Bagaimana sebaiknya bagi Indonesia membaca? Perseteruan AS dengan China jelas harus dibaca ada yang berbeda pertama dari instrumen yang dipergunakan keduanya. China lebih mengutamakan psychological culture dan pengaruh ekonomi.
Sementara AS menerapkan security aproach, memainkan instrumen military, intelligence, diplomatic, legal, informational, finance and economy. Ketujuh instrumen AS tersebut dapat dipergunakan apabila mereka butuhkan dan menyangkut kepentingan serta keamanan nasionalnya.
Satu instrumen saja dapat menjatuhkan pemimpin sebuah negara, terlebih apabila beberapa instrumen dipakai menyerang kerawanan sebuah negara. Misalnya masalah minyak dan kurs bisa memporak porandakan perekonomian sebuah negara.
Instrumen militer kini dilakukan berupa pengerahan kekuatan tempur maritim ke LCS dengan dukungan kapal induk Inggris dan kapal perang Perancis, tujuannya satu yaitu Laut China Selatan tidak boleh dikuasai China, harus tetap sebagai jalur bebas.Â
Kedua negara faham daalam perimbangan kekuatan maritim, China belum menjadi lawan sepadan kekuatan global power Amerika yang memiliki tujuh wilayah pertahanan, China belum memiliki satupun wilhan. Memang dari retorikanya ingin disamakan sebagai global power.
Menurut salah satu tema, komunitas intelijen sebagai peneliti maritim menegaskan, disebut sebagai regional power-pun China juga belum teruji dan belum memadai.
Nan, dalam menyikapi konflik dua negara raksasa itu, secara khusus tugas negara kita adalah melindungi segenap bangsa, oleh karena itu negara kita harus mempunyai kemampuran dalam melindung. Ini berarti negara harus memiliki deterrent power untuk mengimbangi kekuatan lainnya di kawasan.
Dalam hal ini maka Kementerian Pertahanan (Kemhan) jadi primadona di negeri ini, selain itu juga Menhan bersama Menlu mempunyai tugas 'tandem' di bidang prtahanan, diplomasi dan politik LN Indonesia.
Karena itu sikon LCS sebaiknya dibaca terutama dari sisi intelijen strategis, ada hal-hal tersirat yang mereka inginkan. Intinya lebih fokus memprediksi munculnya bahaya dan ancaman, tidak lantas membicarakan polugri kawasan jauh seperti Palestina misalnya.
Surat Menhan ke Menhan Austria yang menyatakan minat kepada Eurofighter Thypoon bekas, penulis nilai janggal, disaat presiden Jokowi sedang kesulitan mengatur anggaran untuk menangani Corona.
Apakah juga tidak terbaca, setelah Menhan Prabowo kembali dari Rusia, mendadak AS merilis persetujuan pembelian delapan pesawat tilt rotor Osprey? Sementara kita membutuhkan pesawat tempur. Hal-hal seperti ini sebaiknya diwaspadai dan dibaca sebagai signal dari Amerika, apa yang tersirat bukan hanya yang tersurat.