Mohon tunggu...
Pramono Dwi  Susetyo
Pramono Dwi Susetyo Mohon Tunggu... Insinyur - Pensiunan Rimbawan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menggugat Penguasaan Lahan Hutan

10 Februari 2021   16:30 Diperbarui: 10 Februari 2021   16:43 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MENGGUGAT PENGUASAAN LAHAN HUTAN

Pada waktu debat calon presiden (capres) 2019 lalu, Presiden Joko Widodo selaku petahana pernah bertanya kepada rivalnya Prabowo Subianto, tentang sinyalemen penguasaan lahan hutan yang cukup luas oleh korporasi yang dimiliki Prabowo. Secara arif,  Prabowo membenarkan akan hal itu dan buru buru menambahkan bahwa apabila negara membutuhkan akan segera menyerahkan kembali kepada negara. Yang penting penguasaan lahan hutan tersebut legal dan sah secara tidak melanggar hukum.

Saya jadi ingat, sewaktu masih menjadi mahasiswa Fahutan IPB tingkat akhir tahun 1980, saya sempat magang di  Direktorat Bina Program Ditjen Kehutanan Departemen Pertanian, -yang kantornya persis didepan pintu masuk Kebun Raya Bogor- yang ditugasi untuk merekapitulasi RKD (Rencana Karya Duapuluh Tahunan) dan RKL (Rencana Karya Lima Tahunan) dari perusahaan/konsesi  yang telah memperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Indonesia. Dari data yang ada, saya dapat menyimpulkan bahwa HPH yang telah diberikan izin rata-rata menpunyai luas dengan kisaran 100.000- 800.000 ribu ha wilayah konsesinya. Jadi wajar apabila saat booming HPH waktu ini, pengusaan lahan hutan untuk kegiatan konsesi HPH luasnya sangat “gila-gilaan” untuk ukuran saat ini. Provinsi pemegang rekor yang terbanyak memiliki konsesi HPH paling banyak adalah Kalimantan Timur, Riau dan Kalteng yang mempunyai konsesi diatas 100 unit manajemen (UM)  HPH. Kita mengenal adanya raja-raja hutan sebagai cerminan penguasaan lahan hutan dalam bentuk HPH seperti kelompok Kiani Lestari Group dari Bob Hasan, kelompok Barito Group milik Paryoga Pangestu, kelompok Alas Kesuma milik Burhan Uray, kelompok Indah Kiat ,masuk Sinar Mas Group milik keluarga Eka Tjipta Widjaja dan sebagainya.

Puncaknya adalah tahun 2000, terdapat sekitar 600 unit HPH, dengan luas konsesi hutan alam Indonesia lebih dari 64 juta ha. Pembangunan saat itu yang membutuhkan keuangan yang sangat besar, membuat negara mengeksploitasi sumberdaya alam Indonesia sebesar-besarnya. Salah satunya adalah sumberdaya alam hutan yang sangat luas (122 juta ha) dengan potensi kayu meranti yang sangat tinggi. Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan benar sebagai penggerak roda pembangunan, dan  merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi.  Penguasaan lahan hutan dalam bentuk konsesi HPH dimulai sejak diterbitkanya undang-undang (UU) no.1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan (UU) no.5 tahun 1967 tentang ketentuan-ketentuan pokok kehutanan, pemerintah membuka keran izin pengusahaan hutan alam kepada investor asing maupun dalam negeri untuk menghimpun pundi-pundi devisa negara dengan jangka waktu 20 tahun tahun, dan dapat diperpanjang kembali apabila tidak bertentangan dengan kepentingan umum (peraturan pemerintah (PP) no. 21/1970 pasal 10 ayat (1)). Dalam PP no. 6/2007 pasal 51 disebutkan bahwa jangka waktu IUPHHK dalam hutan alam pada hutan produksi diberikan paling lama 55 (lima puluh lima) tahun.  IUNegara diuntungkan dari sumber pemasukan keuangan HPH yang nilainya sangat besar melalui dua sumber utama yaitu provisi sumber daya hutan (PSDH) dan dana reboisasi (DR).

