Penulis sempat penasaran kenapa peer to peer lending ini sangat mudah dan cepat prosesnya. Dan penulis juga sempat bertanya kepada Bapak Moh. Eka Gonda Sukamana, Plt. Direktur Pengawasan Usaha Pembiayaan Berbasis Teknologi OJK dalam kegiatan guest lecture yang diadakan Universitas Negeri Jakarta pada tanggal 29 November 2023 lalu.
Menurut keterangan beliau, peer to peer lending memang sengaja dibuat longgar oleh pemerintah untuk membantu mempercepat proses pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19. Harapannya, dengan kemudahan mengakses pendanaan, para pelaku usaha micro, kecil, dan menengah bisa lebih cepat kembali menyehatkan usaha mereka.
Jadi ya memang secara regulasi dan penyaringan kelayakan untuk mendapatkan pinjaman itu sengaja dipermudah oleh pemerintah ya. Karena seperti judul sub bab ini, Indonesia harus segera pulih.
# Salah paham pengguna atau pengguna yang tidak paham?
Uniknya, kemudahan yang diberikan oleh pemerintah untuk segera memulihkan ekonomi Indonesia ini, ternyata disalahartikan (atau kalau boleh penulis mengatakan disalahgunakan) oleh beberapa kalangan masyarakat. Fasilitas pinjaman yang dimudahkan sebenarnya untuk mendorong penyehatan ekonomi justru digunakan untuk hal-hal yang kurang, atau bahkan tidak produktif. Bahkan ada yang hasil pinjolnya malah dipakai untuk game online atau judi online. Kan tolol ya...
Nah, dari sini penulis tergerak untuk mencari tahu kenapa banyak masyarakat Indonesia yang konyol dalam memanfaatkan peer to peer lending. Dan ternyata, tingkat literasi keuangan masyarakat kita masih tergolong rendah, yaitu hanya 49,68 persen.Â
Data ini penulis kutip dari hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) Tahun 2022 yang dilaksanakan oleh OJK. Dan yang lebih uniknya lagi, indeks inklusi keuangan kita justru jauh lebih besar dari indeks literasi keuangan, yaitu mencapai 85,10 persen.
Jika dilihat sekilas, mungkin indeks inklusi keuangan yang tinggi merupakan hal yang bagus. Karena masyarakat telah mengenal dan bisa memanfaatkan fasilitas keuangan yang ada. Namun jika melihat data literasi keuangan yang hanya 49,68 persen, berarti ada sekitar 35,42 persen masyarakat yang memanfaatkan fasilitas keuangan namun tidak paham dengan potensi dan risiko dari fasilitas keuangan yang digunakannya.Â
Dampaknya, ada masyarakat yang menggunakan pinjol ilegal, ada yang menggunakan peer to peer lending untuk hal-hal tidak bermanfaat, dan lain-lain. Dan yang lebih parahnya lagi, beberapa perusahaan peer to peer lending cenderung kurang transparan dalam hal besaran bunga dan biaya-biaya yang menurut informasi dari petinggi OJK nilainya maksimal dapat mencapai 100 % dari jumlah pinjaman (khusus di peer to peer lending resmi). Â Â
Kemudahan yang Menjebak?
Kalau dikaiÂt-kaitkan antara kemudahan yang ada dan tingkat literasi yang rendah, apakah peer to peer lending merupakan sebuah kemudahan yang menjebak? Hemat penulis, jawabannya tidak.
# Kamu Yang Nggak Bisa Mengendalikan Diri
Menurut data yang penulis kutip dari Antaranews, per juli 2023, setidaknya total utang pinjol masyarakat Jakarta mencapai Rp. 11,36 triliun. Itu hanya di Jakarta saja, di Jawa Barat nilainya jauh lebih tinggi, yaitu mencapai Rp. 15,24 triliun.
Yang unik, uang sebesar itu sebagian besarnya dimanfaatkan untuk hal-hal konsumtif dan kebutuhan mendesak.