Belum Mau Menyerah
Twitter awalnya dianggap sebagai platform yang mendorong revolusi. Memang benar, Twitter membawa banyak perubahan dalam cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi. 140 batas karakter yang ditentukan sejatinya tidak memberikan batasan yang benar-benar riil. Manusia menjadi tergerak kreativitasnya untuk menuangkan ide dan pikiran hanya dalam 140 karakter.
Saya sendiri adalah salah satu pengguna Twitter sejak 2010 lalu. Kala itu memang popularitas Twitter sedang berada di puncaknya. Ditambah dengan adanya kerjasama dengan Blackberry yang menjadi ponsel "paling pintar" beberapa tahun silam, tentu ini menjadi simbiosis mutualisme bagi mereka.
Jack Dorsey sendiri sebagai CEO mengakui bahwa Twitter memang sedang mengupayakan agar kembali pada jalur yang diharapkan. Twitter saat ini tengah memperbaiki moral para karyawan di mana beberapa tahun belakang ini mengalami konflik, masalah dan pergolakan internal. Memang, apa yang diupayakan oleh Dorsey kini adalah hal wajar bagi sebuah perusahaan tengah mengalami kemunduran.
Melihat kemunduran yang dialami Twitter ini saya teringat akan kisah Apple di masa lampau. Ketika itu Apple mengalami penurunan omset dengan sangat drastis. Produk-produk buatannya tidak laku terjual di pasar bahkan sebagian besar penggunanya kembali beralih menggunakan IBM atau merek elektronik lainnya. Kala itu Apple benar-benar berada di ujung tanduk. Satu keputusan yang salah bisa membuat kerugian yang dahsyat.
Pada saat itu banyak pihak yang meramalkan Apple tidak akan bertahan lama dan seluruh pangsa pasarnya bakal dilahap oleh IBM. Para petinggi pun mulai menyerah. Solusi yang ditawarkan para petinggi malah menjadi pilihan negatif yang semakin memperburuk kesehatan perusahaan. Memang ketika itu Apple tidak dikepalai oleh Steve Jobs lantaran ia didepak dari kepemimpinannya karena dianggap tidak memajukan perusahaan.
Namun suatu ketika Steve Jobs kembali dengan sifatnya yang angkuh. Meski begitu, ia membawa segudang solusi yang dipercaya dapat membuat Apple kembali di kasta tertinggi perusahaan teknologi. Saat itu Jobs mengatakan bahwa Apple sudah kehilangan identitas dan produk-produknya lebih menyerupai sampah. Ia menganggap tidak ada produk yang fokus pada segmen tertentu dan sebagai solusi ia memangkas habis produk yang dianggap tidak sesuai. Pada akhirnya, Apple kembali berjaya bahkan hingga sekarang.
Dua yang saya garisbawahi adalah identitas dan fokus produk. Mempertahankan identitas adalah hal utama untuk kembali ke jalur bisnis yang tepat dan fokus produk adalah solusi agar bisnis tetap bertahan pada jalur tersebut. Mungkin hal ini juga yang bisa dilakukan oleh Twitter untuk terus mempertahankan eksistensinya sebagai jejaring sosial. Tidak menutup kemungkinan juga kisah lampau Apple ini bisa terjadi pada Twitter. Bisa saja suatu saat nanti Twitter justru membalikkan dan kembali pada posisi puncaknya.
Tanda-tanda merosotnya Twitter memang telah banyak dilaporkan oleh media selama beberapa bulan terakhir. Merosotnya jumlah pengguna menjadi beban berat yang harus dipikul si-burung-biru agar tidak terjatuh dari langit teknologi. Sebagai pengguna, saya sendiri akan sangat kecewa jika Twitter pada akhirnya bernasib seperti Friendster. Masih ada cara yang bisa dilakukan Twitter untuk mempertahankan penggunanya dan terhindar atau setidaknya menunda kematian. Tinggal kita lihat, inovasi seperti apa yang akan dilakukan untuk terus mempertahankan penggunanya.
Lantas, Anda sendiri apakah akan terus menggunakan Twitter?
Â