"Sial," pikir saya kemarin. Untuk kedua kalinya saya gagal dalam flash sale.
Kemudian dalam rasa super kesal yang tertahan itu saya ingat beberapa waktu sebelumnya saya menonton sebuah review ponsel Xiaomi ini dari seorang Youtuber. Pada awal video dia bilang "Ponsel ini akan dijual dengan cara flash sale. Hih, flash sale," ujarnya dengan mimik muka yang saya ingat betul betapa ia sangat muak dengan flash sale ini. Dan saya tengah merasakannya.
***
Teknik jualan seperti ini memang cukup menarik dan seringkali digunakan untuk "memainkan" emosi calon pembeli. Jumlah barang yang didistribusikan dengan terbatas membuat mereka semakin penasaran sehingga demand barang akan meroket.
Kondisi inilah yang kemudian bisa dimanfaatkan oleh produsen. Xiaomi membuat seolah demand alias permintaan pasar untuk ponsel tersebut menjadi sangat tinggi. Kemudian kondisi ini "dijual" pada supplier komponen agar si produsen bisa mendapat harga lebih murah. "Oh, penjualannya sangat menjanjikan," mungkin pemikiran itu yang ingin dibentuk oleh Xiaomi dalam benak supplier komponen. Tentu saja, dengan mendapat harga komponen yang lebih murah, Xiaomi bisa menekan harga produksi untuk keuntungan.
Tapi lama kelamaan teknik ini bisa membuat para pembeli jadi semakin muak dan bosan dipermainkan. Apalagi kebanyakan mereka yang ikut flash sale tidak membeli hanya satu atau dua unit. Biasanya ada pemborong yang membeli sampai 10 unit sekaligus guna dijual kembali.
Flash sale secara sepintas memang sangat menarik apalagi dengan menawarkan harga yang berbeda sampai 300 ribu dari harga biasa. Tapi jika proses dan kejadiannya seperti ini terus, lama kelamaan orang juga muak dengan gimmick ini.
Sekian curhatan saya. Huft.
False Hope Hurts More
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H