Perkembangan Universitas Monastik Nalanda
Universitas monastik Buddhis (atau terkadang disebut juga sebagai biara Buddhis) yang pertama adalah Nalanda, yang dibangun di dekat Rajagrha pada awal abad ke-2 Masehi. Rajagrha adalah ibukota Magadha, sebuah kerajaan pada masa kehidupan Sang Buddha Sakyamuni dan sebagian besar aktivitas beliau banyak dilakukan di wilayah ini pada masa itu.
Nalanda ini kemudian berkembang pesat di zaman Dinasti Gupta pada awal abad ke-4 dan kemudian mencapai puncak masa kejayaannya di zaman Dinasti Pala (750 M – akhir abad ke-12) di India Utara. Beberapa guru besar Buddhis dari India, antara lain Nagarjuna, Shantideva dan sebagainya adalah guru-guru yang pernah mengajar di Nalanda. Selain itu, banyak pula biara baru juga dibangun mengikuti jejak Nalanda. Di antaranya adalah Vikramashila yang dibangun melalui dukungan kerajaan yang berkuasa pada masa itu. Atisha, yang juga lulusan dari Nalanda, pernah menjadi salah satu Kepala Biara di Vikramashila.
Tradisi biara seperti ini dapat ditarik benang merahnya dari tradisi vassa di zaman Buddha Sakyamuni, yang mana kemudian semakin berkembang sehingga para biksu tidak hanya tinggal dan menetap menyunyikan diri saja di dalam biara namun mereka juga belajar, menghapal, memperdalam ilmu mereka, merenungkannya dan memeditasikannya sehingga mencapai realisasi sejati, sebagaimana yang mereka lakukan di Nalanda dan biara-biara besar lainnya.
Pada puncak kejayaannya, Nalanda bahkan menarik murid datang dari berbagai pelosok dunia. Bukti-bukti sejarah arkeologi menunjukkan bahwa pernah terjadi interaksi antara Nalanda dan DInasti Syailendra dari Indonesia. Raja Syailendra pada masa itu pernah membangun sebuah vihara di dalam kompleks Nalanda.
Akan tetapi, sayang sekali tradisi ini di India terputus sekitar awal abad ke-13 ketika terjadi invasi oleh pasukan Islam dari Dinasti Mamluk. Kepala Biara Nalanda yang terakhir, Shakyashribhadra, melarikan diri ke Tibet pada tahun 1204 dan beliau memiliki jasa besar sebagai salah satu tokoh yang berperan penting dalam menjaga silsilah Mulasarvastivada di Tibet.
Beruntungnya, tradisi ini berhasil diselamatkan dan dilanjutkan dalam bentuk yang masih sangat utuh di Tibet. Dalai Lama sering sekali mengatakan bahwa Buddhisme Tibet pada dasarnya adalah Buddhisme tradisi Nalanda. Tradisi pendirian biara-biara Buddhis yang menjadi tempat tinggal, belajar dan praktik para komunitas biksu tetap berlanjut di Tibet. Biara pertama di Tibet yang mengikuti tradisi ini adalah Biara Samye yang didirikan oleh Padmasambhava dan Santarakshita pada abad ke-8 Masehi.
Beberapa biara besar lainnya juga antara lain adalah The Great Three, yaitu Biara Gaden, Biara Drepung dan Biara Sera. Di Tibet sendiri, pernah terdapat 6.000 biara di masa kejayaannya. Namun hampir semuanya dihancurkan oleh pasukan Cina ketika terjadi Revolusi Kebudayaan di tahun 1960-an. Beberapa biara besar kemudian dibangun kembali di India saat ini seolah-olah Tibet memang memiliki peran sebagai penyimpan silsilah dan tradisi Buddha ini untuk selanjutnya dikembalikan lagi ke India pada khususnya dan juga ke dunia secara umum.
Dalai Lama pernah berkata bahwa obat penawar yang paling ampuh untuk membendung sektarianisme adalah dengan pendidikan dan pengetahuan. Semakin banyak kita mempelajari berbagai tradisi, sekte atau aliran maka kita pun akan semakin memahami pula bagaimana semua itu adalah saling terkait dan saling mengisi. Dan berbagai jenis paham tersebut, meskipun mereka bisa jadi menjelaskan sesuatu dengan cara yang berbeda, namun ketika semakin dipelajari maka akan muncul rasa hormat dan kagum pada pemahaman-pemahaman tersebut. Semoga sedikit ulasan tentang sejarah perkembangan Buddhisme ini bisa sedikit lebih membuka wawasan kita semua, umat Buddha Indonesia. Semoga Buddhadharma bisa terus dipelajari, direnungkan dan dimeditasikan untuk waktu yang tak terhingga lamanya, sehingga bisa memberi manfaat kepada kita semua, makhluk pengembara yang sangat menyedihkan di alam samsara ini.
Sumber:
- The Spread of Buddhism in Asia oleh Dr. Alexander Berzin