Mohon tunggu...
Bintang Pramodana
Bintang Pramodana Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Medical Doctor | Liverpool FC enthusiast | A Seasonal Wanderer | Independent Traveler | Landscape Photographer | Believe that one day he'll be riding horse across Patagonia

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Cerita Perjalanan Terbaik ke Danau Kelimutu

15 Juni 2012   15:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:56 3001
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dari bunyinya, bis tua ini terdengar berusaha sekali menaklukkan jalan antar kota dari Labuan Bajo ke Bajawa. Bau keringat bercampur dengan asap rokok dan kendaraan lain, tertiup angin masuk melalui celah-celah jendela ke hidung saya. Bis ini tidak hanya ditumpangi oleh manusia, seekor anjing pun ikut diangkut oleh seorang bapak tua yang duduk tidak jauh di depan saya. Teriakan anak-anak yang ikut di atap bis ikut menghiasi suasana. Duduk di atap bis tua dengan jalan antar kota Flores yang berbukit-bukit membuat duduk di atas kereta KRL seperti naik kereta di Istana Boneka. Kami bertujuh memutuskan naik bis yang pertama berhenti di depan penginapan kami di Labuan Bajo setelah sebelumnya berkunjung ke Pulau Komodo. Tubuh kami sudah mulai terasa pegal-pegal. Perjalanan darat dari Bali menuju ke Flores sudah mulai menunjukkan akibat kurang baik bagi kesehatan. Tapi tidak ada yang mengalahkan perasaan itu. Rasa bebas. Bebas memilih, walau mungkin salah. Bebas menentukan dan mengambil risiko. Kami tidak tahu harus naik apa dari Labuan Bajo menuju Desa Moni, pemberhentian terakhir sebelum Kelimutu. Yang kami tahu, saat ini, kami harus menikmati 7 jam duduk di bis tua ini, bersama seekor anjing, menuju ke Bajawa. Setidaknya ini langkah maju. – Kami tidak lama di Bajawa. Sebuah mobil sewaan berserta supirnya berhasil kami temukan. Cukup murah, mengingat biaya sewanya kami bagi tujuh. Lagu-lagu disko pak supir menemani (baca: mengganggu) tidur kami malam itu. Jalan masih berkelak-kelok tanpa penerangan selain lampu depan mobil. Saya curiga pak supir sedang mabuk sambil menyetir. Haha. – Tengah malam kami baru sampai di Moni. Langit di Moni saat itu cerah dengan bintang yang berkerlap-kerlip. Tapi waktu istirahat tidaklah banyak. Kami harus naik ke Kelimutu sebelum subuh untuk dapat menyaksikan terbitnya matahari. Jadilah pukul 3 pagi, dengan jaket tebal, saya dan teman-teman menuju ke Kelimutu. Perjalanan ke kaki bukit kami tempuh dengan tumpangan mobil sewaan kami yang dengan baik hati mau mengantar kami sampai tempat itu. Sayangnya, dia tidak bisa menunggu kami turun. Kami harus turun sendiri katanya. Tapi tidak ada yang terlalu perduli. Fajar sudah hampir menyingsing. Kami tidak sempat berpikir apa-apa dan langsung berlari memanjat bukit yang sudah dilengkapi tangga-tangga. Tidak banyak orang di tempat itu. Tapi mungkin kami adalah satu-satunya orang Indonesia di sana. Ah, selain bapak penjual kopi yang menjadi sarapan kami sambil melihat matahari yang timbul perlahan. Perjalanan ribuan kilometer dari Jakarta berakhir di sini.

Menunggu matahari terbangun

IMG 0983
IMG 0983

Pemandangan dari atas bukit

Danau Kelimutu sebenarnya adalah kawah gunung. Jumlahnya ada tiga dengan warna yang berbeda-beda dan berganti-ganti setiap waktu. Konon, menurut kepercayaan masyarakat, masing-masing danau adalah tempat berakhirnya arwah dari orang-orang yang telah meninggal. Pagi di Agustus itu, Kelimutu berwarna hijau toska, hijau muda, dan merah kehitaman.

P8187017
P8187017

Satu dari tiga kawah Danau Kelimutu

Ada mitos yang mengatakan bahwa kita tidak bis melempar batu sampai ke danau. Sebagai anak-anak muda yang dididik ilmu pengetahuan, kami mengambil batu-batu dan melemparnya kencang-kencang ke tengah danau. Percobaan itu… Gagal.

P8187094
P8187094

Percobaan yang gagal

– Sampailah kami pada masalah berikutnya. Bagaimana cara pulang ke Desa Moni? Beruntunglah kami akhirnya mengikuti bapak penjual kopi turun gunung ke desa-nya. Di tengah jalan kami beristirahat di beberapa rumah penduduk dan berbincang tentang kopi, kain tenun Flores, dan keluarga mereka. Saya rasa orang-orang Flores adalah yang teramah yang pernah saya temui.

IMG 1015
IMG 1015

Perjalanan turun gunung

P8187135
P8187135

Salah satu keluarga yang memperbolehkan kami istirahat sejenak di rumah mereka

Satu hal lagi. Ketika bertanya berapa jauh jarak dari Kelimutu ke Moni, semua orang yang kami temui dalam perjalanan turun gunung berkata “dekat lagi” atau “sebentar lagi”. Pada kenyataannya, kami berjalan kami selama hampir 5 jam sebelum sampai ke Desa Moni. Ternyata jarak itu relatif. Di Moni ternyata lebih sering terdapat turis asing daripada turis lokal, sehingga makanan di warung pun banyak yang terkesan kebarat-baratan. Mahal pula! Tak mengapa lah. Hitung-hitung mendukung ekonomi warga lokal juga. Haha. Saya terbiasa tidak terlalu suka menawar harga kepada masyarakat lokal wilayah yang saya kunjungi selama masih masuk akal. Esok paginya kami naik angkot ke Ende sebelum bertolak ke Jakarta. Supir angkotnya kali ini malah mengaku sedang mabuk. Tetapi jangan-jangan ini yang membuat mereka sangat ramah dan senang bercerita! Ha! Melewati kelok-kelok jalan rusak dan jurang, abang supir bercerita sambil tergelak, kami pun terkadang ikut tergelak sambil menahan mual dan berdoa dengan intensitas tinggi. Haha. “Nanti coba sopi (minuman alkohol lokal), ya!” abang supir menyahut riang.

1339774252498464740
1339774252498464740
Perjalanan adalah selalu tentang hubungan antar manusia. Saya dan teman sedang menari bersama warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun