Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Obituari: Penyair Iman Budhi Santosa

11 Desember 2020   20:55 Diperbarui: 11 Desember 2020   21:14 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti tak sabar, untuk segera bertemu dengan kekasih hati. Rasanya, dia ingin mengayuh sepedanya tanpa berhenti. Tanpa terhalang lampu merah Wirobrajan, perempatan Ngampilan dan kemacetan sepanjang jalan Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Tapi, betapa ngungunnya Rapunga. Dalam kondisi baju yang sedikit basah, nafas yang terengah-engah, dan sakit kepala sebelah yang mulai menyerang, dia menemukan Purna Budaya yang baru jadi itu sepi. Hanya satu dua orang yang duduk-duduk di teritisan gedung yang didesain mirip bangunan zaman Romawi. 

Nampaknya, mereka para gelandangan, yang tak akan paham ketika ditanya tenntang acara. Rapunga pun duduk di situ. Di lantai yang kotor. Dan dingin. Gerimis semakin menjadi-jadi. Akhirnya, hujan turun. Dengan lebat. Rapunga beringsut, merapat ke dinding.

Tak lama, hujan reda. Tapi, Rapunga memilih bertahan di situ. Menahan sakit kepala sebelah kanan akibat selalu terlambat makan. Hingga lewat tengah malam. Ketika jalan Sriwedani di depannya mulai ramai dengan para pedagang sayur. Dan kendaraan pengangkut sayur lalu-lalang. 

Dia baru beranjak pulang. Tapi, sebenarnya dia tak pernah merasa pulang. Karen tempat paling nyaman bukan di rumah kontrakannya. Tapi, entah dimana, dia belum menemukan.

Keesokan harinya, Rapunga menulis sepucuk surat kecil dan dikirimkan melalui pos kepada Penyair Iman Budhi Santoso, di sanggarnya di Bintaran. Dan kira-kira satu minggu kemudian, dia mendapatkan surat balasan.

 Rapunga gemetar menerima surat itu. Surat dari Seorang Penyair. Rasanya melebihi mendapatkan surat dari seorang pacar, yang memang tak juga dia dapatkan. Biasanya, Seorang Penyair hanya dia tahu dari buku-buku. Kini, ada salah satu Penyair Jogja yang mengirimkan surat pribadi kepadanya. Rasanya, dia ingin meledak.

Surat itu diketik dengan rapi. Lurus margin kanan kiri seperti diatur dengan penggaris. Rapunga teringat, di desa, dia sering menggunakan mesin ketik Brother yang dibawa pulang Ayahnya dari sekolahnya. Dibacanya surat itu. 

Dengan jantung yang mendesak ingin melompat keluar. Surat itu ada dua lembar. Satu berisi surat. Sementara yang lain berisi denah dan jalan yang bisa dilalui untuk mencapai sanggar Sang Penyair yang dibuat dengan penggaris. Dan di bagian akhir, ada catatan bahwa penyair menunggu kehadiran Rapunga. Lantas, tandatangan: IBS.

Bagian 2. Kopi Blended Paramex 

Seperti biasanya, menjelang pukul 4 sore, hampir semua penghuni kos-kosan Biadab Lare Alit yang berjumlah 40 kamar itu berbondong-bondong menuju stadion Teater of  Drim yang terletak di dalam kompleks Sekolah Luar Biasa, Kalibayem. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun