[caption caption="Kondisi Twitter kian terpuruk. Sumber : kompas.com"][/caption]Oktober 2015 kabar mengejutkan muncul bagi dunia teknologi. Pemimpin tertinggi situs mikroblog Twitter, Dick Costolo secara resmi mengundurkan diri dari perusahaan yang telah ia pimpin selama kurang lebih 5 tahun. Secara resmi pula Twitter kehilangan salah satu nakhoda terbaiknya.
Costolo memang tidak andil bagian ketika Jack Dorsey merintis Twitter. Namun ia yang memimpin Twitter sejak 2010 dapat mempertahankan burung biru agar tetap berada di peringkat atas perusahaan teknologi adalah sebuah prestasi yang layak diacungi jempol. Oleh karenanya, Twitter pantas kecewa ketika Costolo memutuskan untuk hengkang.
Sudah jatuh tertimpa tangga. Mungkin itu peribahasa yang cocok untuk Twitter. Tidak lama berselang setelah kepergian Costolo, Twitter kembali ditinggal oleh petinggi-petinggi terbaiknya. Tidak tanggung-tanggung, ada 4 petinggi yang memutuskan melepaskan jabatannya dan 3 diantaranya pergi secara bersamaan. Mereka adalah Alex Roetter, Kevil Weil dan Katie Jacobs Stanton. Ketiganya menduduki posisi setara Vice President.
Tentu bukan tanpa alasan para petinggi ini meninggalkan si-burung-biru. Selama dua tahun terakhir Twitter memang menunjukan tanda-tanda kemunduran baik dalam sisi pengguna maupun profit. Memang, pihak Twitter sendiri mengklaim bahwa pengguna aplikasi mikroblog ini meningkat sekitar 25 persen dalam periode yang sama. Namun, lembaga survey independen mengemukakan data yang bertolak belakang. Twitter diketahui mengalami penurunan pengguna aktif, bahkan angka penetrasi Twitter terus merosot dari 30 persen ke 22 persen. Sahamnyapun melorot secara vertikal meski perlahan.
Mempertahankan Para Pegawai
Kepergian Dick Costolo dan 4 petinggi lainnya tentu memberikan pengaruh yang sangat besar. Seolah tidak ingin hanya bertumpu pada satu kaki, Twitter akhirnya kembali diambil alih oleh pendirinya, Jack Dorsey. Meski demikian gelombang pengunduran diri di perusahaan ini seolah sulit untuk dibendung. Karyawan level bawah, menengah, hingga tinggi terus mengajukan resign seolah mereka putus asa tidak lagi melihat adanya masa depan di perusahaan ini.
Sedikit demi sedikit para pegawai pergi dan Twitter punya cara agar karyawannya tidak angkat kaki dari perusahaan ini. 10 Maret kemarin dilansir dari Business Insider, Twitter berjanji akan memberikan jaminan saham terbatas bagi karyawannya yang mau bertahan. Selain itu, bonus besar juga menjadi ganjaran bagi karyawannya yang mampu terus mempertahankan atau bahkan mendongkrak popularitas dan penggunaan Twitter. Tidak tanggung-tanggung, Twitter mengiming-imingin akan memberi bonus setara Rp 650 juta hingga setara Rp 2,6 miliar bagi karyawannya yang berprestasi. Hal ini tentus saja demi menjaga agar Twitter tidak jatuh ke lembah kebangkrutan.
Sebenarnya apa yang menyebabkan Twitter mulai ditinggalkan? Tentu saja jawabannya adalah adanya alternatif jejaring sosial lain yang menawarkan pilihan fitur yang lebih beragam. Facebook adalah rakasasa jejaring sosial dan platform ini sudah lebih dulu muncul ketimbang Twitter.
Inovasi dan pengembangan yang terus dilakukan Facebook bagai peluru tajam bagi Twitter. Dengan mencaplok berbagai perusahaan lain seperti Whatsapp, Instagram, dan baru-baru ini aplikasi pengubah wajah Masquerade baru saja diakuisisi. Tentu dengan demikian akan ada semakin banyak fitur menarik di Facebook. Facebook semakin melebarkan sayapnya dan Twitter semakin meredup.
Di Indonesia sendiri Twitter mulai terganti ketika muncul jejaring sosial terbatas, Path. Memang karakteristik Path lebih tertutup dan kita bisa memilah serta memilih siapa saja yang orang yang boleh melihat aktivitas kita. Tapi malah karakteristik itulah yang diperlukan saat ini karena jejaring sosial yang terlalu terbuka malah dapat mengancam privasi setiap penggunanya.
Lihat saja Facebook. Bahkan setiap pengguna bisa dengan mudah menemukan orang yang ia cari lengkap dengan status atau aktivitas lainnya. Inilah yang membuat Path berjaya di Indonesia. Lalu apa yang harus dilakukan Twitter untuk mengimbangi jejaring sosial lain? Tentu saja pengembangan fitur produk namun tetap fokus pada arah bisnis yang jelas dan tetap mempertahankan karakteristik yang telah menjadi ciri khas.
Belum Mau Menyerah
Twitter awalnya dianggap sebagai platform yang mendorong revolusi. Memang benar, Twitter membawa banyak perubahan dalam cara manusia berinteraksi dan berkomunikasi. 140 batas karakter yang ditentukan sejatinya tidak memberikan batasan yang benar-benar riil. Manusia menjadi tergerak kreativitasnya untuk menuangkan ide dan pikiran hanya dalam 140 karakter.
Saya sendiri adalah salah satu pengguna Twitter sejak 2010 lalu. Kala itu memang popularitas Twitter sedang berada di puncaknya. Ditambah dengan adanya kerjasama dengan Blackberry yang menjadi ponsel "paling pintar" beberapa tahun silam, tentu ini menjadi simbiosis mutualisme bagi mereka.
Jack Dorsey sendiri sebagai CEO mengakui bahwa Twitter memang sedang mengupayakan agar kembali pada jalur yang diharapkan. Twitter saat ini tengah memperbaiki moral para karyawan di mana beberapa tahun belakang ini mengalami konflik, masalah dan pergolakan internal. Memang, apa yang diupayakan oleh Dorsey kini adalah hal wajar bagi sebuah perusahaan tengah mengalami kemunduran.
Melihat kemunduran yang dialami Twitter ini saya teringat akan kisah Apple di masa lampau. Ketika itu Apple mengalami penurunan omset dengan sangat drastis. Produk-produk buatannya tidak laku terjual di pasar bahkan sebagian besar penggunanya kembali beralih menggunakan IBM atau merek elektronik lainnya. Kala itu Apple benar-benar berada di ujung tanduk. Satu keputusan yang salah bisa membuat kerugian yang dahsyat.
Pada saat itu banyak pihak yang meramalkan Apple tidak akan bertahan lama dan seluruh pangsa pasarnya bakal dilahap oleh IBM. Para petinggi pun mulai menyerah. Solusi yang ditawarkan para petinggi malah menjadi pilihan negatif yang semakin memperburuk kesehatan perusahaan. Memang ketika itu Apple tidak dikepalai oleh Steve Jobs lantaran ia didepak dari kepemimpinannya karena dianggap tidak memajukan perusahaan.
Namun suatu ketika Steve Jobs kembali dengan sifatnya yang angkuh. Meski begitu, ia membawa segudang solusi yang dipercaya dapat membuat Apple kembali di kasta tertinggi perusahaan teknologi. Saat itu Jobs mengatakan bahwa Apple sudah kehilangan identitas dan produk-produknya lebih menyerupai sampah. Ia menganggap tidak ada produk yang fokus pada segmen tertentu dan sebagai solusi ia memangkas habis produk yang dianggap tidak sesuai. Pada akhirnya, Apple kembali berjaya bahkan hingga sekarang.
Dua yang saya garisbawahi adalah identitas dan fokus produk. Mempertahankan identitas adalah hal utama untuk kembali ke jalur bisnis yang tepat dan fokus produk adalah solusi agar bisnis tetap bertahan pada jalur tersebut. Mungkin hal ini juga yang bisa dilakukan oleh Twitter untuk terus mempertahankan eksistensinya sebagai jejaring sosial. Tidak menutup kemungkinan juga kisah lampau Apple ini bisa terjadi pada Twitter. Bisa saja suatu saat nanti Twitter justru membalikkan dan kembali pada posisi puncaknya.
Tanda-tanda merosotnya Twitter memang telah banyak dilaporkan oleh media selama beberapa bulan terakhir. Merosotnya jumlah pengguna menjadi beban berat yang harus dipikul si-burung-biru agar tidak terjatuh dari langit teknologi. Sebagai pengguna, saya sendiri akan sangat kecewa jika Twitter pada akhirnya bernasib seperti Friendster. Masih ada cara yang bisa dilakukan Twitter untuk mempertahankan penggunanya dan terhindar atau setidaknya menunda kematian. Tinggal kita lihat, inovasi seperti apa yang akan dilakukan untuk terus mempertahankan penggunanya.
Lantas, Anda sendiri apakah akan terus menggunakan Twitter?
Â
---
Tulisan ini sekadar berbagi informasi & pemikiran. Tidak untuk menjadi bahan perdebatan. :)
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H