Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Banjir, DAS dan Tutupan Hutan

23 Februari 2021   07:01 Diperbarui: 23 Februari 2021   07:16 221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

BANJIR, DAS DAN TUTUPAN HUTAN

Memasuki tahun 2021, bencana datang silih berganti dari bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor yang merupakan bencana tahunan dan bisa diprediksi sebelumnya sampai bencana gempa bumi yang tidak dapat diprediksi kapan datangnya.

Drama banjir di provinsi Kalimatan Selatan yang sedang terjadi sekarang, menyentakkan kesadaran kita bahwa ada faktor pengelolaan lingkungan yang tidak beres di daerah Kalsel pada khususnya dan DAS Barito pada umumnya. 

Bencana banjir Kalsel ini adalah contoh nyata dari resultante antara kerusakan lingkungan yang masif dengan skala luas yang terus meningkat disatu sisi dan anomali cuaca yang ekstrem akibat pemanasan global disisi lain yang terjadi dalam kawasan daerah aliran air yang sangat luas (DAS Barito) yang melibatkan empat provinsi yaitu Kalsel, Kalteng, Kaltim dan Kalbar. 

Sesungguhnya konektivitas antara wilayah DAS dibatasi oleh wilayah hulu dan hilir dalam pendekatan ekosistem DAS yang terdiri dari unsur sungai, air, hujan, tutupan hutan,  kebun , sawah, ladang, pemukiman dan manusia yang membentuk suatu kesatuan ekosistem kehidupan yang seimbang (equilibrium) yang saling membutuhkan. 

Dalam batas tertentu keseimbangan ini masih mampu dipertahankan, namun apabila terjadi kerusakan lingkungan yang masif dan berulang ulang khususnya didaerah hulu, maka batas toleransi keseimbangan tersebut akan terlampaui dan akan menimbulkan dampak negatif yang nyata yaitu bencana banjir atau banjir besar yang sekarang ini terjadi ditanah air. 

Wilayah DAS tidak mengenal adanya batas adminitratif wilayah provinsi apalagi kabupaten dan kota, oleh karena itu dalam penanganan DAS Barito kali ini kesampingkan dulu batas wilayah adiministratif pemerintahan karena yang lebih mendesak adalah masalah tutupan hutan, kaji ulang penataan tata guna lahan dan peningkatan kesadaran (upgrade awareness) masyarakat untuk menjaga lingkungan. Bagaimana memahami hubungan kasualitas antara banjir, DAS dan tutupan lahan.

Keseimbangan Ekologis DAS dan Banjir

Apapun faktor penyebabnya, banjir tetap mengikuti kaidah ilmu hidrologi. Air mengikuti mekanisme alur neraca air yang telah diatur oleh alam dan akan mengalir dari daerah ketinggian kearah daerah yang lebih rendah dengan berbagai macam cara. 

Banjir terjadi akibat aliran air dipermukaan tanah (run off) lebih besar volume dibanding dengan yang berinfiltrasi kedalam tanah. Dalam konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), air hujan yang jatuh disuatu wilayah daratan akan ditangkap oleh daerah tangkapan air (catchment area) dan dialirkan kesungai utama dan bermuara kelaut. Konektivitas hulu-hilir DAS menjadi penting karena DAS menjadi urat nadi kehidupan bagi manusia yang bermukim disekitarnya.  

Meskipun DAS Barito, terdapat dalam wilayah empat provinsi di Kalimantan, namun karena posisi wilayah Kalsel di bagian tengah dan hilir, sementara daerah hulu masuk dalam wilayah Kaltim dan Kalteng maka apabila terjadi limpasan air dengan volume tinggi, yang paling terdampak banjir adalah daerah Kalsel.

Banjir terjadi akibat aliran air dipermukaan tanah (run off) lebih besar volume dibanding dengan yang berinfiltrasi kedalam tanah. Dalam konsep pengelolaan daerah aliran sungai (DAS), air hujan yang jatuh disuatu wilayah daratan akan ditangkap oleh daerah tangkapan air (catchment area) dan dialirkan kesungai utama dan bermuara kelaut. Yang mesti diperhatikan dalam penanggulangan banjir adalah daerah hulu, tengah , hilir dan daerah tangkapan airnya dihulu. 

Untuk mengetahui suatu DAS disebut baik atau sehat, perlu dipahami parameter ilmiah para ahli yang telah diuji kesahihannya yang dituangkan dalam regulasi dan peraturan perundangan yang telah ada dan dibuat selama ini. 

DAS yang dapat mengakibatkan banjir apabila rasio (perbandingan)  debit air maksimun pada musim hujan dan debit air minimum pada musim kemarau angkanya lebih besar 40. Pada tahun 80'an pemerintah telah menetapkan 40 DAS prioritas dan super prioritas diseluruh Indonesia yang harus diperbaiki kondisi lingkungannya didaerah hulu, salah satunya DAS prioritas adalah DAS Barito.

Sebenarnya keberadaan hutan dalam kawasan DAS hulu  sangat sentral dalam menjaga keseimbangan ekologis khususnya pada daerah dengan penduduk padat dan banyak sungai besar seperti di P. Jawa dan P. Sumatera.  

Dalam kaitan ini menjadi penting keberadaan Daerah Tangkapan Air (DTA) atau dikenal dengan "catchment area" Daerah Aliran Sungai (DAS)  suatu kawasan. Karena DAS tidak mengenal batas wilayah administratif karena hanya mengenal hulu dan hilir, apabila terjadi bencana seperti banjir, maka  tanggungjawab pemangku wilayah tidak bisa dibebankan kehilir saja tetapi juga daerah hulu. 

Bentuk tanggungjawab ini dapat berupa kompensasi anggaran penyelamatan DTA pemda yang dihilir kepemda yang dihulu. Contoh kasus banjir di Kalsel dengan urat nadi DAS Barito, bila terjadi banjir pemda provinsi Kalsel , maka pemerintah provinsi Kalteng  yang wilayahnya dominan di daerah hulu harus ikut bertanggungjawab bersama sama pemerintah provinsi Kalsel.

DTA merupakan daerah yang mampu menjaga keseimbangan ekologis tentang ketersediaan air didaerah hilirnya, sepanjang fungsi hidroorologis kawasan hutan dan tutupan hutannya (forest coverage) yang ada dihulu dapat dijaga dengan baik.

Urgensi Tutupan Hutan

Terlepas dari faktor anomali cuaca (hujan ekstrem), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander, tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar atau mungkin merupakan periode ulang 100 tahunan namun tutupan hutan merupakan faktor dominan yang menyebabkan banjir didaerah hilir seperti di provinsi Kalsel. Karena sesungguhnya tutupan hutan merupakan faktor variabel yang dapat diubah dan dibuat oleh manusia, sedangkan faktor penyebab banjir lainnya sifatnya variabel tetap/given (faktor konstanta).

Menjaga tutupan hutan (forest coverage) didaerah hulu dan tengah menjadi suatu keharusan untuk menjaga keseimbangan hidrologis didaerah hilir. Makin luas tutupan hutannya dan makin rapat pohon serta  makin berlapis strata tajuknya maka  makin banyak pula air hujan yang masuk kedalam tanah dibanding yang mengalir diatas permukaan tanah. Kondisi ideal semacam ini yang diharapkan untuk mengendalikan banjir didaerah hilir.

Lalu bagaimana mungkin luas hutan di DAS Barito yang tinggal  18, 2 persen, mampu menahan volume hujan ekstrem yang mencapai 8-9 kali lipat curah hujan normal ? Sudah cukupkah luasan tersebut dan berapa persen luas kawasan hutan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis DAS Barito/ atau provinsi Kalsel ? Atau masih sementara dihitung  dan diatur oleh pemerintah pusat sesuai dengan UU Cipta Kerja. Wajar apabila alih fungsi lahan hutan untuk pertambangan dan kebun sawit dituding sebagai faktor penyebab banjir.

UU no. 41 tahun 1999 yang lama tentang kehutanan pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional. 

Sayangnya dalam UU no.41/1999 yang direvisi dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020, angka minimal 30 persen untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage) telah dihapus dan diganti dengan pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau. 

Dalam ayat (3) pasal 18 bidang kehutanan UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).

PP yang diharapkan akan memperjelas tentang kecukupan luas hutan dan tutupan hutan minimal yang dipertahankan ternyata dalam Rancangan PP (RPP) nampaknya masih belum jelas dan abu-abu. 

Dalam RPP tersebut masih perlu Peraturan Menteri LHK sebagaimana yang tertera dalam pasal 33 ayat (13) yang berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan, pemberian insentif dan upaya pemulihan lingkungan diatur dalam Peraturan Menteri.

Disisi lain, dalam prakteknya dilapangan , untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di P Jawa, ketentuan ini tidak terjadi.  Penutupan hutannya jauh dibawah angka 30 persen. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja. Sementara DAS utama  P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Sulawesi, luas hutan dan tutupan hutannya menunjukan tanda- tanda prosentasenya makin lama makin menyusut akibat dari alih fungsi hutan dan lahan yang legal maupun illegal. Termasuk didalamnya adalah DAS Barito yang luas hutan dan tutupan hutannya tinggal 18,2 persen saja.

Pemerintah selama ini lebih banyak bersifat reaktif dalam menanggapi bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor seperti yang dikemukakan KLHK melalui Dirjen Pencermaran dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa faktor dominan penyebab banjir adalah adalah anomali cuaca (hujan ekstrem), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar (Kompas, 20/1/2021). 

Meskipun, KLHK mengklaim bahwa wilayah provinsi Kalsel telah dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) secara masif dalam lima tahun terakhir, namun tidak sebanding dengan kecepatan kerusakan lingkungan dan hutan yang terjadi. 

Hasil RHL dalam bentuk revegetasi kayu-kayuan, baru dapat dilihat manfaatnya setelah tanaman hutan tersebut bermetamorfosa menjadi pohon minimal umur 15 tahun. Itupun kalau berhasil tumbuh dengan baik dan menjadi pohon. Kenapa ? Proses penanaman tanaman hutan melalui kegiatan RHL dilakukan secara ala kadarnya. 

Tanaman hutan dipelihara dan dirawat hanya sampai dengan berumur tiga tahun (perawatan tahun pertama dan kedua), untuk selanjutnya, tahun keempat dan seterusnya diserahkan kepada alam.

Pemerintah seharusnya antisipatif mengkaji ulang izin-izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan sambil menggalakkan program rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara massal dan masif dan berskala luas dengan pemeliharaan, penjagaan dan pengawalan kegiatan RHL secara ketat sampai menjadi pohon sebagai salah satu solusi efektif dan jangka panjang dalam mengendalikan banjir, agar drama banjir di Kalsel tidak berulang kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun