Dari sisi balance of power, AS sudah merilis penjualan pesawat siluman (stealth fighter) F-35 kepada beberapa negara di kawasan Asia Pasifik (Singapore, Australia, Jepang dan Korea Selatan). Bila kita tetap mengandalkan Su-27/30 dan F-16 yang ada, maka pertahanan udara kita bisa ter-down grade menghadapi teman-teman AS yang dilengkapi dengan pesawat siluman F-35A maupun F-35B.
Kesimpulan
Pengadaan alutsista pesawat tempur pengganti F-5E baik untuk kepentingan pertahanan udara maupun untuk kepentingan serbu memerlukan proses panjang didasari pertimbangan operasi, tehnis dan non tehnis.
Kriteria esensial dari TNI AU sebagai pengguna yaitu pesawat berkemampuan multirole combat aircraft atau air superiority. Pertimbangan kedua dari sisi commonality atau penyederhanaan, yang dimaksud, pesawat baru sebaiknya tidak terlalu jauh dalam transfer teknologi dikaitkan dengan keberadaan pesawat tempur yang sudah dimiliki.
Rencana Indonesia membeli 11 Su-35 ini sudah berlangsung sejak 2016, tetapi kontrak belum juga dapat terealisasi. Rusia tak menampik salah satu hambatan pembelian Sukhoi ini adalah bayang-bayang sanksi Amerika Serikat.
Meski begitu, Menhan Prabowo pernah menegaskan Indonesia adalah negara berdaulat sehingga keputusan apa pun tidak bisa diintervensi apalagi diancam negara lain. Oleh karena itu menurut penulis, minatnya terhadap Eurofighter Thypoon dinilai kurang pas, baik merubah kebutuhan TNI AU maupun tidak sesuai dengan kondisi negara pada saat ini.
Saran dan Penutup
Dari kondisi terakhir kekuatan udara harus punya aspek deterrent, dari sisi pertimbangan balance of power (perimbangan kekuatan) serta perkembangan kondisi geopolitik dan geostrategi kawasan Asia Pasifik, khususnya Asia Tenggara dan Laut China Selatan, Indonesia, nampaknya pada masa mendatang apabila keadaan sudah memungkinkan, hanya ada dua opsi dalam memilih pengganti F-5E Tiger II, tetap membeli Su-35BM atau memilih F-35 (harus dimulai dari awal penilaian di Mabes TNI AU).
Sebaiknya Menhan dan Menlu RI lebih waspada dan bijak memberikan pernyataan dalam menyikapi perkembangan memanasnya sikon Laut China Selatan. Walau di satu sisi peran China (RRT) di Indonesia cukup besar terkait masalah ekonomi, keinginan dan keseriusan Amerika menjadikan Indonesia sebagai mitra di kawasan Indo Pasifik sebaiknya diberikan apresiasi, ditanggapi, jangan diabaikan.
Kebutuhan analisis umum bagi kepentingan diplomasi, politik dan pertahanan, serta khususnya bagi Presiden Jokowi sebagai end user agar supaya berada di koridor aman dan terlindungi apabila di suplai current issue, data serta prediksi intelijen strategis dimana institusi serta pejabat yang mumpuni berada di Bais TNI.
Sebagai penutup, kasus kegagalan politik Najib ex mantan PM Malaysia dapat dipergunakan sebagai studi kasus intelstrat, menjadi korban conditioning akibat naif serta fanatismenya ke negeri tirai bambu.
Setelah jatuh kini Najib menjadi pesakitan, didakwa tujuh kasus, terancam hukuman 7- 9 tahun penjara. Demikian sumbang pikir penulis dari persepsi intelijen, semoga bermanfaat. Pray Old Soldier.
Oleh: Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat IntelijenÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H