Dunia Semata Wayang Penyair Iman
Bagian 1. Surat Kecil
Sore itu, seperti hari-hari lainnya, Rapunga Atua sedang mengalami Kuldesak (gabut-red). Anak muda itu pun, seperti biasanya, berusaha menghibur diri dengan jalan-jalan ke pasar buku shopping center. Musim hujan sudah tiba. Langit Jogja sedikit mendhung. Udara menjadi lembab.Â
Rapunga bergegas mengayuh sepeda gazelle palsunya dari Kadipiro gang lima ke arah timur. Menuju benteng tua Vredeberg di pusat kota. Jalanan Jogja ramai. Motor berlalu-lalang. Mobil-mobil membunyikan klakson. Bus kota berlari ugal-ugalan meninggalkan jejak asap yang membuat hidung tersengat.
Rapunga pun keliling shopping center. Masih dengan mengenakan topi bucket hat yang dibeli di Malioboro. Menyembuyikan rambut keritingnya yang mulai panjang. Pindah dari satu kios ke kios lain.Â
Sekedar melihat-lihat judul buku yang berlimpah, tanpa niat untuk membeli satu buku pun. Hingga pada sebuah kios buku semi permanen yang menghadap ke utara, dia menemukan satu buku yang bersampul hijau tosca, dengan judul: Profesi Wong Cilik. Dia menimang-nimang buku itu. Tergoda untuk membelinya.Â
Tapi, apa boleh buat, uang tak ada. Bukan judul itu yang menarik hatinya, tapi penulisnya. Nama penulisnya: Iman Budhi Santosa. Lahir: Magetan. Hati anak muda dari desa itu melonjak girang demi membaca si penulis lahir di Magetan. Berarti, dia memiliki teman di Jogja ini. Sama-sama dari Magetan.
Diam-diam, dia pun menghapalkan alamat si penulis yang dicantumkan di halaman terakhir buku. Kemudian, dia mengembalikan buku hijau tosca itu. Dia selipkan pada tumpukan buku di tempat tersembunyi.Â
Agar tak mudah ditemukan orang. Karena dia berjanji dalam hati, minggu depan, ketika kiriman uang dari desa sudah datang, buku hijau tosca itu akan dia pinang.
Sembari pulang, di tempat parkir, pada sebuah pohon disematkan poster acara pembacaan puisi dan diskusi budaya. Tempatnya di gedung Purna Budaya. Narasumbernya: Iman Budhi Santosa. "Pasti bukan kebetulan," gumam Rapunga. Dia pun mencatat jadwal kegiatan itu di buku tulis yang selalu dia bawa. Lantas, kembali lanjut bersepeda. Entah kemana.
Di malam yang dijadwalkan. Gerimis tipis turun mengusap Kota Jogja. Rapunga buru-buru mengayuh sepedanya menuju gedung Purna Budaya, di sebelah shopping center. Sudah berhari-hari dia memendam kegembiraan untuk segera bertemu dengan penyair Iman Budhi Santosa. Sepanjang jalan, dadanya berdegup kencang.Â