah" kepada Abu al Abbas, saya mempersembahkan tulisan singkat ini kepada seorang calon legislatif di kota saya tinggal, yaitu kota Malang. Mungkin tulisan sangat singkat ini tidak bisa dibandingkan dengan il principe maupun Muqqadimah, karena selain singkat, kemampuan analisa politik maupun teknis politik saya sangatlah rendah dibandingkan Machiavelli maupun Ibnu Khaldun. Makadari itu, saya harapkan pembaca mampu memberikan kritik membangun kepada tulisan singkat ini.

Kepada Politisi-Politisi pascamodern di Indonesia,

Pascamodern, sebenarnya istilah ini mungkin tidak asing kita dengar. Beberapa hari ini, ada seorang tokoh Indonesia yaitu Ridwansyah Yusuf banyak membahas tentang masyarakat pascamodern, dilihat dari sudut pandang partisipasi dalam politik (dalam hal ini lebih mengkaitkan pada pemilu), maupun gerakan mahasiswa pascamodern (perbandingan mahasiswa "pascamodern" dengan mahasiswa aktivis).

Diskursus masyarakat pascamodern dalam hal ini, saya sempitkan dalam masyarakat umum yang berupa WNI, sudah mampu memilih calon legislatif atau eksekutif, dan dari pandangan politik manapun, politis maupun apolitis dan tinggal di kota.

Menurut saya, masyarakat pascamodern (walau memang terbagi dalam banyak jenis stratifikasi), dapat dibagi menjadi masyarakat kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. nah, masing-masing kelas tentunya memiliki karakteristik sendiri.

Lalu, masyarakat pascamodern diidentikkan dengan budaya politik yang sangat parokial di satu sisi, partisipan di satu sisi, sesuai dengan political awareness mereka, kekayaan mereka maupun latar belakang pendidikan mereka.

Gampangnya, orang dengan political awareness rendah, apapun latar belakang pendidikannya, mereka akan rentan untuk golput atau asal memilih dengan ngawur.

Namun, hipokritisme masyarakat pascamodern sangatlah tinggi, di satu sisi mereka memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan suka untuk mengolok pemerintah ketika kebijakan publik yang dibuat tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, namun di satu sisi mereka memiliki fear of freedom yang sangat tinggi, mereka lebih memilih untuk menyerahkan politik kepada orang-orang yang dianggap mampu atau mau saja, sederhananya, tukang gosip kebijakan, tp disuruh demo/bicara langsung ke pemerintah, atau masuk politik untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan tersebut secara terperincipun tidak mau.

Politik transaksional juga terjadi di dalam masyarakat kelas bawah, di satu sisi kaum proletar, petani maupun lumpen-proletar memiliki keinginan agar negara bisa maju, di satu sisi mereka juga menggunakan sikap "wani piro" kepada calon politisi yang akan maju di kancah perpolitikan. Akhirnya dalam negara kita tercinta ini tercipta plutarki, dengan semboyannya "vox populi vox argentum".

Pada masyarakat kelas atasnya, ada orang-orang yang terjebak dalam hedonisme di satu sisi, dan ada orang-orang yang mengaku sebagai pejuang ideologis di satu sisi dan fetishisme mereka akan ideologi yang dirasa keren, tanpa melihat sedikitpun sudut pandang dari orang yang "dibela" mereka, yaitu rakyat kecil, dirasa pandangan normatif, teoritis dan kompleks ala kaum borjuasi intelektual ini adalah pandangan kaum miskin, padahal sebenarnya kaum miskin pikirannya tidak serumit itu, hanya ingin mencari makan, bukan kompleks semacam sosiologi politik, negara agama, kebebasan pasar, chauvinisme maupun ekonomi makro kenegaraan. Ya dalam kalimat disebelah, saya rasa secara tersirat saya berusaha membangunkan kaum-kaum intelektual yang beronani dalam fetishisme ideologisnya ini untuk berinteraksi langsung dengan orang miskin, biar tahu sesimpel apa pikiran mereka, bukan seperti "sudut pandang kaum miskin" dalam buku-buku teori politik yang kompleks. Saya rasa, teori politik merupakan "cara" untuk mewujudkan apa yang diinginkan mereka, tetapi yang menjalankan adalah kaum intelegentsia, dan kita perlu untuk membangun kesadaran politik baik kaum atas maupun bawah, ditambah dengan kesadaran untuk bermanfaat bagi orang lain.

Saya rasa saya tidak akan membahas masyarakat pascamodern secara rinci dalam tulisan ini, dikarenakan memang ditujukan untuk para kader partai politik maupun politisi dan calon politisi, saya rasa, mengutip teori fictie, mereka sudah memahami setidaknya pembagian masyarakat pascamodern berdasarkan ciri-ciri sosial, pola sosial, maupun status dan peran yang dilakukan, singkatnya, sudah melek sosiologi dan memahami norma-norma yang ada di masyarakat dimana mereka bernaung.

Esai ini memang membahas secara teknis, bukan analisis situasi politik maupun sosiologis secara dalam.

Mari kita lanjut ke bagian berikutnya, yaitu mengapa esai ini dibuat.

Setelah berbincang dengan beberapa politisi, saya banyak menangkap bahwa sekarang para politisi berusaha untuk melakukan kampanye yang low cost, dikarenakan para politisi idealis yang saya temui berusaha untuk mengurangi sebanyak-banyaknya biaya yang mereka gunakan untuk kampanye.

Singkatnya, mereka percaya bahwa ketika biaya kampanye besar, kecenderungan untuk abuse of power lebih besar dibandingkan ketika biaya kampanye kecil. Logisnya memang begitu karena pasti ada keinginan untuk balik modal.

Tentu, kita perlu tahu bahwa mengurangi biaya kampanye tentunya sangat merugikan dikarenakan publisitas berkurang jauh, maupun elektabilitas juga akan berkurang jauh.

Tulisan ini diberikan untuk para politisi yang siap untuk kalah, tapi setidaknya ini dapat digunakan untuk menaikkan kesempatan anda memenangkan pemilu, bahkan bisa saja menang dengan menggunakan ide-ide dibawah ini.

1. Kultus kepribadian dalam berwiraswasta

Ini dapat digunakan bagi politisi yang memiliki usaha atau akan berencana untuk berusaha. Sebelumnya saya jelaskan dulu ide ini bentuknya seperti apa.

Ketika anda berusaha dalam bentuk barang dagangan, tentunya ada merk maupun gambar yang ditempel di barang dagangan tersebut sebagai pengenal barang dagangan itu adalah asli milik perusahaan anda.

Tentunya kita mengetahui bahwa dalam teori sosiologi ada sugesti, secara tidak sadar tentunya ketika ada pelanggan yang membeli barang dagangan tersebut dan sering melihat foto anda atau anda layani langsung dalam toko anda sendiri, tentunya akan mengenal anda atau secara tidak sadar sudah terekam wajah anda di dalam ingatan mereka. Selama mereka tidak punya calon lain yang lebih utama (semisal saudara, kawan seideologi maupun teman dekat), atau semisal mereka tidak kenal siapapun calon legislatif/eksekutif, maka mereka akan memilih anda karena ingat akan foto anda yang seringkali mereka lihat di dalam barang dagangan anda.

Bagaimana untuk restoran dan jasa?

Tentunya, untuk dua usaha ini, anda dapat memasang foto-foto anda di dalam kantor dimana interaksi pedagang dengan konsumen cukup erat, tentunya orang-orang mampu melihat dengan baik foto anda, dan anda bisa menaruh foto anda di dalam menu makanannya.

2. Program sosial TANPA biaya

Ini mungkin ide yang cukup mencenangkan, bagaimana bisa anda melakukan program sosial tanpa biaya sedikitpun? Anda pasti mengetahui di dalam kota yang anda tinggal, pasti ada mahasiswa aktivis maupun relawan organisasi-organisasi non mahasiswa, semacam komunitas-komunitas amal dan pendidikan.

