Tanpa harus melihat data, bencana hidrometeorologi yang terus terjadi setiap tahun merupakan bukti nyata dan indikator ketidak berhasilan tersebut. Dimana sebenarnya kelemahan program/kegiatan RHL tersebut ?
Tata Kelola Masih Lemah
Perlu dipahami bahwa  tata kelola RHL juga mempunyai  4 (empat) tahapan yakni input, proses, output dan outcame. Input meliputi kegiatan pembibitan dan penanaman, penyiapan sarana dan prasarana seperti pondok/gubug kerja, papan nama, ajir dan seterusnya. Proses meliputi kegiatan pemeliharaan (penyiangan, pendangiran, penyulaman, pemupukan dan pemberantasan hama dan penyakit) dan pengawasan. Â
Output adalah berhasilnya tanaman hutan menjadi tanaman dewasa (pohon) dengan umur sekitar 15 tahun sejak ditanam, yang selama ini belum pernah dilakukan evaluasi/penilaiannya oleh KLHK secara menyeluruh dan terpadu.Â
Outcame apabila sekumpulan tanaman hutan yang berhasil menjadi pohon dan membentuk ekosistem hutan yang dapat  menahan laju air permukaan tanah (run off) serta mampu memperbesar infiltrasi  air ke dalam tanah. Outcome kegiatan RHL ini yang selalu dipertanyakan dan digugat keberhasilannya khususnya oleh masyarakat yang rutin terdampak oleh bencana hidrometeorologi.
Selama ini program RHL yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hanya sebatas pada tahapan input dan proses. Â
KLHK bisa saja mengklaim bahwa telah membangun 34 lokasi persemaian permanen di 34 provinsi di Indonesia dengan produksi 1-2 juta bibit tanaman hutan setiap tahun melalui Balai Pengelolaan DAS dan Hutan Lindung (BPDASHL) didaerah dan rencana tahun 2021 membangun persemaian berskala besar dengan produksi bibit 10-16 juta bibit setiap tahun di 5 (lima) lokasi Rumpin, Bogor, (Jabar), Samarinda (Kaltim), Danau Toba (Sumut), Labuan Bajo (NTT), Mandalika (NTB) dan Likupang (Sulut).Â
Bisa saja Menteri LHK Siti Nurbaya mengatakan kegiatan RHL telah meningkat luasannya dari 23.000-25.000 ha (2018 dan sebelumnya), 207.000 ha (2019) dan 403.000 ha (2020), namun semua kegiatan tersebut hanyalah merupakan kegiatan dalam tahapan input.
Sementara, pemeliharaan dan pengawasan tanaman hutan (penyulaman dan pemupukan) dilakukan hanya sampai dengan tanaman umur 3 (tiga) tahun saja. Pengawasan tanaman hutan selanjutnya diserahkan kepada mekanisme alam. Proses pengawasan dan penjagaan tanaman menjadi pohon merupakan proses yang krusial yang perlu pengawalan dan penjagaan  yang terus menerus untuk berhasil.
Kelemahan pemerintah selama ini dalam program RHL adalah ketidakmampuan dalam menjaga dan mengawal tanaman selepas pemeliharaan tanaman umur 3 tahun, untuk berproses menjadi pohon. Regulasi yang ada seperti PP dan peraturan menteri tidak secara spesifik menyebut adanya penjagaan dan pengawalan tanaman selepas umur 3 tahun.Â
Regulasi hanya menyebut kegiatan pembinaan dan pengendalian secara umum. Sistem evaluasi dan penilaian tanaman masih dilakukan dengan paradigma lama dan bersifat keproyekkan sampai pada tanaman umur 3 tahun. Padahal evaluasi dan penilaian tanaman hutan yang paling ideal dilakukan minimal tanaman telah menjadi dewasa (menjadi pohon) dengan umur minimal 15 tahun.