Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dua Milenium Ajaran Buddha: dari Sakyamuni ke Nalanda

6 Februari 2017   23:35 Diperbarui: 7 Februari 2017   22:27 1205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Meskipun tidak pernah memiliki pergerakan misionaris secara khusus, ajaran Buddha telah menyebar ke mana-mana. Dimulai di India, ajaran Buddha pertama-tama menyebar ke Asia Tenggara, kemudian ke Asia Tengah dan Asia Timur, termasuk Cina dan terakhir masuk ke Tibet. Biasanya perkembangan ajaran Buddha terjadi secara organikmelalui pertukaran buah pikir antara penduduk lokal yang merasa tertarik dengan filosofi hidup para pedagang-pedagang asing yang menganut Buddhadharma.

Terkadang, penguasa daerah tertentu juga menerapkan peraturan-peraturan yang diadopsi dari ajaran Buddha demi menegakkan disiplin etika di masyarakatnya. Namun orang-orang tidak pernah dipaksa untuk memeluk agama Buddha. Ketika bertemu dengan sebuah kebudayaan baru, ajaran Buddha biasanya akan menyesuaikan diri sedemikian rupa dan beradaptasi dengan kearifan lokal, namun tetap menjaga dua pilar utama ajarannya, yaitu welas asih dan kebijaksanaan.

Secara garis besar, ada dua pembagian besar di dalam filosofis Buddhisme, yaitu Kendaraan Sederhana dan Kendaraan Besar. Kendaraan Sederhana menitikberatkan pada pencapaian pembebasan pribadi, sedangkan Kendaraan Besar menitikberatkan pada pencapaian Kebuddhaan yang lengkap dan sempurna demi menolong semua makhluk. Yang perlu ditekankan di sini adalah perbedaan ini terjadi di dalam perkembangan filosofis cara pandang sedangkan ajaran di dalamnya pada dasarnya tidak memiliki pertentangan sama sekali.

Baik Kendaraan Sederhana maupun Kendaraan Besar juga memiliki banyak sekali pembagian. Totalnya ada delapan belas cabang sekolah (sekte) di dalam Buddhisme yang mana saat ini, hanya ada tiga silsilah yang masih tersisa, yaitu:

  • Theravada sebagai satu-satunya cabang sekolah dari Kendaraan Sederhana yang tersisa. Sekolah ini masuk dari India ke Asia Tenggara sejak abad ke-3 SM, khususnya ke Srilanka dan Burma. Kemudian, juga menyebar ke negara-negara lain di wilayah tersebut seperti Thailand, Laos, Kamboja dan Vietnam;
  • Dharmagupta, awalnya adalah sebuah cabang sekolah dari Kendaraan Sederhana yang dari India masuk ke Pakistan, Afghanistan, Iran dan Asia Tengah serta kemudian masuk ke Cina di abad ke-2 Masehi. Sekolah ini kemudian berevolusi dan bergabung dengan aspek filosofis Kendaraan Besar yang juga masuk melalui jalur yang sama dari India. Hingga saat ini, tradisi ini dikenal sebagai Tradisi Buddhisme Cina dan memiliki fondasi filosofis Kendaraan Besar yang sangat dominan;
  • Mulasarvastivada, yang awalnya juga berasal dari cabang sekolah Kendaraan Sederhana namun juga berevolusi sedemikian rupa sehingga dikenal sebagai sebuah tradisi Kendaraan Besar khas Tibet saat ini. Silsilah ini dikatakan mewarisi bentuk yang paling utuh/komplit dari tradisi Buddhisme di India.

Sebagai tambahan, di sekitar abad ke-2 Masehi, sebuah bentuk sekolah Kendaraan Besar dari India juga masuk ke Vietnam, Kamboja, Malaysia, Sumatera dan Jawa melalui jalur perdagangan laut dari India ke Cina Selatan.

Mari kita telusuri sejarah perkembangan ajaran Buddha di India selama periode 2000 tahun semenjak Buddha lahir yaitu abad ke-6 SM hingga ke abad ke-13 Masehi.

Buddha Sakyamuni

Pangeran Siddharta yang kemudian menjadi Buddha Sakyamuni hidup di bagian tengah dari India Utara sekitar abad ke-6 SM. Setelah mencapai Kebuddhaan di usianya yang ke-35 tahun, beliau mulai mengembara dan mengajar. Sebuah komunitas pencari spiritual yang hidup selibat pun mulai terbentuk mengelilingi beliau. Seiring berkembangnya kebutuhan, maka beliau pun membuat peraturan-peraturan disiplin untuk komunitas ini.

Sekitar dua puluh tahun semenjak beliau mencapai Kebuddhaan, Buddha juga memulai sebuah tradisi tahunan di mana komunitas para biksu diwajibkan untuk menetap di sebuah tempat selama tiga bulan musim hujan untuk menyunyikan diri. Pendirian biara-biara Buddhis adalah berkembang dari tradisi ini.

Sidang Sangha Pertama

Di masa hidupnya, Buddha mengajar dalam dialek Prakrit dari Magadha. Akan tetapi, tidak ada catatan tertulis yang ditinggalkan dari zaman tersebut. Ajaran-ajaran Buddha baru mulai ditulis sejak abad ke-1 Masehi, atau sekitar 500 tahun setelah beliau parinirvana.

Tradisi mengulang kembali ajaran Buddha dari ingatan sudah dimulai beberapa bulan setelah Buddha parinivirvana, yaitu persisnya saat Sidang Sangha Pertama di Rajagrha, yang dihadiri oleh 500 arahat.

Menurut catatan dari Vaibhashika, salah satu dari 18 sub sekte ajaran Buddha yang sempat berkembang di masa itu, tiga arahat mengulang kembali semua ajaran Buddha, yaitu Ananda mengulang Sutra, Upali mengulang Vinaya dan Mahakashyapa mengulang abhidharma. Ketiga ajaran inilah yang kemudian disebut sebagai Kumpulan yang Menyerupai Tiga Keranjang, atau Tripitaka. Menurut Vaibhashika, tidak semua ajaran abhidharma dari Buddha dilafalkan di sidang ini. Ada beberapa yang dilafalkan di luar sidang ini dan ditambahkan kemudian.

Akan tetapi, menurut Sautrantika, salah satu dari 18 sub sekte ajaran Buddha juga, ajaran abhidharma ini bahkan sama sekali bukanlah ajaran langsung dari Buddha. Ketujuh teks abhidharma yang terdapat di dalam Abhidharma Pitaka ini adalah ditulis secara terpisah oleh tujuh orang arahat.

Sidang Sangha Kedua

Sidang Sangha Kedua diadakan oleh 700 orang biksu di Vaishali. Ada yang mencatat bahwa sidang ini terjadi pada 386 SM, namun ada juga yang mencatat 376 SM. Tujuan utama sidang ini adalah untuk membahas sepuluh topik yang menjadi perdebatan di kalangan biksu saat itu, khususnya terkait vinaya.

Berdasarkan catatan dari pihak Theravada, perpecahan pertama di tubuh komunitas monastik ini adalah terjadi di sidang ini. Sekelompok biksu yang tidak setuju terhadap hasil keputusan sidang, meninggalkan sidang dan disebut sebagai Mahasangika (yang artinya kelompok mayoritas). Sedangkan sisanya, kemudian dikenal sebagai Theravada (yang artinya pengikut ajaran tetua).

Akan tetapi berdasarkan catatan lain, perpecahan di tubuh Sangha barulah terjadi di 349 SM dan permasalahannya bukanlah disebabkan oleh vinaya, akan tetapi lebih karena perbedaan pandangan filosofis. Perbedaan pendapat tersebut adalah terkait kemampuan seorang arahat, apakah terbatas atau tidak. Kelompok Theravada berpendapat bahwa arahat sudahlah suci dan bebas dari semua klesha (kekotoran batin), namun kelompok Mahasangika berpendapat bahwa arahat masih memiliki sisa-sisa klesha yang sangat halus dan ini yang membedakan antara seorang arahat dengan seorang Samyak Sambuddha yang sudah benar-benar sempurna.

Selanjutnya, kelompok Theravada bergerak ke sisi barat dari India Utara sedangkan kelompok Mahasangika bergerak ke sisi timur dari India Utara dan kemudian juga menyebar hingga ke sisi timur dari India Selatan, yang bernama Andhra. Paham Mahayana, dipercaya adalah berkembang dimulai dari daerah Andhra ini. Para cendekiawan cenderung berpendapat bahwa Mahasangika adalah cikal bakal dari paham Mahayana.

Sidang Sangha Ketiga

Di tahun 322 SM, Dinasti Maurya berdiri di bagian tengah dari India Utara, atau dulunya dikenal dengan nama Magadha, kampung halamannya Buddhisme. Dinasti ini berkembang pesat dan mencapai puncaknya di bawah pemerintahan Raja Ashoka (268-232 SM).

Semasa pemerintahan Raja Ashoka, tepatnya di tahun 237 SM, sebuah kelompok dengan nama Sarvastivada juga memecahkan diri dari Theravada, disebabkan oleh beberapa perbedaan pandangan filosofis.

Menurut catatan Theravada, Sidang Sangha Ketiga diadakan pada 257 SM dengan dukungan dari Dinasti Maurya. Sidang ini dikatakan bertujuan untuk mengkaji ajaran-ajaran Buddha dan memurnikan pandangan-pandangan yang dianggap keliru oleh para kelompok Theravada yang orthodox. Moggaliputta Tissa, selaku ketua sidang, kemudian menulis sebuah buku dengan judul Dasar-Dasar Perselisihan (Pali: Kathavatthu) dan menjadi teks kelima dari ketujuh teks Abhidharma Pitaka-nya Theravada. Dan setahun setelah sidang ini selesai, Raja Ashoka mengirimkan misi-misi penyebaran Buddhisme Theravada ke berbagai wilayah, termasuk sampai ke Pakistan, Afghanistan, Gujarat, Sri Lanka dan Burma.

Di tahun 190 SM, Dharmagupta juga memisahkan diri dari Theravada, juga disebabkan oleh perbedaan pandangan filosofis. Yang menarik adalah, meskipun Sarvastivada dan Dharmagupta juga memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa hal dengan Mahasangika, namun ketiga-tiganya sepemahaman bahwa tingkatan Buddha adalah lebih tinggi daripada seorang arahat. Meskipun Dharmagupta juga sepemahaman dengan Theravada bahwa arahat sudah tidak memiliki klesha, sedangkan Sarvastivada sepemahaman dengan Mahasangika bahwa arahat masih memiliki klesha-klesha halus. Selain itu, Dharmagupta juga menambahkan sebuah “keranjang” keempat yang disebut sebagai Dharani yang berisi nyanyian-nyanyian bakti yang dipercaya dapat membantu praktisi untuk lebih memahami Dharma, mengumpulkan kebajikan dan mengeliminir halangan-halangan.

Sekolah Dharmagupta kemudian menyebar ke Pakistan, Afghanistan, Iran, Asia Tengah dan kemudian menjadi sangat kuat di Cina. Biksu-biksuni Cina hingga sekarang adalah memegang vinaya dari silsilah Dharmagupta ini. Dan silsilah Dharmagupta saat ini pun telah menyebar hingga ke Korea, Jepang dan Vietnam.

Sidang Sangha Keempat

Sekolah Theravada dan Sarvastivada kemudian masing-masing menyelenggarakan Sidang Sangha Keempat.

Kelompok Theravada mengadakan Sidang Sangha Keempatnya di Sri Lanka pada tahun 83 SM. Ini adalah pertama kalinya, ajaran Buddha dicatat ke dalam bentuk tulisan dan bahasa yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Pali. Ini adalah Tipitaka Pali sebagaimana kita kenal saat ini, atau disebut juga sebagai The Pali Canon.

Di dalam kelompok Sarvastivada juga muncul banyak perbedaan pendapat terkait pandangan filosofis abhidharma, sehingga cikal bakal kelompok Vaibhashika pun pertama kali memisahkan diri. Kemudian sekitar tahun 50 SM, kelompok Sautrantika juga berkembang.

Sidang Sangha Keempat yang diadakan oleh Sarvastivada terjadi di sekitar abad ke-1 atau abad ke-2 Masehi. Sidang ini menolak abhidharma yang diajukan oleh Sautrantika dan akhirnya menulis sendiri abhidharma mereka di dalam sebuah teks yang diberi nama Komentar Besar (Sanskrit: Mahavibhasha). Di sidang ini pula dilakukan penerjemahan teks Tripitaka dari bahasa Prakrit ke Sanskrit. Ini adalah cikal bakal Tripitika Sanskrit sebagaimana kita kenal saat ini.

Sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi, sekolah Mulasarvastivada juga memisahkan diri dari Vaibhashika. Pada abad ke-8, orang-orang Tibet kemudian mengadopsi silsilah vinaya Mulasarvastivada ini.

Mahasangika

Sementara itu, Mahasangika yang berkembang di bagian timur dari India Selatan, juga berkembang lebih jauh lagi menjadi lima kelompok sekolah. Semuanya menganut paham bahwa Buddha adalah superior (di atas arahat) dan masing-masing mengembangkan filosofi ini dengan pola pikirnya masing-masing dan menjadi cikal bakal pemahaman Kendaraan Besar (Mahayana). Dari kelima sekolah ini, tiga yang paling terkenal adalah: Lokottaravada, Bahushrutiya dan Chaitika.

Perkembangan Universitas Monastik Nalanda

Universitas monastik Buddhis (atau terkadang disebut juga sebagai biara Buddhis) yang pertama adalah Nalanda, yang dibangun di dekat Rajagrha pada awal abad ke-2 Masehi. Rajagrha adalah ibukota Magadha, sebuah kerajaan pada masa kehidupan Sang Buddha Sakyamuni dan sebagian besar aktivitas beliau banyak dilakukan di wilayah ini pada masa itu.

Nalanda ini kemudian berkembang pesat di zaman Dinasti Gupta pada awal abad ke-4 dan kemudian mencapai puncak masa kejayaannya di zaman Dinasti Pala (750 M – akhir abad ke-12) di India Utara. Beberapa guru besar Buddhis dari India, antara lain Nagarjuna, Shantideva dan sebagainya adalah guru-guru yang pernah mengajar di Nalanda. Selain itu, banyak pula biara baru juga dibangun mengikuti jejak Nalanda. Di antaranya adalah Vikramashila yang dibangun melalui dukungan kerajaan yang berkuasa pada masa itu. Atisha, yang juga lulusan dari Nalanda, pernah menjadi salah satu Kepala Biara di Vikramashila.

Tradisi biara seperti ini dapat ditarik benang merahnya dari tradisi vassa di zaman Buddha Sakyamuni, yang mana kemudian semakin berkembang sehingga para biksu tidak hanya tinggal dan menetap menyunyikan diri saja di dalam biara namun mereka juga belajar, menghapal, memperdalam ilmu mereka, merenungkannya dan memeditasikannya sehingga mencapai realisasi sejati, sebagaimana yang mereka lakukan di Nalanda dan biara-biara besar lainnya.

Pada puncak kejayaannya, Nalanda bahkan menarik murid datang dari berbagai pelosok dunia. Bukti-bukti sejarah arkeologi menunjukkan bahwa pernah terjadi interaksi antara Nalanda dan DInasti Syailendra dari Indonesia. Raja Syailendra pada masa itu pernah membangun sebuah vihara di dalam kompleks Nalanda.

Akan tetapi, sayang sekali tradisi ini di India terputus sekitar awal abad ke-13 ketika terjadi invasi oleh pasukan Islam dari Dinasti Mamluk. Kepala Biara Nalanda yang terakhir, Shakyashribhadra, melarikan diri ke Tibet pada tahun 1204 dan beliau memiliki jasa besar sebagai salah satu tokoh yang berperan penting dalam menjaga silsilah Mulasarvastivada di Tibet.

Beruntungnya, tradisi ini berhasil diselamatkan dan dilanjutkan dalam bentuk yang masih sangat utuh di Tibet. Dalai Lama sering sekali mengatakan bahwa Buddhisme Tibet pada dasarnya adalah Buddhisme tradisi Nalanda. Tradisi pendirian biara-biara Buddhis yang menjadi tempat tinggal, belajar dan praktik para komunitas biksu tetap berlanjut di Tibet. Biara pertama di Tibet yang mengikuti tradisi ini adalah Biara Samye yang didirikan oleh Padmasambhava dan Santarakshita pada abad ke-8 Masehi.

Beberapa biara besar lainnya juga antara lain adalah The Great Three, yaitu Biara Gaden, Biara Drepung dan Biara Sera. Di Tibet sendiri, pernah terdapat 6.000 biara di masa kejayaannya. Namun hampir semuanya dihancurkan oleh pasukan Cina ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an. Beberapa biara besar kemudian dibangun kembali di India saat ini seolah-olah Tibet memang memiliki peran sebagai penyimpan silsilah dan tradisi Buddha ini untuk selanjutnya dikembalikan lagi ke India pada khususnya dan juga ke dunia secara umum.

Dalai Lama pernah berkata bahwa obat penawar yang paling ampuh untuk membendung sektarianisme adalah dengan pendidikan dan pengetahuan. Semakin banyak kita mempelajari berbagai tradisi, sekte atau aliran maka kita pun akan semakin memahami pula bagaimana semua itu adalah saling terkait dan saling mengisi. Dan berbagai jenis paham tersebut, meskipun mereka bisa jadi menjelaskan sesuatu dengan cara yang berbeda, namun ketika semakin dipelajari maka akan muncul rasa hormat dan kagum pada pemahaman-pemahaman tersebut. Semoga sedikit ulasan tentang sejarah perkembangan Buddhisme ini bisa sedikit lebih membuka wawasan kita semua, umat Buddha Indonesia. Semoga Buddhadharma bisa terus dipelajari, direnungkan dan dimeditasikan untuk waktu yang tak terhingga lamanya, sehingga bisa memberi manfaat kepada kita semua, makhluk pengembara yang sangat menyedihkan di alam samsara ini.

Sumber:

- The Spread of Buddhism in Asia oleh Dr. Alexander Berzin

- Buddhism in India Before the 13th Century Invasions oleh Dr. Alexander Berzin

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun