Beberapa ratus meter arah barat warung Soto Kadipiro. Teater of  Drim versi Kalibayem ini sejatinya sebuah tanah lapang kecil, sedikit lebih luas dari lapangan futsal, di dalam kompleks SLB. Di sore hari, sekolah sepi. Penjaga sekolah juga tak ada. Maka, jadilah tanah lapang itu tempat rekreasi anak-anak kos Biadab Lare Alit.Â
Nyaris setiap hari mereka bermain bola. Sepanjang tahun. Di musim kemarau yang berdebu. Di musim hujan yang becek. Mereka bergembira. Berfoya-foya dengan bola.
Juga, sore itu. Musim kemarau yang terik. Debu beterbangan, mengapung di udara, disapu kaki para remaja yang sedang heboh bermain bola. Pada suatu detik, tanpa disadari siapa pun, seseorang datang dan duduk di selasar antar gedung di pinggir teater of Drim. Lelaki paruh baya, tampan, berbadan tegap, dan berambut putih itu mengamati para remaja yang sedang bermain bola.
Mungkin, hatinya turut melonjak girang melihat bola ditendang ke "gawang". Mungkin sedih. Atau dendam. Karena di masa kecilnya, kakek lelaki paruh baya itu melarang dia turut bermain bola. Di alun-alun Magetan. Dua ratus meter dari rumahnya. Di jalan Kemasan.
Sampai, seorang teman memanggil Rapunga. Rapunga menoleh. Bola berseliweran di samping Rapunga. Dikejar teman-temannya. Teman itu menunjuk dengan gerakan kepala kearah lelaki paruh baya.
"Mas Iman," gumam Rapunga. Dia pun menepi. Mendekati lelaki paruh baya itu. Lelaki itu duduk dengan latar belakang Yamaha 75 merah kesayangannya. Belum sempat duduk, lelaki itu sudah mencegah Rapunga.
"Terusno. Aku tak nang kene," kata lelaki paruh baya itu.
Rapunga sedikit ragu. Antara duduk menemani Mas Iman atau kembali bermain bola. Rupanya, lelaki paruh baya itu sedikit memaksa. Rapunga pun segera  segera paham, mungkin Mas Iman memang ingin menikmati menonton anak-anak bermain sepakbola. Mengenang masa kecilnya. Mungkin, dengan luka yang menganga di dada. Rapunga pun kembali masuk ke lapangan. Berlarian. Bertabrakan. Menendang bola. Berpeluh. Gembira.
Hingga menjelang maghrib, permainan selesai. Mereka kembali ke kos. Berduyun-duyun. Menyeberang jalan. Lantas istirahat minum es teh di kedai Mas Johan. Dengan mengutang. Tapi, Rapunga lanjut jalan. Ke belakang SMP 1 Kasihan. Bersama Mas Iman.
Sampai di kamar kos, Rapunga menggulingkan galon isi ulang, menjerang air dengan teko plastik listrik, menyeduh kopi, dan menghidangkan kepada Mas Iman. Dengan tjangkir seng yang dia beli dari toko Remujung. Rapunga tahu belaka selera kopi Mas Iman.Â
Lalu, dia pergi ke mata air, 20 meter di depan kamarnya. Mandi. Kali ini, tidak bersama teman-teman kos-nya. Yang masih menikmati es tah utang-utangan di Mas Johan. Penyair IBS menunggu di kamar. Sembari mungkin melihat judul-judul buku. Di rak kayu.Â