Jogjakarta, 19-12-1948
Soekarno-Hatta
Presiden/Wakil Presiden
“Djika ichtiar Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Sumatera tidak berhasil, kepada saudara2 (Dr. Soedarsono, Palar, Mr. Maramis) dikuasakan untuk membentuk exile Government di India. Harap dalam hal ini berhubungan dengan Sjafruddin Prawiranegara di Sumatera. Djika hubungan tidak mungkin, harap ambil tindakan2 seperlunja..”
Jogjakarta, 19-12-1948
Hatta-H.A Salim
Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri
(Mestika Zed,1997:71)
Secara militer, agresi militer Belanda yang kedua ini berhasil dengan gemilang karena hanya dalam waktu hitungan jam berhasil mencapai sasaran utamanya yaitu menguasai ibukota Yogyakarta dan beberapa kota penting lainnya di Jawa dan Sumatera. Selain itu, Belanda juga berhasil menawan pemimpin-pemimpin RI yang berada di Yogyakarta. Para pemimpin Republik yang ditawan antara lain; Ir Soekarno (Presiden), Drs. Mohammad Hatta (Wakil Presiden/Perdana Menteri), Mr. Ali Sastroamidjojo (Menteri PPK), Mr. Mohammad Roem (Ketua Delegasi RI), Sutan Sjahrir (Penasehat Presiden), AG Pringgodigdo (Sekretaris Negara), Surjadarma (Komodor Angkatan Udara), H. Agus Salim (Menteri Luar Negeri).
Pada 22 Desember 1948, di Sumatera, diadakan rapat antara pemimpin pusat yang diwakili oleh Sjafruddin Prawiranegara dan pemimpin daerah antara lain Teuku Muhammad Hasan, Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Kolonel Hidayat, Mr. Lukman Hakim, Ir. Indracahya, Ir. Mananti Sitompul, Maryono Danubroto, Mr. A. Karim, Rusli Rahim dan Mr. Latif. Rapat tersebut membicarakan situasi negara dan rencana perjuangan mempertahankan kemerdekaan selanjutnya.
Pada saat itu, mereka belum mengetahui tentang adanya telegram penyerahan mandat Presiden kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk suatu Emergency Government. Akibat tidak sampainya telegram Presiden dan Wakil Presiden tersebut sehingga para pemimpin tersebut ragu-ragu memutuskan untuk mendirikan Pemerintah Darurat. Namun, berkat dorongan dan dukungan dari seluruh peserta rapat, akhirnya keragu-raguan Syafruddin Prawiranegara itu menjadi hilang. Singkatnya, rapat tersebut menghasilkan keputusan untuk mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) beserta susunan kabinetnya. Risalah rapat darurat tersebut dapat disimak di bawah ini:
“…Jadi hanya atas petunjuk dan keridhoan Tuhan Yang Maha Kuasa, rapat bersama itu menjelma menjadi pembentukan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Sesudah menyerahkan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa maka pada tanggal 22 Desember 1948 itu pada pukul 03.40 dini hari, lahirlah Pemerintah Darurat Republik Indonesia dengan susunan sebagai berikut: Ketua: Mr. Syafruddin Prawiranegara, merangkap Menteri Pertahanan, Penerangan dan luar negeri ad interim.
Wakil Ketua: Mr. Teuku Muhammad Hasan, merangkap Menteri Dalam Negeri, Pendidikan & Kebudayaan dan Agama. M.r S.M Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan, Pemuda dan Perburuhan. M.r. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kahakiman. Ir. Mananti Sitompul: sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan. Ir. Indratjaja sebagai Menteri Perhubungan merangkap Menteri Kemankmuran. Sebagai Sekretaris PDRI ditunjuk Mardjono Danubroto. Letnan Jenderal Sudirman tetap sebagai Panglima Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI). Kolonel A.H Nasution tetap sebagai Panglima Tentara Teritorial Djawa (PTTD). Kolonel Hidayat tetap sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatera (PTTS). Kolonel Nazir sebagai Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL). Kolonel H. Sujono tetap sebagai Kepala Staf Angkatan Udara (KSAU). Komisaris Besar Umar Said sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara. (Mestika Zed, 1997: 78-79)
Maka, lengkaplah susunan pejabat Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang kemudian dikumandangkan ke seluruh pelosok tanah air dan luar negeri. Pemancar-pemancar PDRI, baik di Jawa maupun di tempat-tempat lain berjalan dengan lancar sehingga pembicaraan dan informasi timbal balik Sumatera-Jawa sangat baik. Hal ini tak lepas dari peranan anggota-anggota AURI yang bekerja dengan tekun dan tanpa mengharapkan pamrih. Setelah terjadinya hubungan antara Sumatera–Jawa dan keberadaan PDRI diakui, diikuti dan dipatuhi oleh aparatur negara di Jawa, maka Syafruddin Prawiranegara melalui radio berpidato membakar semangat pejuang-pejuang Indonesia untuk terus angkat senjata dan bergerilya.
Pemikiran dan Perjuangan Hasan
Teuku Muhammad Hasan adalah sedikit dari tokoh di Aceh yang mempunyai kesadaran kebangsaan. Umumnya, para ulama yang tergabung dalam Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) menghendaki pendirian negara sendiri berdasarkan syariat Islam. Salah satu penyebab tingginya kesadaran kebangsaanya tersebut karena Hasan adalah aktifis Perhimpunan Indonesia (PI) sewaktu kuliah di Leiden, Belanda. Di negeri Belanda, Hasan bertemu banyak tokoh penting PI, salah satunya adalah Mohammad Hatta. Dalam perkembanganya, kita mengingat bahwa PI merupakan organisasi yang ”menemukan” gagasan tentang ”nasionalisme” dan ”Indonesia.” Semangat kebangsaan yang berkobar dari para mahasiswa di negeri penjajah tersebut kemudian menular pada pergerakan-pergerakan kebangsaan di Hindia. Dari serangkaian aktifitasnya di Belanda tersebut, jiwa kebangsaan Hasan pun berkobar sebagaimana ia tunjukkan dengan menerima dasar negara Pancasila dibanding gagasan mendirikan Negara Islam.
Semua memori dan pengalaman selama kurun waktu kurang lebih sepuluh tahun yang dialami Hasan ternyata turut membentuk pemikiran, kepribadian serta sikapnya di kemudian hari. Ia menjadi tokoh yang mengutamakan kepentingan jangka panjang daripada kepentingan jangka pendek seperti gagasan pendirian Negara Aceh (DI/TII ) yang diprakarsai rekannya Daud Beureueh. Kendati mendapat banyak keceman dari ulama di PUSA, Hasan tetap teguh pendirian dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia melalui PPKI dan kemudian ditunjuk sebagai Gubernur Sumatera (1945-1948). Peristiwa yang semakin mengukuhkan nasionalisme Hasan ialah ketika ia bersama Sjarifuddin Prawiranegara berinisiatif mendirikan Pemerintah Darurat Republik Indonesia. Bagaimanapun, republik yang baru berusia tiga tahun harus diselamatkan karena agresi militer Belanda kedua yang berhasil melumpuhkan pusat kekuasaan di Yogyakarta dan menangkap para pemimpin republik. Dalam kondisi tersebut, Hasan bersama rekan-rekan dan rakyat di Sumatera bergerilya ke hutan-hutan Sumatera demi menyelamatkan republik.
Di dalam Kabinet PDRI inilah Hasan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ia juga merangkap sebagai Wakil Ketua PDRI, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama. Namun, tak dapat dilacak bagaimana kebijakan Hasan dalam mengelola pendidikan saat itu, karena suasana genting seputar agresi militer Belanda yang dahsyat. Kendati demikian, kita dapat menangkap pemikiran dan meneladani perjuangan Hasan dalam dunia pendidikan ketika ia aktif di Muhammadiyah dan Perguruan Taman Siswa di Aceh. Andaikata dalam keadaan normal, mungkin Hasan dapat melakukan banyak hal untuk memperbaiki dunia pendidikan Indonesia.
Dari penelusuran kepustakaan, ditemukan buku karya Hasan yang sangat bagus dengan judul Sejarah Perminyakan di Indonesia (Yayasan Sari Pinang Sakti, 1985). Buku ini merupakan hasil penelitian Hasan tentang perminyakan di Sumatera ketika menjadi Ketua Komisi Perdagangan dan Industri DPRS tahun 1951. Ia menyimpulkan dua hal penting, yakni pertama, terdapat alasan kuat bahwa jika dilakukan nasionalisasi, hasil minyak Sumatera Utara bisa dipakai sebagai alat pembayaran. Kedua, Indonesia tidak memperoleh bagian yang wajar dari perusahaan minyak asing berdasarkan Let Alone Agreement dan sistem pembayaran pajak yang berlaku.