Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Tata Kelola Program RHL Ideal

21 Februari 2021   13:16 Diperbarui: 21 Februari 2021   13:22 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

TATA KELOLA PROGRAM RHL YANG IDEAL

Dalam mengukur dan menilai keberhasilan suatu program/kegiatan yang ideal biasanya dilihat dari sekuen (urutan) aspek tata kelola yang lengkap yaitu input, proses, output dan outcome. Demikian halnya dengan program/kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) seharusnya mengikuti 4 (empat) tahapan tata kelola tersebut.  

Dalam peraturan pemerintah (PP) no. 76/2008 yang diperbaharui PP no.26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan dan peraturan menteri LHK no. P.105/2018 tentang tata cara pelaksanaan, kegiatan pendukung, pemberian insentif, serta pembinaan dan pengendalian kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan (RHL), nampaknya secara sekilas tata kelola RHL yang dimaksud telah lengkap dan ideal, namun kalau ditelisik lebih jauh masih terdapat kelemahan disana sini dan perlu adanya pembenahan tata kelola program RHL yang lebih baik lagi. Kenapa demikian ?.

Menggugat Program RHL

Seringkali masyarakat menggugat keberhasilan program rehabilitasi hutan dan lahan (RHL) apabila terjadi bencana hidrometeorologi (banjir, banjir bandang dan tanah longsor), padahal program yang didominasi oleh kegiatan revegetasi kayu-kayuan ini  telah dilakukan 45 tahun lalu ( sejak adanya Inpres Reboisasi dan Penghijauan 1976). 

Bencana hidrometeorologi yang terjadi terus menerus setiap tahun seolah olah menjadi rutinitas yang harus dihadapi masyarakat yang terdampak dan sudah dianggap sebagai suatu kelaziman. Masalahnya adalah apakah skala dan luasan bencana makin membesar dan meningkat?.

Rasanya apa yang menjadi peringatan dari Badan Meteorologi dan Klimatologi dan Geofisika (BKMG) sebelumnya yakni seluruh mitra Kementerian /Lembaga, pemerintah daerah dan para pihak, serta masyarakat untuk tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap ancaman bencana hidrometeorologi menyongsong periode Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, terbukti terjadi.  

Prakiraan curah hujan khusus NATARU (Natal dan Tahun Baru)  ini, bulan Desember 2020 sampai Januari 2021 curah hujan akan mencapai lebih dari 300mm/bulan, bahkan sampai bulan Maret masih akan ada di musim hujan. Jadi kesimpulannya adalah periode NATARU 2020/2021 ini akan ada di musim hujan dengan intensitas yang tinggi.

Kita sering meremehkan peringatan BMKG dan tidak terbiasa membaca tanda-tanda alam dan menganggap bencana dalam skala kecil sebagai rutinitas tahunan. Padahal dari yang kecil tersebut kalau tidak segera ditanggulangi segera membesar karena daya dukungnya akan melebihi batas toleransinya akibat kerusakan lingkungan yang terus menerus dan masif skalanya. 

Mitigasi bencana yang dilakukan daerah, sejak dari awal sehingga korban jiwa dan harta benda dapat ditekan dan minimalisir skala dan luasnya  sifatnya temporer dan jangka pendek nampaknya belum membuahkan hasil yang nyata. Solusi penanganan bencana hidrometeorologi yang sifatnya permanen dan jangka panjang adalah penanganan pada daerah hulu dan daerah tangkapan air didaerah aliran sungainya (DAS) dengan penanaman vegetasi kayu-kayuan yang mempunyai perakaran dalam. 

Pemulihan dan rehabilitasi daerah hulu dan tangkapan air DAS selama ini menjadi masalah kruisal, karena telah dilakukan bertahun tahun, namun hasilnya juga belum dapat diharapkan. Itulah yang sering dipertanyakan dan digugat masyarakat selama ini, sampai mana keberhasilan kegiatan RHL selama ini. 

Tanpa harus melihat data, bencana hidrometeorologi yang terus terjadi setiap tahun merupakan bukti nyata dan indikator ketidak berhasilan tersebut. Dimana sebenarnya kelemahan program/kegiatan RHL tersebut ?

Tata Kelola Masih Lemah

Perlu dipahami bahwa  tata kelola RHL juga mempunyai  4 (empat) tahapan yakni input, proses, output dan outcame. Input meliputi kegiatan pembibitan dan penanaman, penyiapan sarana dan prasarana seperti pondok/gubug kerja, papan nama, ajir dan seterusnya. Proses meliputi kegiatan pemeliharaan (penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit) dan pengawasan.  

Output adalah berhasilnya tanaman hutan menjadi tanaman dewasa (pohon) dengan umur sekitar 15 tahun sejak ditanam, yang selama ini belum pernah dilakukan evaluasi/penilaiannya oleh KLHK secara menyeluruh dan terpadu. 

Outcame apabila sekumpulan tanaman hutan yang berhasil menjadi pohon dan membentuk ekosistem hutan yang dapat  menahan laju air permukaan tanah (run off) serta mampu memperbesar infiltrasi  air ke dalam tanah. Outcome kegiatan RHL ini yang selalu dipertanyakan dan digugat keberhasilannya khususnya oleh masyarakat yang rutin terdampak oleh bencana hidrometeorologi.

Selama ini program RHL yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya sebatas pada tahapan input dan proses.  

KLHK bisa saja mengklaim bahwa telah membangun 34 lokasi persemaian permanen di 34 provinsi di Indonesia dengan produksi 1-2 juta bibit tanaman hutan setiap tahun melalui Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) didaerah dan rencana tahun 2021 membangun persemaian berskala besar dengan produksi bibit 10-16 juta bibit setiap tahun di 5 (lima) lokasi Rumpin, Bogor, (Jabar), Samarinda (Kaltim), Danau Toba (Sumut), Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB) dan Likupang (Sulut). 

Bisa saja Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan kegiatan RHL telah meningkat luasannya dari 23.000-25.000 ha (2018 dan sebelumnya), 207.000 ha (2019) dan 403.000 ha (2020), namun semua kegiatan tersebut hanyalah merupakan kegiatan dalam tahapan input.

Sementara, pemeliharaan dan pengawasan tanaman hutan (penyulaman dan pemupukan) dilakukan hanya sampai dengan tanaman umur 3 (tiga) tahun saja. Pengawasan tanaman hutan selanjutnya diserahkan kepada mekanisme alam. Proses pengawasan dan penjagaan tanaman menjadi pohon merupakan proses yang krusial yang perlu pengawalan dan penjagaan  yang terus menerus untuk berhasil.

Kelemahan pemerintah selama ini dalam program RHL adalah ketidakmampuan dalam menjaga dan mengawal tanaman selepas pemeliharaan tanaman umur 3 tahun, untuk berproses menjadi pohon. Regulasi yang ada seperti PP dan peraturan menteri tidak secara spesifik menyebut adanya penjagaan dan pengawalan tanaman selepas umur 3 tahun. 

Regulasi hanya menyebut kegiatan pembinaan dan pengendalian secara umum. Sistem evaluasi dan penilaian tanaman masih dilakukan dengan paradigma lama dan bersifat keproyekkan sampai pada tanaman umur 3 tahun. Padahal evaluasi dan penilaian tanaman hutan yang paling ideal dilakukan minimal tanaman telah menjadi dewasa (menjadi pohon) dengan umur minimal 15 tahun.

KLHK hanya dapat menyebut angka-angka target RHL yang seolah-olah dapat mengurangi lahan kritis dan menekan laju deforestasi. Padahal keberhasilan RHL dimulai dari tahap output dan diukur dengan instrumen seberapa luas tanaman hutan tumbuh menjadi pohon. Wajar apabila KLHK belum mampu merilis angka output secara terbuka berapa luasnya yang berhasil, apalagi bicara mengenai outcame (dampak) terhadap fungsi hidrologi dan lingkungan, rasanya masih jauh. 

Melihat kondisi seperti ini, perlu kiranya ada pembenahan tata kelola program RHL yang lebih baik lagi. Pergantian pimpinan kementerian dalam satu periode kabinet , bukan berarti program RHL tidak berlanjut atau berubah karena RHL adalah satu-satunya tumpuan harapan untuk pemulihan lingkungan untuk jangka panjang.  Meski program RHL ini sifatnya juga jangka panjang.

PRAMONO DWI SUSETYO

Kompasiana, 21 Februari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun