Tahun 1981, kawasan hutan hulu DAS Ciliwung masih berkisar 29,96 % dan menyusut menjadi 21,07 % pada tahun 1990 dan data yang terbaru luas kawasan hutannya kini tinggal 8,9 % saja. Berdasarkan data Forest Watch Indonesia, hulu Ciliwung memang terus-menerus dieksploitasi. Pada 2009 ada 879,81 ha hutan lindung justru menjadi perkebunan; 337,61 ha hutan konservasi juga menjadi perkebunan; 322,37 ha hutan lindung menjadi tegalan; dan 53,67 ha hutan konservasi juga berubah jadi tegalan.Â
Deforestasi di Puncak, kawasan Gunung Pangrango, menurut Forest Watch Indonesia, telah mencapai 66 kali luas Kebun Raya Bogor.
Sub DAS bagian tengah, aliran Sungai Ciliwung melintasi wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede, dan Cimanggis), Kota Bogor (Bogor Timur, Bogor Utara, dan Tanah Sereal) dan Kota Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya, dan Beji). Sejak zaman kolonial Belanda , Sub DAS bagian tengah Ciliwung ini dilindung dengan adanya kawasan resapan berupa pembangunan banyak situ (danau) untuk mengendalikan banjir didaerah hulunya. Â
Situ yang berfungsi sebagai kawasan lindung berperan untuk menahan limpasan air yang berlimpah dari daerah-daerah yang lebih tinggi ke wilayah yang elevasinya lebih rendah. Itulah sebabnya situ disebut sebagai kawasan parkir air. Â Ketika hujan lebat, limpasan air hujan dan sungai tidak langsung mengalir deras ke daerah yang lebih rendah, tetapi ditangkap oleh situ lebih dulu.Â
Namun, jika situ menjadi lebih sempit bahkan hilang, dapat dibayangkan betapa banyaknya air yang langsung mengalir ke aliran di kawasan yang lebih rendah. Air yang mengalir tanpa ditahan lajunya juga akan menghambat penyerapan air ke dalam tanah. Jika tersedia waktu air untuk terserap ke tanah, sebagian air tersebut akan mengisi akuifer air tanah.Â
Akuifer merupakan istilah bagi lapisan tanah dengan rongga udara yang dapat meloloskan air ke bagian bawah tanah. Jika kawasan resapan air termasuk situ terjaga dengan baik, air tanah akan menjadi sumber cadangan air bagi masyarakat, terutama ketika musim kemarau. Sebab, di kawasan Jabodetabek, terutama Jakarta yang masif pembangunannya, saat musim hujan saja semua tipe lahan di Jakarta dapat berfungsi sebagai penambah air tanah.
Setelah masuk musim kemarau, pemasukan air tanah di akuifer mengandalkan lereng utara Gunung Gede, Pangrangngo, Salak, Halimun, sungai, serta rawa atau situ. Namun, sejumlah situ semakin sedikit sehingga sumber air yang disimpan serta diserap akuifer juga semakin sedikit. Akibatnya, akuifer menjadi kosong karena berkurangnya air di sela-sela tanah akuifer.Â
Kondisi ini memperparah krisis air di kawasan metropolitan sebab cadangan air baku bagi masyarakat berkurang. Padahal, kebutuhan akan air tanah terutama ketika musim kemarau semakin tinggi. Sebabnya, kebutuhan air baku tidak dapat dipenuhi dari air permukaan karena sungai dan rawa/situ menjadi surut pada musim itu.
Sayangnya keberadaan situ ini terus berkurang seiring dengan laju pertambahan penduduk dan kebutuhan lahan untuk pemukiman. Banyak situ berubah dan beralih fungsi menjadi pemukiman warga tanpa dapat dikendalikan oleh pihak yang berwenang.Â
Kompas, mencatat  bahwa sepanjang tahun 2007 -- 2017, sebanyak 33 situ hilang dikawasan Jabodetabek.Â
Hadi Susilo Arifin, Guru Besar IPB di Bidang Pengelolaan Lanskap, mengatakan, pada 1960-an terdapat 800 waduk dan danau di Jabodetabek. Pada 1980-an diketahui jumlahnya berkurang menjadi 400 waduk/danau.