Mungkin bisa dibilang sedikit Machiavellian, tetapi anda bisa memanfaatkan mereka dengan baik, cukup dengan mengorganisir mereka di daerah-daerah yang akan anda jadikan kantong suara, berikan mereka tempat atau target untuk dibantu oleh mereka, semacam anda menyediakan rumah anda untuk tempat les anak-anak daerah sekitar anda, atau anda mengadakan acara donor darah dan bantuan pendidikan bagi anak orang kurang mampu di calon daerah kantong suara, anda cukup memanfaatkan mereka untuk mencari sumbangan, untuk mengajar, anda cukup dengan datang ketika acaranya sudah jalan, atau anda yang mencarikan target-targetnya, tentunya akan muncul simpati kepada anda bahwa anda merupakan orang yang tepat untuk memimpin mereka karena kancah anda dalam kegiatan sosial tidak perlu diragukan lagi.

3. Seringlah menulis di rubrik opini di koran

Dahlan Iskan memanfaatkan pembaca jawa posnya untuk mengatur opini publik agar simpati dengan dirinya menggunakan rubrik opini khusus di korannya. Tentunya, anda mampu untuk melakukan itu dengan cara mengirimkan opini anda dalam kasus-kasus politik ataupun pemikiran politik anda di dalam koran-koran yang banyak dibaca oleh kaum intelektual di kota anda. Tentu anda harus tahu bahwa ada koran yang banyak dibaca di satu daerah namun sepi di daerah lain, dan sebaliknya.

Target anda dalam ide ini adalah kaum intelektual, namun ingat, satu suara profesor sama dengan satu suara tukang becak. Yang membedakan adalah anda akan banyak menemukan rekan baru dalam diskusi intelektual dengan para intelegentsia ini. Kadangkala, mereka juga mempunyai massa ataupun biaya untuk menunjang kampanye anda.

4. Cari kesempatan untuk diundang dalam seminar motivasi

Banyak orang umur 25-35 tahun, kebanyakan orang yang baru merintis usahanya, mengikuti seminar-seminar motivational training, ketika anda hadir dalam seminar-seminar tersebut, setidaknya anda diingat oleh mereka, dan ini menjadikan nilai plus bagi anda untuk menanamkan rasa simpati kepada anda, dan berusahalah mencari kenalan dalam acara tersebut, siapa tahu mereka akan mampu menunjang kampanye anda secara biaya maupun massa.

5. Manfaatkan saudara maupun kenalan

Ini sudah tentu digunakan oleh setiap calon, namun anda harus lebih dikarenakan calon yang menggunakan uang banyak tentunya elektabilitasnya banyak, usahakan saudara-saudara anda menjadi massa batu bagi anda, utamakan daerah-daerah sekitar anda berada.

6. Manfaatkan tokoh agama

Kebanyakan tokoh agama, terutama dari beberapa aliran dari agama yang cukup fanatik, memiliki massa besar, semisal para kyai di pesantren maupun kyai-kyai majelis sholawat (mohon maaf saya menggunakan contoh dalam Islam), mereka mempunyai massa fanatik yang menuruti apa kata kyainya, ketika anda akrab dengan para tokoh agama tersebut, anda akan mendapatkan massa yang cukup besar, tanpa memerlukan biaya yang besar.

7. Datanglah ke penjara

Narapidana tentunya memiliki suara yang cukup besar, dan setidaknya di dalam sebuah lapas ada ratusan narapidana yang dipenjara, mereka adalah orang-orang yang kurang diperhatikan oleh mayoritas politisi di Indonesia, ketika anda datang ke mereka, berusaha untuk berinteraksi dengan mereka, saya rasa mereka akan lebih mengingat anda dibandingkan politisi lain yang tidak datang.

8. Komunitas olahraga dan musik

Politisi jarang memperhatikan komunitas-komunitas seperti ini (selain suporter sepak bola tentunya), anda dapat mendatangi mereka dan mendengar keluh kesah mereka, lalu mencoba untuk mencari simpati mereka, saya rasa massa anda dapat bertambah dari ini.

Begitulah esai singkat yang saya buat, mungkin ini dapat dibilang esai singkatnya, secara komprehensif saya akan buat yang lebih banyak, rinci, dan lebih intuitif idenya lagi.

Terima kasih telah membaca.

N. M. Purwadi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun