UU no. 41 tahun 1999 yang lama tentang kehutanan pasal 18 ayat (3) menegaskan bahwa kawasan hutan yang dipertahankan untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage ) minimal 30 persen dari luas DAS dan atau pulau dengan  sebaran yang proporsional.Â
Sayangnya dalam UU no.41/1999 yang direvisi dalam UU Cipta Kerja no. 11/2020, angka minimal 30 persen untuk kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan (forest coverage) telah dihapus dan diganti dengan pemerintah pusat mengatur luas kawasan yang harus dipertahankan sesuai dengan kondisi fisik dan geografis daerah aliran sungai dan/atau pulau.Â
Dalam ayat (3) pasal 18 bidang kehutanan UU Cipta Kerja yang menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai luas kawasan hutan yang harus dipertahankan ialah termasuk pada wilayah yang terdapat proyek strategis nasional diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
PP yang diharapkan akan memperjelas tentang kecukupan luas hutan dan tutupan hutan minimal yang dipertahankan ternyata dalam Rancangan PP (RPP) nampaknya masih belum jelas dan abu-abu.Â
Dalam RPP tersebut masih perlu Peraturan Menteri LHK sebagaimana yang tertera dalam pasal 33 ayat (13) yang berbunyi ketentuan lebih lanjut mengenai kecukupan luas kawasan hutan dan penutupan hutan, pemberian insentif dan upaya pemulihan lingkungan diatur dalam Peraturan Menteri.
Disisi lain, dalam prakteknya dilapangan , untuk daerah yang berpenduduk padat seperti di P Jawa, ketentuan ini tidak terjadi.  Penutupan hutannya jauh dibawah angka 30 persen. Sebut DAS Solo yang membentang dari Jateng dan sebagian Jatim, luas penutupan hutannya tersisa 4 persen dan DAS Ciliwung tinggal 8,9 persen saja. Sementara DAS utama  P. Sumatera, P. Kalimantan dan P. Sulawesi, luas hutan dan tutupan hutannya menunjukan tanda- tanda prosentasenya makin lama makin menyusut akibat dari alih fungsi hutan dan lahan yang legal maupun illegal. Termasuk didalamnya adalah DAS Barito yang luas hutan dan tutupan hutannya tinggal 18,2 persen saja.
Pemerintah selama ini lebih banyak bersifat reaktif dalam menanggapi bencana banjir, banjir bandang dan tanah longsor seperti yang dikemukakan KLHK melalui Dirjen Pencermaran dan Kerusakan Lingkungan menyatakan bahwa faktor dominan penyebab banjir adalah adalah anomali cuaca (hujan ekstrem), daerah banjir berada pada pertemuan dua anak sungai yang cekung dan morfologinya merupakan meander dan tekuk lereng serta beda tinggi hulu hilir sangat besar (Kompas, 20/1/2021).Â
Meskipun, KLHK mengklaim bahwa wilayah provinsi Kalsel telah dilakukan kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) secara masif dalam lima tahun terakhir, namun tidak sebanding dengan kecepatan kerusakan lingkungan dan hutan yang terjadi.Â
Hasil RHL dalam bentuk revegetasi kayu-kayuan, baru dapat dilihat manfaatnya setelah tanaman hutan tersebut bermetamorfosa menjadi pohon minimal umur 15 tahun. Itupun kalau berhasil tumbuh dengan baik dan menjadi pohon. Kenapa ? Proses penanaman tanaman hutan melalui kegiatan RHL dilakukan secara ala kadarnya.Â
Tanaman hutan dipelihara dan dirawat hanya sampai dengan berumur tiga tahun (perawatan tahun pertama dan kedua), untuk selanjutnya, tahun keempat dan seterusnya diserahkan kepada alam.
Pemerintah seharusnya antisipatif mengkaji ulang izin-izin pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mendukung kelestarian lingkungan sambil menggalakkan program rehabilitasi hutan dengan penanaman pohon-pohonan secara massal dan masif dan berskala luas dengan pemeliharaan, penjagaan dan pengawalan kegiatan RHL secara ketat sampai menjadi pohon sebagai salah satu solusi efektif dan jangka panjang dalam mengendalikan banjir, agar drama banjir di Kalsel tidak berulang kembali.