Menyadari akan makin surutnya potensi kayu dari hutan alam akibat dari eksploitasi besar-besaran oleh HPH, maka pemerintah orde baru menerbitkan no.7/1990 tentang hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI)  yaitu hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan. HPHTI diberikan selama 35 tahun, ditambah daur tanaman pokok yang diusahakan. Perkembangan selanjutnya, pada tahun 2002 HPHTI menjelma menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) yang jangka waktu izin diberikan paling lama 100 tahun.

Pertanyaannya adalah bagaimana penguasaan lahan hutan pada era reformasi sampai dengan era pemerintahan Joko Widodo sekarang. Kontribusi apa saja yang disumbangkan oleh para korporasi hutan untuk menambah pemasukan keuangan negara dan seterusnya.

Penguasaan Lahan Hutan di Era Reformasi

Meskipun rezim orde baru runtuh, dan pemerintahan berganti dengan era reformasi ditandai dengan terbitnya undang-undang no. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, HPH berubah nama dan berganti baju menjadi Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA), namun cara dan sepak terjangnya dalam mengeksploitasi hasil hutan kayu alam polanya tidak jauh berubah.

Seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, banyak IUPHHK-HA yang habis kontrak, izinnya tidak diperpanjang oleh pemerintah akibat banyaknya aturan yang dilanggar bahkan tidak aktif lagi karena produktivitas hutan alam setelah rotasi kedua menjadi sangat rendah atau bahkan tidak ekonomis untuk diusahakan, maka tumpuan produksi kayu bulat tidak lagi hanya bersandar dari hutan alam tetapi juga mengandalkan dari hutan tanaman. Perkembangan jumlah IUPHHK- HA pada tahun 2010 sebanyak 304 unit dengan luas areal kerja dengan luas areal kerja lebih dari 25,05 juta ha. Sementara IUPHHK-HT sebanyak 284 unit dengan jumlah areal kerja 12,35 juta ha. Kinerja produksi dari IUPHHK-HA selama kurun waktu 2007-2012 terus mengalami penurunan. Sebagai contoh, kinerja produksi IUPHHK-HA pada 2 tahun berturut turut, kontribusinya dalam memenuhi kebutuhan bahan baku industri (BBI) nasional menurun dari 19,8 persen pada tahun 2007, menjadi 14,6 persen pada tahun 2008. Sebaliknya kinerja produksi IUPHHK-HT dalam memenuhi BBI nasional pada dua tahun yang sama meningkat dari 63,5 persen pada tahun 2007, menjadi 68,8 persen pada tahun 2008.

Dari statistik Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK tahun 2019, pada akhir tahun 2019, terjadi penyusutan jumlah, IUPHHK-HA menjadi sebanyak 258 unit dengan luas 18.83 juta hektar dan IUPHHK_HT meningkat jumlahnya menjadi  296 unit dengan luas yang justru menyusut menjadi 11,258 juta ha. Terjadi pergeseran produksi kayu bulat dari hasil IUPHHK-HA yang selama ini diandalkan sebagai pemasok utama kayu bulat dari tahun ketahun berubah mengandalkan dari produksi kayu bulat dari IUPHHK-HT yang produksinya makin meningkat sedangkan produksi kayu bulat dari hutan alam makin menurun. Produksi kayu bulat tahun 2019 dari IUPHHK-HA hanya mencapai 6,18 juta m3, sedangkan IUPHHK-HT produksinya meningkat mencapai 40.02 juta m3.

Bandingkan penguasaan lahan hutan pada IUPHHK-HA tahun 2014, lima besar provinsi adalah Kaltim 81 unit dengan luas 5,13 juta ha, Kalteng 59 unit, luas 4,04 juta ha, Papua 24 unit, luas 3,82 juta ha, Papua Barat 18 unit, luas 2,47 juta ha, Kalbar 24 unit, luas 1,17 juta ha; dengan IUPHHK-HA tahun 2019, lima besar provinsi adalah Kalteng 55 unit, luas 3,92 juta ha, Kaltim 55 unit, luas 3.22 juta ha, Papua Barat 20 unit, luas 2,91 jua ha, Papua 17 unit, luas 2,56 juta ha dan Kaltara 26 unit, luas 2,16 juta ha.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun