Menurut catatan Theravada, Sidang Sangha Ketiga diadakan pada 257 SM dengan dukungan dari Dinasti Maurya. Sidang ini dikatakan bertujuan untuk mengkaji ajaran-ajaran Buddha dan memurnikan pandangan-pandangan yang dianggap keliru oleh para kelompok Theravada yang orthodox. Moggaliputta Tissa, selaku ketua sidang, kemudian menulis sebuah buku dengan judul Dasar-Dasar Perselisihan (Pali: Kathavatthu) dan menjadi teks kelima dari ketujuh teks Abhidharma Pitaka-nya Theravada. Dan setahun setelah sidang ini selesai, Raja Ashoka mengirimkan misi-misi penyebaran Buddhisme Theravada ke berbagai wilayah, termasuk sampai ke Pakistan, Afghanistan, Gujarat, Sri Lanka dan Burma.
Di tahun 190 SM, Dharmagupta juga memisahkan diri dari Theravada, juga disebabkan oleh perbedaan pandangan filosofis. Yang menarik adalah, meskipun Sarvastivada dan Dharmagupta juga memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa hal dengan Mahasangika, namun ketiga-tiganya sepemahaman bahwa tingkatan Buddha adalah lebih tinggi daripada seorang arahat. Meskipun Dharmagupta juga sepemahaman dengan Theravada bahwa arahat sudah tidak memiliki klesha, sedangkan Sarvastivada sepemahaman dengan Mahasangika bahwa arahat masih memiliki klesha-klesha halus. Selain itu, Dharmagupta juga menambahkan sebuah “keranjang” keempat yang disebut sebagai Dharani yang berisi nyanyian-nyanyian bakti yang dipercaya dapat membantu praktisi untuk lebih memahami Dharma, mengumpulkan kebajikan dan mengeliminir halangan-halangan.
Sekolah Dharmagupta kemudian menyebar ke Pakistan, Afghanistan, Iran, Asia Tengah dan kemudian menjadi sangat kuat di Cina. Biksu-biksuni Cina hingga sekarang adalah memegang vinaya dari silsilah Dharmagupta ini. Dan silsilah Dharmagupta saat ini pun telah menyebar hingga ke Korea, Jepang dan Vietnam.
Sidang Sangha Keempat
Sekolah Theravada dan Sarvastivada kemudian masing-masing menyelenggarakan Sidang Sangha Keempat.
Kelompok Theravada mengadakan Sidang Sangha Keempatnya di Sri Lanka pada tahun 83 SM. Ini adalah pertama kalinya, ajaran Buddha dicatat ke dalam bentuk tulisan dan bahasa yang digunakan pada saat itu adalah bahasa Pali. Ini adalah Tipitaka Pali sebagaimana kita kenal saat ini, atau disebut juga sebagai The Pali Canon.
Di dalam kelompok Sarvastivada juga muncul banyak perbedaan pendapat terkait pandangan filosofis abhidharma, sehingga cikal bakal kelompok Vaibhashika pun pertama kali memisahkan diri. Kemudian sekitar tahun 50 SM, kelompok Sautrantika juga berkembang.
Sidang Sangha Keempat yang diadakan oleh Sarvastivada terjadi di sekitar abad ke-1 atau abad ke-2 Masehi. Sidang ini menolak abhidharma yang diajukan oleh Sautrantika dan akhirnya menulis sendiri abhidharma mereka di dalam sebuah teks yang diberi nama Komentar Besar (Sanskrit: Mahavibhasha). Di sidang ini pula dilakukan penerjemahan teks Tripitaka dari bahasa Prakrit ke Sanskrit. Ini adalah cikal bakal Tripitika Sanskrit sebagaimana kita kenal saat ini.
Sekitar abad ke-4 dan ke-5 Masehi, sekolah Mulasarvastivada juga memisahkan diri dari Vaibhashika. Pada abad ke-8, orang-orang Tibet kemudian mengadopsi silsilah vinaya Mulasarvastivada ini.
Mahasangika
Sementara itu, Mahasangika yang berkembang di bagian timur dari India Selatan, juga berkembang lebih jauh lagi menjadi lima kelompok sekolah. Semuanya menganut paham bahwa Buddha adalah superior (di atas arahat) dan masing-masing mengembangkan filosofi ini dengan pola pikirnya masing-masing dan menjadi cikal bakal pemahaman Kendaraan Besar (Mahayana). Dari kelima sekolah ini, tiga yang paling terkenal adalah: Lokottaravada, Bahushrutiya dan Chaitika.