Hasil penelitiannya tersebut kemudian diusulkan dalam sebuah mosi yang didukung oleh kabinet dan diterima secara aklamasi pada tanggal 2 Agustus 1951. Mosi tersebut berbunyi antara lain:
1. Mendesak kepada pemerintah untuk dalam jangka waktu satu bulan membentuk sebuah Komisi Negara tentang masalah minyak, dengan tugas:
a. Segera melakukan penyelidikan terhadap masalah pengolahan minyak, timah, batu bara, emas, perak, dan hasil tambang lainnya.
b. Membuat rencana undang-undang perminyakan yang serasi dengan keadaan yang berlaku sekarang.
c. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai sikap yang patut diambil pemerintah berkenaan dengan status tambang minyak di Sumatera Utara pada khususnya dan pertambangan lain pada umumnya.
d. Membantu pemerintah dengan usul-usul pertambangan di Indonesia.
e. Membantu pemerintah dengan usul-usul pendapat mengenai pajak produksi bahan minyak dan ketentuan harga.
f. Mengajukan usul-usul lain berkenaan dengan masalah pertambangan guna meningkatkan penghasilan negara, menyelesaikan tugasnya dalam waktu tiga bulan dan menyerahkannya kepada pemerintah dan parlemen.
2. Mendesak kepada pemerintah supaya m,enunda pemberian konsesi dan ijin eksplorasi baru sampai tugas yang diberikan kepada Komisi Negara tentang masalah pertambangan selesai.
Dalam mosi tersebut juga diusulkan agar pemerintah dalam waktu singkat meninjau kembali Indische Mijn Wet 1899, undang-undang kolonial yang masih tetap dipakai sebagai dasar pengelolaan minyak di Indonesia. IMW dianggap tidak sesuai lagi dengan azas-azas pokok pemikiran bangsa Indonesia. Untuk memenuhi mosi tersebut pada tanggal 13 September 1951 pemerintah membentuk Panitia Negara Urusan Pertambangan (PNUP) yang bertugas menyelidiki masalah-masalah pertambangan termasuk pertambangan minyak dan gas bumi dan menyusun rancangan undang-undang untuk menggantikan IMW 1899.
Hasan, dalam pidatonya mengenai mosi tersebut mengatakan bahwa kelompok Tiga Besar pada hakekatnya menerima lima kali lebih banyak dari pada yang dilaporkannya. Ia berpendapat bahwa hal itu disengaja agar harga minyak mentah lebih murah dari yang semestinya, dan sebagai bukti dia mengutip sebuah penawaran dari suatu kelompok perusahaan minyak Jepang yang bersedia membayar minyak mentah Rp.950 per ton, dibandingkan dengan Rp.100 per ton yang dilaporkan perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia dalam kaitannya dengan pembayaran pajak. Kedua, menurut Mohammad Hasan, perusahaan-perusahaan minyak itu dengan sengaja mempertinggi ongkos operasinya secara tidak wajar.
Yang menarik di sini adalah pembicaraan yang dilakukan oleh Hasan dengan para pejabat perusahaan minyak asing tidak lama setelah isi mosi itu diumumkan. Ia mengusulkan pembagian keuntungan berdasarkan pola 50:50. Hal ini dijawab Hasan bahwa dengan pola demikian dikhawatirkan biaya operasi menjadi lebih tinggi. Ia kemudian mengajukan usul balasan agar hasil produksi minyak di Indonesia dibagi saja antara pemerintah Indonesia dengan perusahaan minyak asing atas dasar sama banyak. Usulan Hasan tersebut membuat para bos perusahaan minyak asing tercengang dan tidak berani bersuara.
Isi buku dan pengalaman yang ditorehkan oleh Hasan di atas mengandung nilai-nilai nasionalisme yang sangat kuat. Dengan jelas tergambar bahwa Hasan beserta tokoh-tokoh pendiri republik yang lain benar-benar ingin membebaskan bangsa ini dari wacana, budaya dan produk undang-undang kolonial. Apabila saat ini para elite politik-ekonomi cenderung mengobral sumberdaya alam dengan memberlakukan undang-undang yang bernuansa neoliberalisme, sudah pasti mereka tidak belajar dari Hasan. Mereka tidak belajar dari sejarah bangsanya sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H