Tapi tetap waspada karena fluktuasi nilai tukar rupiah akhir-akhir ini juga sangat dipengaruhi oleh berita dalam jangka pendek. Baik berita dari luar negeri maupun dari dalam negeri. Berita luar negeri, misalnya ketegangan Amerika Serikat dan China sempat membuat rupiah melemah. Sedangkan data ekonomi dalam negeri juga memberikan pukulan bagi rupiah. Misalnya, IHS Markit baru-baru ini melaporkan Purchasing Manager's Index (PMI) Manufaktur Indonesia di angka 27,5. Jauh menurun dibandingkan bulan sebelumnya, 43,5. Menjadi catatan PMI terendah sejak April 2011. Disinyalir PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) sebagai pemicunya.
Di sisi lain, ekonom senior, Rizal Ramli pada Desember 2019 telah memprediksi ekonomi Indonesia tahun 2020 lebih buruk dari tahun 2019. Menurutnya karena pertumbuhan kredit pada tahun 2019 hanya 7% dan daya beli masyarakat menurun. Selain itu indikator makro kecenderungannya merosot hingga kuartal III-2019. Sebagaimana dilansir beritasatu.com
Bahkan sejarah tahun 1998 sudah memberikan pelajaran. Saat itu rupiah berada di titik terlemah dalam melawan dolar Amerika Serikat. Padahal pada tahun 1949, nilai tukar rupiah awalnya di posisi terbaiknya yaitu 1$US, cuma senilai Rp. 3,80. Tapi berita keguncangan demi keguncangan politik dan tekanan geopolitik membuat nilai tukar rupiah perlahan anjlok. Puncaknya pada detik-detik peristiwa pemberontakan G/30/S/PKI, tercatat bulan Agustus 1965 1$US senilai Rp. 2.295.00. Kemudian hanya selang 3 bulan saja, pada Nopember 1965, rupiah merosot lagi lebih dua kali lipat menjadi Rp. 4995.00 per dolar AS.
Begitulah seterusnya kemerosotan itu bergulir. Saat terjadi gejolak politik di zaman orde baru. Mulai dari bulan Desember 1997, per dolar senilai 5.915.00. Hanya selang sebulan saja, pada Januari 1998 per dolar menjadi 14.800.00. Artinya nyaris 3 kali lipat rupiah merosot nilainya saat itu. Bahkan Pada bulan Juni 1998, rupiah berada di titik terendah sepanjang sejarah Indonesia. Yaitu per dolarnya senilai Rp. 16.800.00. Artinya, selalu ada faktor "X" diluar kendali BI.
Faktor "X" ini mengujicoba apakah elite bisa dikendalikan untuk tidak menarik uang secara besar-besaran di Bank (rush)?. Apakah elite bisa dikendalikan agar tidak bertransaksi spekulasi demi mengejar keuntungan pribadi dan agar tidak panic selling atau panic redeeming terhadap produk-produk investasi yang dimiliki?.
Perilaku panic buying berpotensi  menyuburkan para pemburu rente. Disebakan perilaku panic buying selalu belanja melebihi kebutuhannya. Sikap itu menyebabkan kelangkaan bahan pokok. Adanya ketidakseimbangan suply and demand. Dus, kelangkaan ini yang menyebabkan inflasi. Apalagi  kalau BI mencetak uang hingga 600 triliun. Penolakan BI soal usul pencetakan uang oleh Badan anggaran (Banggar) DPR RI sudah tepat. Tapi Lebih tepat lagi jika perilaku cerdas Nabi Yusuf sebagai ekonom legendaris kita jadikan patron.
3. Â Kecerdasan Yusuf Hadapi Hoax
Bersikap kritis dan jujur bukan berarti membuka rahasia Negara dan meresahkan masyarakat seperti menyebarkan hoax. Sebagaimana Yusuf pernah jadi korban hoax Zulaikha. Namun Yusuf mengolah hoax menjadi pembuktian terbalik.
Golongan elite seperti Zulaikha memang paling potensial memproduksi hoax. Karena elite yang memiliki otoritas dan fasilitas. Oleh karena itu, bijak bermedia sosial harus dimulai dari elite. Bukankah ikan membusuk dimulai dari kepalanya?. (markus Tullius Cicero). Kecuali ingin mengganti bahan mata uang rupiah dari serat kapas menjadi emas dan perak seperti dinar dan dirham, agar tidak mudah krisis.
Â